'Tendangan Pisang' dari Istana Kepresidenan Brasil

Alih-alih dapat kehormatan layaknya diplomat tertinggi negara bersahabat, surat mandat Dubes RI justru tak digubris Presiden Brasil.

oleh Muhammad AliRinaldoRizki GunawanTaufiqurrohmanPutu Merta Surya PutraAndreas Gerry Tuwo diperbarui 22 Feb 2015, 00:10 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2015, 00:10 WIB
Terlibat Jaring Narkoba, WNI Perempuan Dibui 6 Tahun di Brasil
Presiden Dilma Rousseff (AP)

Liputan6.com, Brasilia - Toto Riyanto boleh jadi tak dapat melupakan peristiwa di Istana Kepresidenan Brasil di Kota Brasilia. Pagi itu seharusnya menjadi salah satu peristiwa terpenting dalam kehidupan Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) tersebut karena akan menyerahkan credentials atau surat kepercayaan kepada Presiden Brasil Dilma Rousseff.

Alih-alih mendapat kehormatan layaknya pejabat diplomatik tertinggi negara bersahabat, surat mandat sang dubes justru tak digubris Presiden Dilma Rousseff. Padahal undangan resmi telah dikantongi Dubes Toto Riyanto.

Perlakuan seperti itu dialami Dubes Indonesia di negeri yang terkenal dengan sepak bola dan teknik tendangan pisangnya. Toto pun ibarat terkena 'tendangan pisang' atau perlakuan tak terduga dari Istana Kepresidenan Brasil.

Padahal sedianya, ia menyerahkan surat mandat kepada kepala negara Negeri Samba tersebut di Palacio do Planalto atau Istana Kepresidenan Brasil pada Jumat 20 Februari 2015 pukul 09.00 waktu setempat.

Namun di Palacio do Planalto, Presiden Rousseff hanya menerima surat kepercayaan dari Dubes El Salvador, Panama, Venezuela, Senegal dan Yunani. Presiden Brasil menolak surat kepercayaan Dubes RI tersebut untuk sementara. Ini diduga kuat terkait dengan eksekusi mati seorang warga Brasil di Indonesia dan rencana hukuman mati warga Brasil yang kedua dalam waktu dekat.

(Presiden Brasil Dilma Rousseff. Foto: Reuters/Ueslei Marcelino)

"Kami pikir hal yang penting adalah terjadi perubahan keadaan sehingga kita jelas terkait hubungan Indonesia dengan Brasil," kata Rousseff kepada para wartawan setelah upacara resmi pemerintah di Brasilia, Brasil, seperti dikutip dari BBC, Jumat 20 Februari 2015.

Namun begitu, Rousseff menegaskan bahwa pihaknya bukan menolak penempatan Dubes Indonesia di negaranya. "Yang kami lakukan adalah sedikit memperlambat penerimaan surat kepercayaan, tidak lebih dari itu," ujar dia.

Sebelumnya pada Minggu dini hari 18 Januari silam, warga Brasil bernama Marco Archer Cardoso Moreira dieksekusi mati setelah dihukum bersalah melakukan perdagangan narkoba. Akibat tindakan ini, Dubes Brasil di Indonesia ditarik Presiden Rousseff sebagai protes atas kematiannya.

Dan warga Brasil lainnya, Rodrigo Gularte dalam waktu dekat dijadwalkan juga dieksekusi di Indonesia atas dasar pelanggaran hukum yang sama.

Terpidana Mati Asal Brasil Kerap Bicara Sendiri di Nusakambangan

(Terpidana mati asal Brasil, Rodrigo Gularter. Foto: ABC)

Indonesia Protes, Dubes Ditarik

Presiden Rousseff boleh saja berdalih demikian. Namun Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia menyesalkan tindakan yang dilakukan pemerintah Brasil terkait dengan penundaan secara mendadak penyerahan surat kepercayaan Dubes Toto Riyanto.

"Cara penundaan penyerahan credentials yang dilakukan oleh Menlu Brasil secara tiba-tiba pada saat Dubes designate RI untuk Brasillia telah berada di Istana Presiden Brasil merupakan suatu tindakan yang tidak dapat diterima oleh Indonesia," tulis Kemlu dalam rilis yang dilansir di laman www.kemlu.go.id, Sabtu 21 Februari 2015.

(Menlu Retno LP Marsudi. Foto: Liputan6.com/Faizal Fanani)

Atas kejadian ini, pihak Kemlu RI telah memanggil Dubes Brasil untuk Indonesia pada Jumat 20 Februari 2015, pukul 22.00 WIB, untuk menyampaikan protes keras terhadap tindakan tidak bersahabat tersebut sekaligus menyampaikan nota protes.

"Pemerintah Indonesia juga telah memanggil pulang ke Jakarta Dubes RI designate untuk Brasil sampai jadwal baru penyerahan credentials dipastikan oleh pemerintah Brasil," lanjut Kemlu dalam pernyataannya.

"Sebagai negara demokratis yang berdaulat dan memiliki sistem hukum yang mandiri serta tidak memihak, maka tidak ada negara asing atau pihak mana pun dapat mencampuri penegakan hukum di Indonesia, termasuk terkait dengan penegakan hukum untuk pemberantasan peredaran narkoba," tegas Kemlu RI.

Berisiko Perburuk Hubungan Bilateral

Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, sikap Brasil ini bisa membuat hubungan dengan Indonesia menjadi lebih buruk sejak eksekusi mati terhadap Marco Archer Cardoso Moreira pada 18 Januari 2015.

"Tindakan Brasil ini berisiko memperburuk hubungan antara 2 negara yang telah lama terjalin dan saling menguntungkan," ujar Hikmahanto dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Sabtu 21 Februari 2015.

Atas perlakuan pemerintah Brasil terhadap Dubes Toto, Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi telah memanggilnya pulang ke Indonesia untuk berkonsultasi. Pada saat yang bersamaan Kemlu juga telah melayangkan nota protes diplomatik.

"Tindakan Kemlu telah benar. Indonesia tentu tidak bisa menerima perlakuan dari pemerintah Brasil," kata Hikmahanto.

Meski tidak disampaikan alasan, imbuh Hikmahanto, dugaan kuat karena protes pemerintah Brasil atas 1 warganya yang telah dihukum mati dan 1 lagi yang akan menjalani hukuman mati.

"Pemerintah Brasil telah memulai tindakan untuk memperburuk hubungan dengan Indonesia semata karena melakukan perlindungan yang berlebihan atas warganya yang melakukan kejahatan yang serius," ujar Hikmahanto Juwana.

Dinilai Pelecehan Diplomatik

Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya pun angkat bicara terkait sikap pemerintah Brasil yang menolak credentials atau surat kepercayaan dari Dubes Indonesia Toto Riyanto untuk sementara.

Padahal delegasi tanah air itu sudah berada di Istana Brasil bersama dubes dari negara lain. Tindakan Brasil itu memicu protes dari Kemlu RI dengan memanggil Dubes Brasil di Jakarta dan menarik Toto Riyanto pulang ke Indonesia.

Tantowi mendukung sikap tegas pemerintah tersebut. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar tersebut, langkah Indonesia sudah sangat tepat.

"Sikap pemerintah sudah benar. Oleh karenanya patut didukung," ujar Tantowi dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Sabtu 21 Februari 2015.

Dijelaskan dia, penerimaan credentials memang merupakan hak negara yang bersangkutan, tapi pembatalan credentials tersebut merupakan bentuk pelecehan dalam hubungan diplomatik negara.

"Pembatalan kepada Dubes RI di saat delegasi sudah berada di Istana Kepresidenan bersama dengan dubes-dubes lain adalah pelecehan diplomatik," tukas Tantowi.

2 Kerugian Brasil

Bahkan, menurut Tantowi Yahya, tindakan emosional yang diambil pemerintah Brasil akan memperburuk hubungan bilateral kedua negara dalam berbagai bidang.

"Di bidang pertahanan Indonesia dan Brasil sudah menjalin kerja sama yang baik. Pada tahun anggaran 2009-2014, kita memesan pesawat Super Tucano untuk mengawasi garis pantai kita. Kita juga memesan Multi Launcher Rocket System (MLRS). Kami akan duduk dengan Kementerian Pertahanan untuk mengevaluasi kerja sama ini ke depan, jika Brasil tidak mengubah sikap," jelas dia.

Tantowi menegaskan, di bidang perdagangan sebagai salah satu penghasil daging terbesar di dunia, Brasil saat ini sedang berusaha memasukkan dagingnya ke Indonesia.

"Mereka tahu besarnya kebutuhan kita akan daging. Dari 2 bidang itu saja, saya menilai Brasil dalam posisi yang lebih membutuhkan kita. Kita sedang dalam posisi darurat narkoba, oleh karenanya Pemerintah tidak boleh takut, apalagi tunduk oleh tekanan-tekanan seperti yang sedang ditunjukkan oleh Brasil saat ini," tandas Tantowi.

Dianggap Melecehkan Indonesia

Dukungan serupa disuarakan sejawat Tantowi Yahya di Parlemen. Anggota Komisi I DPR Elnino Husein Mohi, misalnya, menganggap Presiden Brasil telah melecehkan Indonesia karena menolak surat kepercayaan Toto Riyanto saat sang dubes sudah berada di istana kepresidenan negara itu.

"Credentials adalah hak Indonesia sebagai negara akreditasi. Perlakuan itu sangat emosional, tidak sopan, dan melecehkan Indonesia," kata anggota Komisi I DPR Elnino Husein Mohi di Jakarta, Sabtu 21 Februari 2015.

Lantaran itulah, Elnino meminta rakyat Indonesia untuk mendukung penuh pemerintah dengan menarik Dubes RI untuk Brasil, Toto Riyanto.

Rendahkan Perwakilan Indonesia

Senada dengan Elnino, anggota Komisi I DPR Meutya Viada Hafidz menilai langkah Presiden Brasil menolak surat kepercayaan Dubes RI untuk negara tersebut, setelah memanggilnya ke istana kepresidenan, adalah aksi merendahkan perwakilan Indonesia.

"Apa yang dilakukan, sama sekali tidak santun, bahkan dapat dianggap merendahkan representasi negara RI, dengan menolak credentials dubes, setelah mengundang dubes tersebut ke istana," kata Meutya dihubungi dari Jakarta, Sabtu ini.

Politisi Partai Golkar ini mendukung langkah yang diambil Kementerian Luar Negeri RI untuk menarik Dubes Indonesia dan membuat nota protes terhadap Brasil. Hanya saja menurut Meutya, Indonesia belum perlu mengusir Dubes Brasil dari Tanah Air. Sebab, Indonesia perlu menunjukkan diri sebagai negara santun tapi tegas.

"Kita negara santun tapi tegas, bukan main-main usir. Nota protes keras saya rasa cukup untuk membuat Brasil berpikir," tegas Meutya Hafidz.

Bukan Hanya Brasil

Protes terhadap eksekusi mati warga asing terpidana kasus narkoba di Indonesia, sebelumnya dilayangkan Australia. Pemerintah Negeri Kanguru memang hingga saat ini masih berharap Indonesia membatalkan keputusan untuk mengeksekusi mati 2 warga negaranya yang termasuk dalam sindikat narkoba 'Bali Nine', yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

Belakangan pernyataan pemerintah Australia kian keras. Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop bahkan sempat 'mengancam' memboikot Indonesia, termasuk melarang warganya berkunjung ke Bali.

Pernyataan Menlu Julie Bishop yang dinilai kontroversial itu disusul ucapan Perdana Menteri Tony Abbott. Secara tak diduga PM Australia itu mengingatkan kembali RI atas segala kebaikan dari negaranya.

 

(PM Australia Tony Abbott. Foto: Reuters/Mark Dadswell)

Termasuk saat Negeri Kanguru itu memberikan bantuannya kepada Indonesia, ketika tsunami meluluhlantakkan Aceh pada Desember 2004 silam. "Jangan lupa beberapa waktu lalu ketika Indonesia dilanda tsunami, Australia mengirimkan bantuan 1 miliar dolar Australia, kami juga mengirimkan pasukan untuk bantuan kemanusiaan," kata PM Tony Abbott seperti dikutip dari laman News.com.au, Jumat 20 Februari 2015.

"Beberapa warga Australia kehilangan nyawa saat membantu Indonesia. Saya ingin mengatakan ini kepada pemerintah dan rakyat Indonesia, kami selalu ada untuk menolong Anda, dan kami harap Anda akan membalasnya saat ini," imbuh Abbot.

Mudah ditebak, pernyataan PM Abbott yang menyinggung bantuan sebesar 1 miliar dolar Australia untuk tsunami Aceh pada 2004 silam, menuai protes dan kecaman.

Sejumlah warga Aceh bahkan berencana mengembalikan dana bantuan tersebut secara langsung ke PM Abbott. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia memulai mengajak masyarakat Aceh untuk menggalang dana untuk mengembalikan bantuan tsunami ke PM Abbott.

Hal tersebut diungkapkan organisasi mahasiswa itu melakui akun Twitter resminya, @KAMMI_ACEH.

(Foto: @KAMMI_ACEH)

"Kembalikan Bantuan Tsunami, KAMMI Aceh Galang #KoinUntukAustralia," begitu kira-kira bunyi kicauan @KAMMI_ACEH, disertai foto pengumpulan koin. Kicauan itu disertakan pula dengan hashtag #CoinForAustralia.

Sementara, Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menilai pernyataan Abbott masuk dalam perhatian Indonesia.

"Tentu semua pandangan-pandangan di banyak pihak itu, semua menjadi bagian dari perhatian dan konsentrasi kita," ujar JK di Jakarta, Kamis 19 Februari 2015.

Hanya saja JK menuturkan, penundaan eksekusi 2 napi 'Bali Nine' oleh Kejaksaan Agung tidak ada kaitannya dengan pernyataan dari Abbott. "Nggak ada. Tentu kita pikirkan banyak hal. Tapi tetap bagian hukum tetap jalan," pungkas JK. (Ans/Ado)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya