Rentetan Lindu Bulan Juli dan 'Ramalan' Gempa Besar

Fenomena rentetan menimbulkan kekhawatiran, bakal ada guncangan besar yang mengintai di baliknya. Benarkah?

oleh RochmanuddinNadya IsnaeniYanuar H diperbarui 04 Agu 2015, 00:17 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2015, 00:17 WIB
Gempa Indonesia
Ilusterasi gempa

Liputan6.com, Jakarta - Maryam tengah di kamar mandi saat bersiap melaksanakan salat subuh ketika tiba-tiba Bumi yang dipijaknya terasa bergetar. Saat itu air di kamar mandi tampak bergolak.

Getaran itu cukup kuat hingga turut membuat piring serta gelas di rak rumahnya berbunyi menimbulkan kegaduhan. Bahkan, cucunya langsung melompat dari tempat tidur ketika peristiwa itu terjadi. Sesaat kemudian barulah Maryam sadar jika getaran tersebut adalah gempa.

"Saya kebetulan sedang di kamar mandi mau bersiap untuk salat Subuh, tiba-tiba ada gempa, saya pun segera lari. Piring dan gelas yang ada di rak pun berbunyi akibat adanya guncangan gempa," cerita Maryam pada 25 Juli 2015 lalu.

Saat itu gempa berkekuatan 5,7 SR yang berpusat di Samudera Hindia dengan kedalaman 10 kilometer menggetarkan Ciamis, Jawa Barat. Dampak gempa kala itu dirasakan sampai ke 15 daerah. Termasuk rumah Maryam di Desa Kalikudi, Kecamatan Adipala, Cilacap, Jawa Tengah.

Gempa tak cuma menyasar Ciamis dan sekitarnya. Sejumlah lindu secara beruntun juga menggetarkan daerah-daerah lain di Indonesia. Posisinya menyebar dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, hingga Papua dan terjadi dalam tempo 4 hari berturut-turut sejak 25 Juli 2015. Bahkan, gempa masih menyusul menyasar Bengkulu pada 2 Juli 2015.

Fenomena rentetan gempa ini pun menimbulkan kekhawatiran, bakal ada guncangan besar yang mengintai di baliknya. Benarkah?

Gempa Indonesia (phys.org)

Gempa Tak Bisa Diramal

Semua pakar sepakat, Indonesia merupakan lingkaran titik penuh potensi gempa. Karena itu fenomena yang terjadi beberapa waktu belakangan ini dinilai wajar.

Seperti diungkapkan pakar gempa dari Yayasan Pengurangan Risiko Bencana (YPRB) Suharjono. Menurut dia, Indonesia memiliki sejumlah titik yang memang memiliki potensi gempa. Misalnya di barat Sumatera di mana terdapat lempengan berjarak 300-400 kilometer (km) yang jika terjadi di darat dapat memicu gempa hingga 7 Skala Richter (SR).

"Sebetulnya bukan indikasi, tapi Indonesia punya tempat yang berpotensi terjadi gempa," kata Suharjono kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (3/8/2015).

Namun sulit untuk meramalkan kapan bencana ini bakal terjadi di daerah itu. Hal ini lantaran keterbatasan data.

"Kalau bicara kejadian, harus lihat record per tahun, 100 tahun, 1.000 tahun. Kalau punya dokumen sekian lama, jauh akan lebih baik," tutur mantan Kasie Informasi Gempa Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Hal senada juga diungkapkan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Surono. Dia menepis isu adanya gempa besar di balik deretan-deretan yang mengguncang Tanah Air belakangan ini.

Dia menegaskan, gempa tak bisa diramal.

"Isu itu bohong saja. Mana ada gempa bisa diramal. Yang penting daerah rawan gempa itu bisa diketahui, tetapi kapan gempa itu terjadi itu tidak bisa diketahui," kata Surono kepada Liputan6.com pada 31 Juli 2015.

"Rentetan gempa di bulan Juli itu hal yang wajar saja," ucap dia.

Gempa, kata dia, tak mengenal musim, seperti kemarau dan hujan. Hanya saja kebetulan gempa-gempa tersebut terjadi serentak pada Juli.

"Enggak ada itu, oh sekarang lagi musim gempa. Tidak ada musim gempa di Indonesia, nggak ada. Kebetulan saja terjadi Bulan Juli," ujar pria yang karib disapa Mbah Rono tersebut.

Sepi Lindu di Kalimantan

Namun, sambung dia, tak semua daerah di Indonesia memiliki potensi gempa besar. Hingga saat ini Kalimantan terpantau sebagai kawasan yang paling aman dari ancaman gempa.

