Liputan6.com, Jakarta - Siang itu, usai menjenguk suaminya yang memiliki nama alias Mustofa itu, Fatimah enggan memberikan tanggapannya. Wanita yang mengenakan kerudung motif bunga-bunga tersebut bergegas menuju sebuah taksi. Dia juga menutup mulutnya dengan masker.
Perempuan berkulit putih dan hidung mancung itu adalah istri‎ terpidana mati warga Nigeria, Sylvester Obiekwe Nwolise. Fatimah mengunjungi suaminya yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Dia didampingi kerabatnya, Novarita.
Hanya Novarita yang mau memberikan keterangan kepada awak media usai menjenguk Sylvester. Dia mengatakan, eksekusi mati kemungkinan batal dilakukan Sabtu 7 Maret 2015 besok.
"Kelihatannya eksekusi hari Sabtu ditunda. Saya tahu tadi dari orang dalam lapas," ujar Novarita di Dermaga Wijaya Pura, Tambakreja, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat kemarin, 6 Maret.
Novarita juga membenarkan Fatimah sempat bertemu tatap muka dengan suaminya. Fatimah, bahkan memberi pelukan hangat kepada Sylvester yang tak lama lagi akan menghadapi regu tembak.
Namun, Novarita mengaku tak tahu kapan eksekusi itu dilakukan. Sebab informasi yang ia dapat dari pegawai lapas hanya sebatas itu. "Belum ditentukan waktunya. Mungkin bisa seminggu atau sebulan. Kan masih banyak yang ajukan PK (Peninjauan Kembali)," ujar dia.
Selain menjenguk Sylvester, kedatangan Fatimah dan Novarita ke Nusakambangan juga untuk menyampaikan penundaan eksekusi mati tersebut. "Ya, itu dia ke sini untuk menyampaikan hal itu," ujar Novarita.
Menurut Novarita, Sylvester dalam keadaan baik.‎ Meski belum ditempatkan di ruang isolasi, namun Sylvester sangat tegar mengetahui dirinya masuk dalam gelombang eksekusi mati tahap 2 oleh Kejaksaan Agung. Sylvester, juga berharap masih ada mukjizat dari Tuhan agar bisa terbebas dari hukuman mati.
"Dia sangat tegar. Meski belum diisolasi. Pokoknya dia baik-baik saja. Dia berharap ada mukjizat, karena dia selalu berdoa," ujar Novarita.
Dia menuturkan, saat ini pihak Sylvester tengah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait penolakan grasinya oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dalam penolakan grasi sejumlah terpidana mati, Jokowi telah mengeluarkan keputusan presiden (keppres) beberapa waktu lalu.
Dari 10 terpidana mati yang masuk dalam daftar eksekusi tahap 2, hanya ‎Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati WN Filipina, yang belum dipindahkan ke Nusakambangan.
Sementara terpidana mati lainnya sudah dipindahkan ke Pulau Nusakambangan. Termasuk 2 terpidana mati kelompok Bali Nine WN Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Serta terpidana mati ‎warga Spanyol Raheem Agbaja Salami.
Lalu ada pula terpidana mati WN Prancis Serge Areski Atlaoui, WN Brasil Rodrigo Gularte, dan WNI Zainal Abidin. Ketiganya mendekam di Lapas Pasir Putih.
‎Kemudian terpidana mati WN Nigeria Sylvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa, WN Ghana Martin Anderson alias Belo, dan WN Nigeria Okwudili Oyatanze. Mereka ditempatkan di Lapas Batu.
>>> 'Mencuri Peluang' >>>
'Mencuri Peluang'
'Mencuri Peluang'
Seiring berjalannya waktu, eksekusi mati terhadap para terpidana mati belum juga mendapat kejelasan kapan akan dilaksanakan. Di tengah ketidakjelasan eksekusi mati ini, banyak dimanfaatkan para keluarga terdakwa dan negara asalnya untuk memprotes dan mengajukan gugatan hukum.
Seperti Zainal, dia harus menunggu eksekusi mati hingga kini atau selama 15 tahun. 5 Tahun terakhir dia habiskan di pulau terpencil, Nusakambangan, setelah dipindah dari Palembang, Sumatera Selatan.
Kini, Zainal masih berjuang untuk bisa lepas dari eksekusi mati yang mengancam nyawanya bersama 9 orang lainnya. Dia masih menunggu jawaban atas permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA) sejak 2005.
Zainal juga mengirim surat ke Kejaksaan Agung. Dalam surat yang ditulis tangan oleh Zainal itu dijelaskan, dia memohon agar hukuman matinya ditangguhkan. Karena saat ini PK yang diajukan ke MA pada 2005 lalu belum diputus sampai saat ini.
"Saya Mas Zainal Abidin terpidana mati atas putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan ini mengajukan permohonan penangguhan eksekusi mati pada diri saya," tulis Zainal dalam surat yang dibawa oleh kuasa hukumnya Ade Yuliawan di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, 5 Maret 2015.
Tak cuma itu, seandainya Kejaksaan Agung tetap pada pendiriannya melaksanakan eksekusi mati, dia memastikan arwahnya tidak tenang. Sebab akan menghantui semua pihak yang terlibat dalam eksekusi mati ini. Tak terkecuali Jaksa Agung HM Prasetyo sebagai orang yang dituju dalam surat Zainal.
Upaya penyelamatan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran juga semakin masif. Mulai dari beberapa pimpinan negara baik Australia dan lainnya, hingga para musisi dunia tengah melancarkan permohonan pembatalan eksekusi mati tersebut.
Konsul Jenderal (Konjen) Australia untuk Indonesia Majel Hind kembali juga 2 hari belakangan mengunjungi Pulau Nusakambangan. Majel datang bersama Julian McMahon, kuasa hukum terpidana mati duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Namun keduanya menutup mulut rapat-rapat saat tiba di Dermaga Wijaya Pura, Tambakreja, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu siang. Keduanya tak menghiraukan kepungan awak media yang tak berhenti bertanya soal kedatangannya itu.
Sementara kegemaran Presiden Jokowi terhadap musik metal, dimanfaatkan oleh beberapa musisi untuk mengajukan grasi terhadap penyelundup heroin seberat 8,2 kilogram pada 2005 itu.
Napalm Death, band grindcore atau band metal asal Inggris, melayangkan permohonannya melalui vokalisnya, Mark Greenway. Greenway mengirimkan surat permohonan itu dan dimuat di salah satu harian Inggris, The Independent.
Bukan hanya Napalm Death yang coba 'menggoyang' Jokowi melalui 'jalur' musik metal. Belum lama ini hal sama juga dilakukan oleh gitaris Black Sabbath, Tony Iommi.
Iommi meminta Presiden Jokowi untuk meninjau kembali eksekusi mati terhadap penyelundup narkoba tersebut. Iommi mengirimkan surat permohonan tersebut langsung ke Kantor Kepresidenan Republik Indonesia melalui pejabat Australia.
Kuasa hukum terpidana mati Raheem Agbaja Salami, Utomo Karim mengatakan kliennya dalam keadaan shock. Terutama saat dia meninggalkan Lapas Madiun Rabu 4 Maret pagi untuk menuju ke Lapas Pasir Besi, Nusakambangan. Apalagi, dengan dipindahkan dia ke Nusakambangan, berarti pelaksanaan eksekusi mati tinggal menunggu hitungan hari.
"Shock. Siapa pun pasti shock kalau mau menghadapi hukuman mati. Mau jagoan pun kalau mau dihukum mati shock. Itu (keadaan) terakhir pas ketemu di Madiun," kata Utomo di Dermaga Wijaya Pura, Tambakreja, Cilacap, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis 5 Maret lalu.
Kondisi yang tidak jelas itu, juga membuat Raheem mengajukan gugatan (2186338) terhadap Keputusan Presiden (Keppres) 4/G 2015‎. Sebab dengan Keppres tersebut Raheem dipastikan ikut dalam 'rombongan' terpidana yang akan dieksekusi mati.
"‎Kita sudah daftarkan ke PTUN Keppres Jokowi," kata Utomo.
Sementara Menteri Luar Negeri Australia Julia Bishop menawarkan pertukaran tahanan sebagai ganti dari nyawa duo terpidana mati Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Rencana eksekusi terpidana mati Rodrigo Gularte juga mendapat penolakan dari organisasi-organisasi disabiltas Indonesia. Sebab warga negara Brasil itu dilaporkan memiliki gangguan jiwa atau disabilitas mental.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Yeni Rosa Damayanti mengatakan pihaknya beserta 19 organisasi lainnya membuat petisi kepada Presiden Joko Widodo dan Kejaksaan Agung.
"Masalah Rodrigo bukan hanya masalah kondisinya pada saat ini, di mana sangat perlu dipertanyakan apakah mengeksekusi mati seseorang yang sedang mengalami gangguan jiwa berat melanggar rasa kemanusiaan dan keadilan bangsa Indonesia yang berperikemanusian yang adil dan beradab atau tidak," ujar Yeni di Kejagung, Jakarta, Jumat 6 Maret.
Menurut dia, Rodrigo sudah mengalami gangguan jiwa sejak tahun 1996. "Dia menjalani terapi rawat jalan dan rawat inap di klinik maupun rumah sakit jiwa. Dia juga di diagnosa dengan multiple diagnosis berupa bipolar dan skizofrenia paranoid yang merupakan gangguan jiwa yang berat dan kronis," jelas dia.
Charles Patrick Edward Burrows atau yang biasa disapa Romo Carolus ditugaskan menjadi pendamping terpidana mati jilid II warga Brasil, Rodrigo Gularte. Pastor di Gereja Santo Stephanus, Cilacap, Jawa Tengah itu berharap, Kejaksaan Agung membatalkan eksekusi mati Rodrigo.
"Karena Rodrigo sakit jiwa," ujar Romo Carolus saat berbincang dengan Liputan6.com di Gereja Santo Stepanus, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu 7 Maret. "Sekarang ini lagi ada perjuangan agar tidak dieksekusi," imbuh dia.
Dia mengatakan, sakit yang diderita Rodrigo semakin parah. Hal ini berdasarkan pengamatan yang dilakukannya setiap kali memberi siraman rohani kepada Rodrigo.
Protes juga datang dari sejumlah akademisi di Tanah Air. Mereka mendesak Presiden Jokowi untuk meninjau kembali keputusannya menolak grasi para terpidana mati jilid II.
"Tak ada efek jera (dari eksekusi mati). Jokowi seharusnya menempatkan belas kasih dan pengampunan di atas segalanya," ucap akademisi dari Jurusan Kesejahteraan Sosial (Kessos) FISIP Universitas Indonesia (UI) Frans Supiarso dalam dialog 'Akademisi Menolak Hukuman Mati' di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 6 Maret.
Di sisi lain, hukuman mati dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM). Ketua Program Pascasarjana Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI) Iqrak Sulhin menilai, kesalahan ada pada sistem peradilan pidana di Tanah Air. Menurut dia, banyak di antara keputusan yang diputus tersebut mengalami kekeliruan dan intimidatif.
"(Eksekusi mati) Bentuk negara yang nggak mau mikir tentang pencegahan kejahatan. Menghabisi nyawa dan nggak mau berpikir bagaimana mencegahnya," kata Iqrak dalam diskusi 'Akademisi Menolak Hukuman Mati' yang diselenggarakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 7 Maret.
"Penjahat juga manusia. Penjahat juga memiliki hak hidup." Dia menilai, hukuman mati tak akan menimbulkan efek jera.
Peneliti Populi Center Nico Harjanto menilai, penundaan eksekusi mati bisa memengaruhi psikologi para terpidana mati. "Jika eksekusi tidak kunjung dilakukan. Maka saat itu juga, bisa membuat para terpidana mati menjadi frustasi dan depresi," ujar Nico di Menteng, Jakarta, Sabtu 6 Maret.
Di lain sisi, Nico menyatakan apa yang dilakukan pemerintah telah memperlihatkan ketegasan. Dengan diberlakukannya hukuman mati, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menunjukkan sifat tegas dan tidak kompromi terhadap hukuman mati bagi para bandar narkoba.
"Sejak kampanye mulai, survei mengatakan Presiden Jokowi pemimpin merakyat dan tidak ada survei yang bilang Pak Jokowi pemimpin yang tegas," ujar Nico.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert meminta Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan kembali keputusan menolak grasi para terpidana mati jilid II.
"Masih ada waktu bagi pemerintah untuk melakukan perubahan," kata Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dalam diskusi 'Akademisi Menolak Hukuman Mati' yang diselenggarakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 7 Maret.
"Nggak ada istilah terlambat untuk menyelamatkan kehidupan," imbuh dia.
Apalagi, kata Robet, Indonesia baru saja terpilih menjadi anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Menurut dia, akan timpang jika RI masih mempraktikkan eksekusi mati.
"Tak ada apa pun yang bisa didapat dari hukuman mati ini. Yang diperoleh adalah cemooh," pungkas Robet.
Dengan komitmen untuk melakukan hukuman mati, Pemerintah RI juga harus siap menerima konsekuensi politik dunia. Jangan terlalu mudah atau cengeng mendapat kiritkan atau cemooh masyarakat internasional.
