Punya Bukti Baru, Eks Dirut Merpati Hotasi Nababan Yakin Bebas

Hotasi berharap, dengan dikabulkannya PK, uang negara yang selama ini diambil pengusaha AS bisa kembali ke kas negara.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 23 Des 2014, 15:23 WIB
Diterbitkan 23 Des 2014, 15:23 WIB
Hotasi Nababan
Hotasi Nababan (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan mengajukan peninjauan kembali (PK) melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Hotasi datang dengan membawa fakta baru atau novum. Dia yakin, novum ini bisa membebaskannya dari hukuman.

"Perbuatan melawan hukum itu tidak terjadi, tidak benar. Saya percaya, saya dapat kesempatan bisa dibebaskan demi keadilan," kata Hotasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2014).

Dalam persidangan kuasa hukum Hotasi, Juniver Girsang, membacakan novum. Novum itu berupa putusan vonis pidana Pengadilan Distrik Columbia AS kepada 2 pemilik Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), sebuah perusaan leasing pesawat AS, yaitu:
1. Hukuman 18 bulan penjara terhadap Mr. Jon Cooper pada tanggal 4 Maret 2014 dengan pengawasan 36 bulan setelah itu, dan wajib membayar 1.000.000 dolar kepada MNA secara tanggung renteng dengan Alan Messner.
2. Hukuman 12 bulan penjara terhadap Mr. Alan Messner pada 21 Februari 2014 dengan pengawasan 36 bulan setelah itu.

Juniver menjelaskan, kedua bukti ini dikeluarkan secara resmi oleh Pengadilan Distrik Columbia di Washington DC dan telah dilegalisir oleh Eric Holder, Jaksa Agung AS pada tanggal 21 Mei 2014, dan John F. Kerry, Menteri Luar Negeri AS pada tanggal 27 Mei 2014, dengan disahkan oleh pejabat kedutaan besar RI di Washington pada 30 Mei 2014.

Selain itu Hotasi juga mengklaim, memiliki bukti lain yang tak kalah kuat. Bukti itu berupa Surat Menteri BUMN Dahlan Iskan kepada Direksi PT MNA no S-500/MBU/08/2014 tanggal 29 Agustus 2014 yang meminta PT MNA mengejar security deposit itu karena Pengadilan AS mewajibkan Cooper dan Messner segera mengembalikan secara tanggung renteng setelah hukuman selesai.

"Ini merupakan bukti kuat kerugian negara belum terjadi. Tidak ada niat memperkaya diri sendiri dan orang lain, dan dana ini hanya bisa kembal hanya jika kejaksaan sebagai Pengacara Negara peduli menjemput uang itu ke AS," tandas Hotasi.
    
Berharap Uang Negara Kembali Setelah PK Dikabulkan

Hotasi berharap, dengan dikabulkannya PK, uang negara yang selama ini diambil pengusaha Amerika Serikat (AS) tersebut bisa kembali ke kas negara.

Menurut Hotasi, dengan dikabulkannya PK ini, proses penarikan dana milik MNA yang digelapkan perusahaan AS Thirdstone Aircraft Leasing Group akan semakin mudah. Sebab, dengan demikian Cooper dan Messner menjadi pihak yang bersalah dalam kasus ini. "Kalau dikabulkan maka hakim membantu dalam penarikan kembali uang negara," ungkap Hotasi.

Perkara ini bermula dari kegagalan (wanprestasi) perusahaan AS menyerahkan dua pesawat Boeing 737 seri 400 dan 500 kepada PT Merpati Nusantara Airlines. Hal ini sesuai perjanjian dalam Lease of Aircraft Summary of Terms (LASOT).

Pada 21 Desember 2006, PT MNA telah menempatkan Security Deposit sejumlah 1 juta dolar sebagai tanda jadi dan persyaratan memeriksa kedua pesawat. Penempatan deposit ini juga telah disetujui seluruh Direksi PT MNA setelah pemeriksaan pesawat.

Salah satu klausal perjanjian, deposit itu harus dikembalikan jika penyerahan pesawat batal. Kenyataannya, perusahaan AS itu gagal menyerahkan pesawat pada Januari 2007. MNA pun meminta pengembalian deposit itu sesuai perjanjian. Pada April 2007, MNA menggugat perdata ke pengadilan Washington DC untuk mengejar pemilik perusahaan itu. Mereka juga meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) membantu pengejaran ini.

MNA, pada 8 Juli 2007, memenangkan gugatan perdata di pengadilan Washington. Cooper dan Messner diwajibkan mengembalikan 1 juta dolar beserta bunga kepada MNA. Namun Mesner hanya mengembalikan 4.793 dolar di 2010.

Lalu pada pertengahan 2007, atas laporan dua karyawan MNA yang terkena rasionalisasi, KPK dan Bareskrim Polri menyelidiki perkara ini. Bareskrim menyimpulkan tidak ada pidana korupsi pada September 2007. Sementara pada Oktober 2009, KPK menyimpulkan seluruh fakta menunjukkan perkara ini tidak memenuhi kriteria pidana korupsi.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memutuskan Vonis Bebas (vrijspraak) atas Hotasi  pada 19 Februari 2013. Hakim tidak menemukan niat jahat seperti tuntutan JPU terhadap Pasal 3 UU no 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Tipikor.

Majelis Hakim menyimpulkan Direksi PT MNA mengambil keputusan dengan hati-hati sesuai prosedur. Mereka telah berupaya mencari informasi, dan tanpa konflik kepentingan sesuai Pasal 97 ayat  5 UU 40/2007 tentang Perusahaan Terbatas.

Namun pada 7 Mei 2014, Majelis Hakim Kasasi yang terdiri dari Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Profesor Askin mengabulkan Kasasi Jaksa dan membatalkan Putusan Pengadilan itu. Majelis Hakim memvonis Hotasi Nababan dengan pidana penjara 4 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subsider pidana 6 bulan. Hotasi dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 2 UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Tipikor. (Mvi/Sun)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya