Liputan6.com, Jakarta - Aksi terorisme penembakan dan bom bunuh diri yang terjadi di Paris, Prancis pada Jumat, 13 November 2015 menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat Indonesia. Kekhawatiran akan teror serupa terjadi di Indonesia dianggap sangat mungkin terjadi oleh sebagian masyarakat di Indonesia.
Temuan peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan sebanyak 84,62 persen mayoritas publik khawatir aksi di Paris, Prancis, merembet ke Indonesia.
"Teror di Paris memiliki dampak psikologis terhadap masyarakat Indonesia. Hanya sebesar 13,19 persen yang menyatakan tak khawatir," kata peneliti LSI Fitri Hari di Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Dia menuturkan metode survei dilakukan melalui mekanisme quick poll pada 15-17 November 2015. Ada 600 responden diambil jawabannya lewat gadget yang sudah disediakan oleh peneliti dengan aplikasi tertentu.
Aplikasi itu nantinya langsung menerima jawaban dari responden ke pusat data LSI. Survei dilakukan di 33 provinsi dengan random sampling.
"Jadi setiap peneliti itu mendatangi para responden membawa gadget yang kita fasilitasi. Aplikasi itu untuk mempercepat mekanisme masuk dan hitung data ke pusat saja. Di aplikasi itu pertanyaannya sudah ada. Margin of error plus minus 4 persen," ujar Fitri.
Baca Juga
Ia mengungkapkan ada 4 faktor pemicu publik khawatir aksi terorisme itu hadir di tengah-tengah mereka. Pertama, berita mengenai jaringan yang mengklaim teror di Paris datang dari ISIS. Kedua, publik khawatir teror di Paris menyemai aksi teror di Indonesia.
"Dalam survei ditemukan 86,11 persen publik itu khawatir Indonesia menjadi target selanjutnya setelah Paris. Seperti diketahui dan terkonfirmasi bahwa polisi, khususnya Tim Densus 88, sudah sering menangkap orang yang diduga terlibat jaringan ISIS," kata Fitri.
Faktor yang ketiga, koresponden melihat kondisi ekonomi yang semakin sulit di kalangan bawah menyumbang potensi aksi terorisme terjadi. Dan keempat, para koresponden juga melihat radikalisme dan sektarianisme dirasa makin meluas dengan munculnya peraturan daerah dan aturan pemerintah daerah yang dinilai diskriminatif.
"Komnas perempuan saja mencatat tahun 2015 tak kurang 300 perda di Indonesia mengandung unsur diskriminatif," tutur Fitri Hari. (Mvi/Mut)**
Advertisement