Liputan6.com, Jakarta - Kapuspenkum Kejaksaan Agung Tony Spontana menyatakan pihaknya tidak terpengaruh soal barter yang diminta Pemerintah Australia, dalam upaya agar kedua warga negaranya yang terkena eksekusi mati bisa dibatalkan.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Australia Julie Bishop menawarkan barter duo Bali Nine dengan 3 WNI yang ditahan di Australia. 3 WNI tersebut ditahan Australia dengan kejahatan yang sama, penyelundupan narkoba tahun 1998 lalu.
Ketiga WNI itu adalah Kristito Mandagi, Saud Siregar dan Ismunandar yang masing-masing menjabat kapten, kepala staf, dan teknisi kapal. Kapal itu membawa 390 kg heroin. Kapal dan muatan mereka disita di dekat Port Macquarie, sekitar 400 km di utara Sydney.
Tony menjelaskan, pihaknya belum bisa mengumumkan pelaksanaan eksekusi mati lantaran persiapan tak kunjung selesai.
"Bisa saya sampaikan bahwa pengumuman pelaksanaan eksekusi mati tahap 2 belum bisa disampaikan hari ini. Kita sampaikan persiapan teknis dan fasilitas belum 100 persen siap. Kita juga belum pernah menyampaikan kapan kan. nanti pada waktunya Jaksa Agung akan menyampaikan secara resmi kapan waktunya. Tapi memang ada fasilitas yang memang belum siap di Nusakambangan. Kita inginkan semua siap 100 persen," ujar Tony di Kejagung, Jakarta, Jumat (6/3/2015).
Meski demikian dirinya pun tidak menepis bahwa persiapan tersebut juga memperhatikan proses hukum yang diajukan para terpidana mati.
Terpidana mati kasus narkoba asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan hakim Pengadilan Negeri Sleman yang telah memvonisnya dengan hukuman mati. Dalam sidang pengajuan PK tersebut, tim kuasa hukumnya mengajukan bukti baru.
"Kita juga memperhatikan proses hukum yang ada. Kita melihat baru 10 terpidana mati yang sudah dipindahkan ke Nusakambangan. Sementara Mary Jane belum bisa dipindahkan karena masih mengajukan PK. Kita akan kawal putusannya sehingga Jaksa Agung bisa mengambil sikap," jelas dia.
Sebelumnya, putusan PN Sleman atas vonis Mary Jane telah diperkuat dengan putusan banding Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada 23 Desember 2010 dan putusan kasasi Mahkamah Agung pada 31 Mei 2011. Grasinya pun telah ditolak Presiden Joko Widodo pada 31 Desember 2014 melalui Keppres Nomor 31/G Tahun 2014. (Tnt/Ein)