Hotasi Nababan: Penahanan Saya Ilegal dan Bentuk Abuse of Power

Menurut mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines tersebut, petikan putusan merupakan tindakan ilegal dan tidak berdasar.

oleh Agustina Melani diperbarui 24 Jul 2014, 16:29 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2014, 16:29 WIB
Hotasi Nababan
Hotasi Nababan (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan menolak eksekusi kejaksaan terhadap dirinya pada Selasa 22 Juli 2014 pukul 19.30 WIB di terminal C Bandara Soekarno Hatta, Banten. Penolakan eksekusi itu karena hanya berdasarkan "petikan putusan".

Menurut Hotasi, itu sebuah tindakan eksekusi yang ilegal, tidak berdasar, abuse of power karena tidak dapat ditemukan aturannya di kitab perundangan hukum acara pidana.

"Ketika saya menolak eksekusi yang dilakukan oleh Jaksa berdasarkan petikan putusan, saya bukan sedang melawan jaksa apalagi melawan hukum. Namun saya sedang mengambil posisi menaati Undang-undang, sebagaimana tertulis dalam aturan," ujar Hotasi, seperti ditulis Kamis (24/7/2014).

Dalam keterangannya, eksekusi berdasarkan Undang-undang, terkait pelaksanaan eksekusi terhadap perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, pasal 270 UU Nomor 8/1981 (KUHAP) menyatakan: "pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya."

Mengenai waktu pelaksanaan putusan, pasal 197 ayat (3) KUHAP mengatur "putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan UU ini", tanpa penjelasan mengenai arti kata segera ini.

Sehingga bila kedua pasal itu dihubungkan maka kata "segera" di sini dapat diartikan segera setelah menerima salinan putusan dari Panitera. Hal ini sejalan juga dengan isi surat edaran Kejaksaan Agung B-128/E/1995 tentang tugas dan tanggung jawab selaku eksekutor pengadilan.

"Berdasarkan ketentuan ini maka dasar eksekusi adalah "salinan putusan", bukan "petikan putusan" seperti beberapa tahun ini lazim dipratikkan oleh jaksa," kata Hotasi.

Berikut surat penolakan eksekusi Hotasi Nababan:

Sedangkan ketentuan mengenai petikan putusan ini diatur dan dapat ditemukan di pasal 226 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: "petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan".

Dari ketentuan pasal 226 ayat (1) KUHAP ini imperatif dan jelas mengatur petikan putusan hanya diberikan oleh pengadilan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya saja. "Jaksa bukanlah pihak yang ikut menerima dan diberikan petikan putusan oleh pengadilan," kata Hotasi.

Oleh karena itu, Hotasi menolak eksekusi yang dilakukan oleh Jaksa pada Selasa 22 Juli 2014 di Bandara Soekarno Hatta yang didasarkan pada petikan putusan. "Ketika saya menolak eksekusi yang dilakukan jaksa berdasarkan petikan putusan, saya bukan sedang melawan jaksa apalagi melawan hukum. Namun saya sedang mengambil posisi menaati undang-undang sebagaimana tertulis dalam aturan," tegas Hotasi.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah membebaskan Hotasi Nababan dari seluruh dakwaan korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 pada 19 Februari 2013. Namun sayang keputusan bebas itu hanya dihirup sementara saja. Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan tipikor Jakarta.

Majelis hakim tingkat kasasi MA yang dipimpin oleh Artijo Alkotsar ini memutuskan Hotasi vonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta pada Mei 2014.

Hotasi mengaku kaget, bingung dan sedih atas vonis bersalah oleh MA itu. "Saya dan keluarga sangat kaget, bingung dan sedih mendengar kabar majelis hakim tingkat kasasi MA yang dipimpin Artijo Alkostar," ujar Hotasi. (Ahm/)


 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya