Liputan6.com, Jakarta - Penangkapan dan penahanan seorang kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi masih menjadi perhatian. Terlebih, anggota Komisi IV DPR RI Adriansyah dari Fraksi PDIP itu diringkus dalam operasi tangkap tangan (OTT) di sebuah hotel mewah di Sanur, Bali. Lokasi penangkapan bahkan tak jauh dari arena Kongres IV partai berlambang banteng moncong putih.
Namun penggiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menilai penangkapan Adriansyah tidak terkait dengan tugasnya sebagai anggota legislatif. Berdasarkan penelusuran, Adriansyah yang pernah menjabat sebagai Bupati Tanah Laut selama 2 periode itu berencana maju sebagai calon gubernur periode 2015-2020 pada Pilkada Kalimantan Selatan
"Kalau dilihat ia (Adriansyah) ditangkap bukan kaitannya terkait fungsi dia anggota DPR RI, tapi kaitannya dia sebagai orang kuat di daerah, sehingga soal perizinan dijadikan wahana untuk mencari rente (modal politik)," ujar Ade dalam diskusi di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Minggu (12/4/2015).
Ternyata, imbuh Ade, anak Adriansyah juga kepala daerah. "Sehingga dia (Adriansyah) punya kendali kuat dan untuk ikut pilkada di Kalimantan Selatan."
Modus Lama
Menurut Ade, praktik korupsi yang diperuntukkan bagi modal politik jelang pilkada bukan merupakan barang baru dalam modus korupsi. Besarnya ongkos politik dalam pertarungan di pilkada, menjadi penyebab besarnya modal yang harus ditanggung oleh tiap calon kepala daerah bila ingin memenangkan pertarungan.
"Proses jual beli nominasi itu faktanya memang terjadi, calon-calon kepala daerah harus kompetisi di antara mereka agar bisa dipilih oleh partai. Tapi faktanya masih ada calon independen, tapi ribetnya untuk maju melalui proses tersebut ribetnya nauzubillah," papar Ade.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan ICW, Ade mengatakan, proses rekrutmen calon kepala daerah oleh partai politik tidak bisa dipungkiri, juga harus membutuhkan uang yang besar.
"Temuan kami di daerah, ada partai yang nawari, ada yang jual putus, kandidat bayar urusan selesai, ada yang tidak beli putus. Jadi kalau terpilih harus ada kompensasi lain, seperti pemberian proyek atau lain sebagainya," urai dia.
Lantas, dari mana sumber dana untuk membayar itu semua? Ade menjelaskan hampir seluruh kepala daerah kebanyakan mengaku uang yang dihabiskan berasal dari kantong sendiri. Namun faktanya, setelah ditelusuri banyak pos-pos anggaran seperti dana bantuan sosial yang diselewengkan untuk kepentingan pilkada, khususnya bagi calon incumbent atau petahana.
Ia menambahkan, mereka umumnya mengaku dana tersebut dari kantong sendiri. Namun ada juga aliran tidak halal dalam modal kampanye, misalnya sumbangan dari pos bantuan sosial atau bansos.
"Ada juga pengusaha nyumbang besar, dia punya kepentingan di daerah itu, ia nyumbang agar dapat kemudahan dalam usahanya, tapi tidak ingin sumbangannya ditulis dilaporkan dana kampanye, mereka biasanya nggak mau ditulis. Ada alasannya, pertama takut di-black list atau takut diminta sama kandidat lainnya," pungkas Ade Irawan.
OTT di Bali
Tim Satuan Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meringkus 3 orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis 9 April kemarin. Mereka adalah anggota Komisi IV DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Adriansyah, anggota Polsek Metro Menteng Brigadir AK, dan seorang pengusaha bernama Andrew Hidayat.
AK dan Adriansyah ditangkap di sebuah hotel di kawasan Sanur, Bali sekitar pukul 18.45 Wita. Keduanya dicokok saat sedang bertransaksi. Di situ, Tim Satgas KPK juga turut menyita sejumlah uang dalam bentuk mata uang dolar Singapura dan rupiah. Diduga kuat, uang itu terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sedangkan Andrew diringkus dari hotel di kawasan Senayan, Jakarta sekitar pukul 18.49 WIB.
KPK kemudian menetapkan anggota Komisi IV DPR Adriansyah sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait izin usaha PT Mitra Maju Sukses (MMS) di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Salah satu izin usaha itu di sektor batu bara. Selain Adriansyah yang juga mantan Bupati Tanah Laut itu, KPK juga menetapkan pengusaha bernama Andrew Hidayat dalam kasus ini.
Usai penetapan tersangka dan pemeriksaan selesai, Adriansyah dan Andrew pun langsung ditahan. Namun, Briptu AK dilepas KPK karena dinilai tidak terbukti dalam kasus dugaan suap itu.
"Setelah pemeriksaan selesai, keduanya (Adriansyah dan Andrew) akan dilakukan upaya penahanan untuk 20 hari pertama. Tempatnya belum dapat informasi," kata Pelaksana tugas (Plt) Pimpinan KPK Johan Budi SP di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat malam 10 April 2015. (Ans/Sss)