"Ya cuma Kalimantan aja yang aman. Yang lainnya ada semua potensinya," ucap dia.

Hal ini diakui juga oleh peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja. Menurut Danny, sumber gempa di Kalimantan relatif rendah. Hal ini karena lokasi pulau tersebut yang berada tak dekat dengan batas lempeng.

"Kalimantan relatif rendah sumber gempanya, sangat sepi. Karena lokasinya tak dekat batas lempeng, ada di tengah-tengah," jelas Danny kepada Liputan6.com.

Danny pun membeberkan daerah-daerah lain yang memiliki potensi gempa besar. Sumatera salah satunya. Di pulau itu, Aceh memiliki risiko gempa hingga 8 Skala Richter (SR) dan Mentawai 9 SR.

Sementara di Pulau Jawa, daerah Selat Sunda pun memiliki potensi gempa besar. Di daerah itu gempa diprediksi bisa mengguncang hingga 9 SR. Yang menjadi masalah, daerah itu dekat dengan populasi manusia.

 

Ilustrasi gempa Nepal

Selain itu, ujar dia, Maluku, khususnya di daerah Seram juga tak kalah menyimpan potensi gempa. Danny memprediksi energi yang tersimpan di daerah itu sudah penuh. Hanya tinggal menunggu waktu saja hingga energi itu lepas dan menjadi gempa.

Danny mengatakan, Pulau Bali pun sama kondisinya dengan Maluku. Sementara, menurut dia, daerah Papua sangat aktif dan harus diwaspadai. Papua bahkan diprediksi lebih hebat dari Sumatera.

"Bahanyanya 2 kali lipat dari Sumatera karena pergerakan lempengannya 2 kali lipat," ucap dia.

Sedangkan Pulau Sulawesi juga memiliki potensi yang sama. Khususnya di bagian utara. Diprediksi gempa bakal mengguncang daerah tersebut hingga 8,5 SR.

Lalu bagaimana dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB)? "Sama dengan Jawa, sedang. Lebih rendah dari Sumatera, lebih tinggi dari Kalimantan."

Karena itu, Danny sepakat dengan peneliti-peneliti lainnya yang menyebut jika gempa pada Juli 2015 kemarin adalah suatu kewajaran. Menurut dia, gempa adalah suatu hal yang biasa di negeri ini. Apalagi jika gempa kecil 4, 5, atau 6 Skala Richter.

"Daerah Indonesia dari dulu gempa banyak terjadi, apalagi gempa 4, 5, 6 SR, banyak. Ratusan tiap tahunnya," kata Danny.

"Enggak mudah memprediksi alam, prosesnya kan di dalam Bumi."

Gempa Tak Membunuh

Ada hikmah di balik fenomena gempa yang terjadi selama Juli 2015 kemarin. Banyak pakar yang yakin, rentetan lindu kemarin menurunkan risiko gempa besar di Tanah Air. Mengapa begitu?

Menurut Kepala Lab Geologi Dinamik Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Subagyo, terjadinya gempa kecil di berbagai daerah di Indonesia justru semakin baik, karena akan membuat energi yang tersimpan tersalurkan keluar. Menurut dia, semakin banyak gempa kecil justru membuat gempa dengan energi besar terkurangi.

"Karena gempa kecil-kecil justru membuat energi keluar tersalurkan," kata Subagyo kepada Liputan6.com.

Subagyo juga sempat menyentil soal ramalan yang menyebutkan gempa akan membuat nusantara terpecah. Menurut dia, hal itu hanyalah isapan jempol belaka.

"Kalau Nusantara pecah paling 100 juta tahun akan datang, kalau enggak percaya, buktikan nanti, hehe…" seloroh dia.

Soal hikmah di balik gempa-gempa kecil itu pun diamini pakar gempa Agus Setyo Muntohar.

"Kalau kita catat, ada gempa yang dirasakan dan tidak dirasakan. 10 Km gempa dangkal kita rasakan sehingga energi sudah dilepas, maka gempa yang besar tidak akan terjadi. Semakin bagus,” ujar Agus kepada Liputan6.com.

"Artinya dalam teori energi, maka energi semakin berkurang. Harapannya tidak terjadi pelepasan dengan energi yang besar," imbuh dia.

Sementara itu, pakar gempa dari Yayasan Pengurangan Risiko Bencana (YPRB) Suharjono mengatakan, gempa sebenarnya dipicu oleh adanya patahan di lokasi pertemuan lempeng Bumi. Ini karena lempengan Bumi selalu bergerak 6-11 cm per tahun.

Lantas kenapa lempengan selalu bergerak?

"Karena ada arus konveksi di perut Bumi, di inti Bumi, karena panas jadi Bumi berjalan. Jadi di dalam ada material panas. Lalu kenapa terjadi ada arus konveksi? Karena Bumi-nya berputar pada porosnya, itu sangat berpengaruh pada perut Bumi sendiri," papar Suharjono.

Arus konveksi ini, kata dia, berdampak pada pergerakan lempeng-lempeng Bumi. Seperti arus Laut yang membuat kapal terombang ambing.

"Laut itu kan di bawahnya ada energi, panas, dingin. Itulah yang mempengaruhi pergerakan lempeng, karena ada driving force—pemicunya," ucap dia. 

Ilustrasi Gempa Bumi (Liputan6.com/Sangaji)

Dari pertemuan lempeng-lempeng ini akan memicu aksi saling dorong, bergeser, dan interaksi satu sama lain karena material yang saling bersinggungan.

"Nah suatu saat mereka tidak tahan dorong-dorongan ini, sehingga patah kan? Pada saat patah inilah ada energi, sehingga terjadi gempa Bumi," ujar Suharjono. 

"Pada saat patah itulah gempa Bumi melepaskan energi. Itu akan mempengaruhi kesimbangan, menuju keseimbangan baru. Jadi lempengan itu tiap hari seperti itu."

Dia memaparkan, di Tanah Air, pertemuan lempeng Eurasia dan Indo Australia terjadi mulai dari Sumatera Barat menuju selatan, Selat Sunda dan berbelok ke timur hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).

Saat ini masyarakat Indonesia harus bisa beradaptasi dan menerima kodratnya tinggal di daerah gempa. Karena sesungguhnya, gempa tak membunuh. Kita hanya tinggal mencari cara untuk bersahabat dengan sang lindu.

"Bencana parametenya kan jumlah korban, jadi indikatornya, karena mungkin ketimpa bangunan, kena longsor, dan sebagainya," papar dia.

"Gempa itu tidak membunuh. Jadi kalau dulu gempanya enggak banyak memakan korban, tetapi karena sekarang perkembangan penduduknya banyak, sekarang korban jadi lebih banyak," imbuh Suharjono.

Karena itu, dia menilai infrastruktur menjadi salah satu elemen yang harus diperhatikan masyarakat Indonesia.

"Misalnya, di tempat duduk ada bantal, karana bisa menjadi salah satu pelindung supaya tidak kejatuhan lampu. Buat rumah (seperti) di Jepang pintu pakai sleregan, supaya kalau ada gempa tidak kebanting. Itu penting meminimalisasi risiko, pemahaman adalah fungsi kerentanan dan kemampuan adalah fungsi kapasitas."

Selain infrastruktur, jatuhnya korban jiwa saat gempa juga bisa diminamilisir dengan memanfaatkan teknologi. Pun begitu dengan kearifan lokal.

"Sekarang teknologi kita sudah cukup bagus, tapi masih kurang. Misalnya, kalau dulu butuh 5 hari ingin mengetahui gejala akan terjadi gempa atau tsunami, sekarang 5 menit misalnya (sudah bisa). Guncangan sebelum sampai, infonya sudah sampai masyarakat. Ini di Jepang sudah mulai. Nah, itu harus dicari teknologinya," papar dia.

"Dari sisi kearifan lokal harus diutamakan. Bagaimana teknologi bisa dibangun, sementara kearifan lokal belum bisa menerima. Misalnya, kita punya alat deteksi tsunami, tapi dicuri warga. Ini kan belum ada kesadaran."

Analogi Pegas dan Mentawai

Seperti analogi pegas, per akan memantul ketika energi sudah terisi penuh. Saat hal itu terjadi, gempa hanya soal waktu.

Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja memprediksi, bakal ada gempa besar hingga 8,8 SR yang terjadi di Tanah Air dalam waktu 10 tahun ini. Lokasinya di Mentawai, Sumatera Barat.

Menurut dia, energi di pulau itu sudah terisi penuh dan siap meledak kapan saja.

"Skala geologis dalam waktu dekat kurang lebih 10 tahun yang kita tahu persis Mentawai masih terisi penuh oleh energi gempa, 8,8 SR, siap meledak kapan saja," papar Danny kepada Liputan6.com.

Namun sekali lagi, gempa tak bisa diramalkan kapan terjadinya. "Tapi kita tak tahu kapan persisnya, karena itu prediksi jangka panjang."

Meski begitu, dia memastikan, prediksi gempa Mentawai ini tak ada hubungannya dengan rentetan gempa pada Juli 2015. (Ndy)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya