Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPRÂ Fahri Hamzah meminta panitia seleksi (pansel) memilih pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari negarawan. Menurut dia, KPK harus dipimpin orang yang berjiwa besar dan tanpa pamrih dalam mengemban tugas.
"KPK itu menurut saya wajar kalau salah satu kriterianya harus negarawan. Artinya orang yang nafsunya semakin kecil dan ambisi pribadinya tidak ada. Termasuk nafsu dan ambisi ingin populer," ucap Fahri di Gran Sahid, Jakarta, Selasa (19/5/2015).
"Tapi kalau dipimpin orang yang masih cari-cari, masih ingin tepuk dada, sayalah yang memberantas koruptor. Saya yang berani menangkap koruptor itu apa yang begitu-begitu. Penegak hukum nggak boleh gitu," lanjut dia.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini mengatakan, pansel tidak cukup bekerja dengan pencitraan-pencitraan. Pansel harus benar-benar bisa memilih negarawan sebagai pimpinan KPK. "Jadi bukan asal pilih orang yang paling ganas, paling galak, nggak gitu dong."
KPK dalam perannya sebagai koordinasi, monitoring, dan supervisi diminta agar orang-orang yang ada di dalamnya, terutama pimpinannya memiliki kelapangan dada dalam mengemban tugas. Dengan demikian, lanjut Fahri, KPK tidak bekerja berdasarkan nafsu melainkan dengan hati nurani.
"Orang-orangnya itu harus yang lapang dada, tenang jiwanya, dan memiliki pandangan-pandangan yang komprehensif. Sehingga hukum bisa ditegakkan dengan cinta bukan dengan ambisi dan keinginan untuk populer," tukas Fahri.
Saran negarawan sebagai syarat pimpinan KPK ini agar permasalahan di tubuh lembaga antirasuah tersebut tidak terjadi berulang-ulang. Menurut Fahri, penetapan tersangka terhadap sejumlah pimpinan KPK hendaknya bisa menjadi bahan evaluasi penegakan hukum di Indonesia.
"Harus ada yang mengambil pelajaran lebih serius. Jangan pencitraan terus. Cari akar masalahnya, kenapa ini berulang-ulang. Kalau kita percaya pimpinan KPK yang jadi tersangka itu adalah satu proses hukum yang legitimate ya harus ada keberanian kita berfikir mendalam kenapa ini terjadi," ujar Fahri Hamzah.
Selanjutnya: Tak Wajar Dibandingkan...
Tak Wajar Dibandingkan
Tak Wajar Dibandingkan
Politisi PKS Fahri Hamzah mengkritisi hasil survei Poltracking Indonesia yang menyebutkan KPK mendapat kepercayaan tinggi sebagai institusi demokrasi mengalahkan lembaga-lembaga pemerintahan lain. Menurut dia, kuantitas KPK masih cukup kecil jika dibandingkan dengan DPR, partai politik, maupun Polri.
"Survei itu nggak wajar membandingkan KPK dengan lembaga lain. KPK itu kantornya cuma 1, pegawainya kurang dari 1.000 orang dan cuma ada di 1 tempat. Pengelolaannya pun seperti mengelola lembaga swadaya masyarakat," kata Fahri di Grand Sahid, Jakarta, Selasa (19/5/2015).
Wakil Ketua DPR ini juga membandingkan KPK dengan lembaga lain seperti Polri. Secara kuantitas, Polri lebih besar dari KPK. Menurut dia, semakin banyak anggotanya maka potensi kesalahan akan semakin kelihatan.
"Polisi misalnya 423 ribu orang di seluruh Indonesia. Padahal 1 orang saja berbuat salah saban hari polisinya dimaki-maki oleh publik. Nggak boleh begitu, nggak adil," sambung dia.
Karena itu, Fahri tidak setuju jika KPK diletakkan dalam survei yang bertajuk 'Evaluasi Publik terhadap Kinerja Institusi Demokrasi'. Menurut dia, yang seharusnya disurvei adalah kelembagaan inti bukan lembaga adhoc seperti KPK.
Sementara terkait popularitas yang diraih KPK, Fahri menyatakan, hasil itu tidak lepas dari peran media selama 12 tahun terakhir. "Wajar jika publik mengidolakannya karena dalam 12 tahun ini KPK setiap hari masuk headline di koran dan televisi kita."
Dalam waktu yang sama, Poltracking Indonesia merilis hasil survei terkait evaluasi publik terhadap kinerja institusi demokasi. Dalam survei tersebut, KPK menjadi lembaga yang dinilai publik bekerja paling baik.
Tingkat kepuasan responden terhadap kinerja lembaga anti rasuah ini mencapai 69,4%. Tingkat kepuasan publik selanjutnya diraih TNI sebesar 67,9%. Disusul KPU 44,8%, dan Lembaga Kepresidenan 42,7%.
Sebaliknya, Poltracking Indonesia, tingkat tertinggi ketidakpuasan publik terhadap kinerja institusi demokrasi berada pada lembaga legislatif. DPR mendapat respons tidak puas sebanyak 66,5%. Disusul partai politik sebesar 63,5%, dan Polri 55,9%.
Selanjutnya: Belum Paham Demokrasi...
Advertisement
Belum Paham Demokrasi
Belum Paham Demokrasi
Sementara itu, Walikota Bogor Bima Arya menilai banyak masyarakat Indonesia yang masih belum memahami esensi demokrasi. Menurut dia, banyak yang mengartikan demokrasi secara kebablasan.
"Demokrasi bukan hanya sekadar partisipasi maupun kebebasan. Demokrasi berarti media bebas, politisi bebas, masyarakat bebas, saya kira tidak begitu," ujar Bima usai menjadi pembicara survei Poltracking Indonesia dalam rangka refleksi perjalanan 17 tahun reformasi di Grand Sahid, Jakarta, Selasa (19/5/2015).
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini juga menyatakan partai politik membutuhkan sistem demokrasi yang kuat. Dengan aplikasi demokrasi yang benar, proses regenerasi dalam partai politik akan menjadi lebih baik.
"Publik sebenarnya merindukan regenerasi di partai. Tetapi regenerasi itu butuh sistem demokrasi yang kuat. Kalau partai mempunyai sistem kuat maka akan muncul regenerasi," lanjut dia.
Ia kemudian mencontohkan pilkada yang sering melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Menurut dia, lahirnya pemimpin baru seperti dirinya, Walikota Bandung Ridwan Kamil, dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas merupakan produk dari sistem berdemokrasi yang baik.
"Selama partai belum memiliki sistem demokrasi yang baik, maka tidak akan ada regenerasi. Padahal itu yang ditunggu rakyat," demikian Bima.
Survei Poltracking Indonesia
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda AR merilis hasil survei bahwa mayoritas publik setuju demokrasi sebagai sistem terbaik di Indonesia. Sebanyak 67,9% responden setuju, 15,8% lainnya tidak setuju, dan 16,3% sisanya mengaku tidak tahu atau tidak menjawab.
"Publik setuju dengan sistem demokrasi di Indonesia. Menurut mereka, demokrasi bisa membuat masyarakat bebas berekspresi dan berpendapat," ujar Hanta.
Dalam survei ini juga, partai politik sebagai institusi demokrasi dinilai publik mempunyai kinerja yang lemah. Tingkat ketidakpuasan publik terhadap partai politik sebesar 63,5% nomor 2 setelah DPR yang memiliki tingkat ketidakpuasan sebesar 66,5%.
Rilis survei ini juga dihadiri sejumlah tokoh partai politik. Di antaranya Menpan-RB Yuddy Chrisnandi (Hanura), Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah (PKS), Walikota Bogir Bima Arya (PAN), Hasto Kristyanto (PDIP), Syarif Hasan (Demokrat), dan Rio Capella (Nasdem). (Ans)