"Indonesia harus siap. Sehingga jangan lagi kita cengeng di tengah jalan, jika negara lain memusuhi kita. Itu (hukuman mati) pilihan dari kebijakan politik kita, artinya ke depan kita harus siap," ujar Director Paramadina Graduate School of Diplomacy Dinna Wisnu di Menteng, Jakarta, Sabtu 7 Maret.
>>> Desakan Eksekusi >>>
Advertisement
Desakan Eksekusi
Desakan Eksekusi
Sementara sejumlah orang yang tergabung dalam Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) berunjuk rasa di depan Dermaga Wijaya Pura, Nusakambangan, Cilacap. Granat mendukung percepatan pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkotika tahap 2 ini dengan aksi membawa boneka pocong.
"Kami menyatakan dukungan eksekusi mati kepada terpidana mati agar dipercepat eksekusinya," kata Koordinator Lapangan dari DPC Granat Cilacap, Luky Mulyono saat berorasi di depan Dermaga Wijaya Pura, Tambakreja, Cilacap, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat 6 Maret kemarin.
Luky mengatakan, pihaknya mendesak Kejaksaan Agung untuk tidak menunda-nunda lagi pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkotika. Sebab, narkotika merupakan bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam rusaknya generasi bangsa Indonesia.
"Hukuman mati adalah yang pantas untuk terpidana mati kasus narkotika. Sebab, hukuman penjara saja tidak akan membuat mereka jera sehingga terlibat lagi dengan narkoba," kata Luky.
Luky menambahkan, pihaknya juga tegas menolak segala bentuk in‎tervensi pihak-pihak internasional atas kedaulatan hukum di Indonesia. Termasuk juga rencana pertukaran terpidana yang ditawarkan Australia kepada Indonesia.
Aksi desakan eksekusi mati juga datang dari warga Asal Solo, Jawa Tengah. Aksi menginjak peti mati ini dilakukan Bambang Saptono dan Ahmad Sungkar Selain ditutup spanduk bergambar bendera Australia, Bambang dan Ahmad pun menempelkan foto Myuran Sukamaran dan Andrew Chan pada bagian depan peti.
Kedua peti mati tersebut diarak mengelilingi Kota Solo, lalu dibawa ke Kantor Pos Besar Solo untuk kemudian dikirimkan ke Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Aksi 2 warga Solo ini sebagai dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk memberantas peredaran narkoba.
Aksi berbeda juga digelar warga Cirebon, Jawa Barat. Usai salat Jumat, ratusan warga beramai-ramai membubuhkan tanda tangan di atas kain putih sepanjang 10 meter.
Aksi tersebut sebagai bentuk dukungan bagi pemerintah yang akan mengeksekusi mati para terpidana kasus narkoba. Masyarakat meminta agar pemerintah tidak mengabulkan seluruh permintaan pemerintah Australia, termasuk rencana pertukaran tahanan.
Dukungan hukuman mati juga diutarakan para santri yang tengah menjalani terapi pengobatan ketergantungan narkoba di Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Para santri berharap selain menghukum mati para terpidana, pemerintah juga diharapkan terus memutus mata rantai peredaran barang haram itu.
Sedangkan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mondorang dan meminta pemerintah RIÂ tidak perlu takut dengan ancaman ataupun kecaman dari luar negeri terkait pelaksanaan eksekusi mati.
Din yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpesan pula kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk tidak ragu menerapkan hukuman mati bagi para terpidana narkoba.
>>> Belum Siap? >>>
Belum Siap?
Belum Siap?
Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menegaskan, pemerintah Indonesia tak akan melakukan pertukaran tahanan tersebut.
"Kita tidak punya sistem hukum seperti itu, kita tidak punya sistem hukum tukar-menukar tahanan ya," tegas JK di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis 5 Maret lalu.
Menlu RI Retno LP Marsudi juga sudah menyatakan penolakan secara langsung kepada Bishop. Menurut Retno, penukaran tahanan tak diatur dalam Undang-Undang Indonesia.
Menteri ‎Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly juga menegaskan, penawaran Bishop bertukar tahanan duo Bali Nine dengan 3 tahanan asal Indonesia tidak dapat dilakukan dengan mudah. Sebab tidak ada warga Indonesia yang terancam hukuman mati di Australia.
"‎Belum kami kaji, kan tidak semudah itu. Apalagi, pertukarannya menyangkut hukuman mati. Apa sekarang ada orang kita yang terkena hukuman mati di Australia? Nggak ada, kan," ujar Yasonna di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis 5 Maret.
Jaksa Agung HM Prasetyo menolak keras barter terpidana yang ditawarkan pemerintah Australia kepada Indonesia. Menurutnya, hal tersebut merupakan suatu yang tidak lazim.
"Saya hanya dengar isu-isunya. Saya rasa tidak lazim," tegas Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis 5 Maret lalu.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Tony Spontana menyatakan, pihaknya belum bisa mengumumkan pelaksanaan eksekusi mati lantaran persiapan tak kunjung selesai.
"Bisa saya sampaikan bahwa pengumuman pelaksanaan eksekusi mati tahap 2 belum bisa disampaikan hari ini. Kita sampaikan persiapan teknis dan fasilitas belum 100% siap," ujar Tony di Kejagung, Jakarta, Jumat (6/3/2015).
"Kita juga belum pernah menyampaikan kapan kan? Nanti pada waktunya Jaksa Agung akan menyampaikan secara resmi kapan waktunya. Tapi memang ada fasilitas yang memang belum siap di Nusakambangan. Kita inginkan semua siap 100%," tegas dia.
Meski demikian Tony pun tidak menepis bahwa persiapan tersebut juga memperhatikan proses hukum yang diajukan para terpidana mati.
Sementara dari informasi yang dihimpun Liputan6.com di Nusakambangan, eksekusi mati tahap 2 akan dilakukan jika semua terpidana mati sudah berkumpul di Nusakambangan. Dari 10 terpidana mati kasus narkoba yang masuk daftar eksekusi tahap 2, tinggal ‎Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati asal Filipina, yang belum dipindahkan ke Nusakambangan.
Sementara semua terpidana mati lainnya sudah berada di Lapas Nusakambangan. Mereka adalah 2 terpidana mati asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, WN Prancis Serge Areski Atlaoui, WN Brasil Rodrigo Gularte, WN Spanyol Raheem Agbaja Salami, dan WNI Zainal Abidin. Mereka ditempatkan di dua lapas terpisah di Nusakambangan yakni Lapas Besi dan Lapas Pasir Putih.
‎Tiga terpidana mati lainnya yakni WN Nigeria Sylvester Obiekwe Nwolise alias Mustofa, WN Ghana Martin Anderson alias Belo, dan WN Nigeria Okwudili Oyatanze ditempatkan di Lapas Batu.
Polda Jawa Tengah kini terus memperketat pengamanan. Lebih dari seratus penembak jitu yang semunya merupakan anggota Brimob telah disiapkan. Status regu tembak pun menunggu perintah dari Kejaksaan Agung untuk pelaksanaan eksekusi mati.
"Untuk waktu dan jamnya kita tunggu perintah, intinya kita siap," kata Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Nur Ali di Semarang, Jumat 6 Maret.
Sesuai UU No 2/PNPS/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, eksekusi hukuman mati tiap narapidana akan menghadapi 14 personel penembak jitu. Berdasarkan aturan itu, Polda Jateng menyiapkan 140 penembak jitu karena ada 10 terpidana mati yang akan dieksekusi.
Pengamanan ketat yang dilakukan pemerintah tak hanya dilakukan secara fisik dengan kekuatan militer dan polisi. Pengamanan secara cyber juga diklaim pemerintah demi mendukung kelancaran proses eksekusi mati tahap dua tersebut.
"Kita ada kordinasi dengan Badan Cyber untuk mengamankan segala kemungkinan yang akan terjadi. Imbauan kepada semua lembaga pemerintah juga dilakukan," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Bambang Heru Tjahjono di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Keamanan cyber dianggap jadi suatu hal yang penting di dunia digital yang semakin maju seperti sekarang ini. Situasi genting yang terjadi terkait eksekusi mati dikhawatirkan sebagian pihak akan memunculkan serangan cyber sebagai wujud penolakan.
Jokowi sendiri kembali menegaskan, hukuman mati kepada para terpidana mati tahap II akan segera dilakukan. Namun kapan tepatnya dia enggan menyebutkan. "Hukuman mati tetap dilakukan, kapan waktunya rahasia," ujar dia baru-baru ini.
Mengingat kembali prosesi eksekusi mati 3 pelaku Bom Bali I (Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas) yang meledak 12 Oktober 2002 dan menewaskan 202 orang itu, eksekusi dimulai Sabtu 8 November 2008 larut malam.
Tepat pukul 23.00 WIB, jaksa eksekutor didampingi tim petugas medis dan petugas Lapas dengan dikawal Brimob menjemput 3 terpidana mati yang ditempatkan di sel isolasi Super Maximum Security (SMS) LP Batu, Nusakambangan. Mereka dieksekusi di satu tempat secara bersamaan, serempak. (Rmn/Ans)
Advertisement