5 Fakta 'Menakjubkan' Metro Mini

Dengan ongkos Rp 4 ribu per penumpang, Metro Mini melaju was wes wos.

oleh Nadya Isnaeni diperbarui 07 Des 2015, 21:05 WIB
Diterbitkan 07 Des 2015, 21:05 WIB
5-razia-metromini-140210c.jpg
Petugas tampak memeriksa keabsahan dokumen yang dimiliki oleh supir Metromini (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Metro Mini ibarat raja jalanan. Dengan ongkos Rp 4 ribu per penumpang, kendaraan itu melaju was wes wos. Si oranye biasa ngebut dan salip kiri-kanan tanpa ampun.

Segudang risiko juga ada pada angkutan yang 'ramah' di kantong rakyat ini. Dari aksi ugal-ugalan yang berujung maut, tindak kriminal, hingga dibajak untuk tawuran. Namun rakyat tak bisa meninggalkan angkutan ini begitu saja.

Belum lagi masalah dualisme kepemimpinan di lingkup internal perusahaannya. Kondisi fisik dan kelengkapan surat untuk armada berikut sopirnya juga tak jarang bermasalah.

Jokowi yang saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta kala itu sampai malu dengan keberadaan Metro Mini.

Razia pun digelar untuk menertibkan si oranye. Armada-armada yang tak layak dikandangkan. Namun ratusan sopir yang gerah dengan upaya Pemprov DKI Jakarta malah menggeruduk kantor Jokowi di Balai Kota.

Dengan sederet catatan kelamnya, wacana menghapuskan Metro Mini pun mengemuka. Namun tetap saja angkutan tersebut 'berkuasa' di jalanan.

Hingga pada 2014 lalu, masyarakat dibuat geger dengan kemunculan mewah Metro Mini. Mobil pelat hitam Toyota Alphard bercat khas dan berlogo Metro Mini melenggang di jalanan Ibu Kota. Membuat penasaran.

Berikut sederet catatan Metro Mini beberapa tahun belakangan yang dihimpun Liputan6.com, Senin (7/12/2015):

Rekor Celaka

Sudah tak terhitung lagi berapa rekor celaka Metro Mini. Tak jarang menimbulkan korban jiwa.

Terakhir, Metro Mini menerobos pintu perlintasan kereta Angke, Jakarta Barat pada Minggu 6 Desember 2015. Angkutan itu lalu menabrak Commuter Line di perlintasan sebidang, Angke, Jakarta Barat.

Akibat kecelakaan itu, 1 gerbong kereta rusak. Tidak ada penumpang kereta yang menjadi korban dalam kecelakaan itu. Sementara badan bus Metro Mini ringsek tertabrak kereta yang melintas dan mengakibatkan 18 penumpangnya meninggal dunia, termasuk sang sopir.

Pada 2013 lalu, Metro Mini 640 jurusan Tanah Abang-Pasar Minggu tertabrak KRL jurusan Jakarta-Bogor di palang pintu setelah Stasiun Pasar Minggu.

Tak cuma itu, angkutan tersebut juga tertabrak KRL dari jurusan sebaliknya, yakni Bogor-Jakarta yang melintas di waktu yang sama. Akibatnya, kereta pun terhenti dengan posisi Metro Mini tergencet di tengah kedua KRL tersebut.

Dualisme

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang masih menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta menilai, permasalahan Metro Mini sangat rumit. Menurut dia, akar masalah tersebut berada dalam manajemen PT Metro Mini.

Sebab, selama ini ada banyak penyelewengan dalam administrasi, misalnya bukti KIR palsu. Sehingga armada yang dikandangkan tak bisa dikeluarkan.

Belum lagi hal ini juga berimbas pada kesejahteraan para sopir.

Perpecahan PT Metro Mini yang pertama kali berdiri tahun 1967 itu dimulai saat rapat pemegang saham (RUPS) pada 1995. Kala itu, RUPS yang harusnya membahas masalah laporan keuangan justru melakukan pemilihan pengurus baru.

Oleh sebab itu, pengurus angkatan 1993 menggugat pengurus yang terbentuk pada 1995 itu ke PN Jakarta Timur. Pengadilan akhirnya memenangkan gugatan pengurus 1993 itu.

Pengurus yang terbentuk pada tahun 1995 kemudian mengajukan gugatan balik. Maka melalui putusan nomor 2779 K/Pdt/2011, Mahkamah Agung mengharuskan PT Metro Mini melaksanakan RUPS Luar Biasa.

Namun, hingga saat ini permasalahan tersebut tidak menemukan titik temu. Sehingga menyebabkan pemilik saham pun mengelola sendiri armada hingga tidak layak jalan.

Sementara itu PT Metromini mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 86 ayat 7 dan 9 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). PT Metromini mengaku kesulitan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ke-2 dan ke-3 dalam rentang waktu 21 hari seperti yang diatur UU itu. 

Seperti dituturkan Direktur Utama PT Metromini, Nofrialdi dalam sidang perdana di Gedung MK pada 29 Oktober 2013. "Rentang waktu 21 hari untuk pelaksanaan RUPS ke-2 dan ke-3 mustahil bisa dilaksanakan. Atas dasar itu, pemohon mencari keadilan," kata Nofrialdi.

Serbu Kantor Jokowi

29 Agustus 2013 lalu, ratusan sopir Metro Mini menggelar demo di depan kantor Gubernur DKI Joko Widodo atau Jokowi. Massa menuntut agar Pemprov DKI dan pihak berwajib tidak melakukan razia terhadap sopir Metro Mini dan kendaraannya.

Mereka juga meminta agar sekitar 140 unit Metro Mini yang dikandangkan segera dikembalikan. Saat itu puluhan bus Metro Mini terparkir di sepanjang jalan Medan Merdeka. Sehingga menyebabkan lalu lintas dari Kedubes Amerika Serikat hingga arah Jalan Budi Kemuliaan tersendat.

Para demonstran juga melakukan razia terhadap Kopaja 502 dan menuntut sopir yang masih beroperasi untuk ikut berdemo.

Penumpang Kopaja jurusan kampung Melayu-Tanah Abang itu diturunkan paksa. Demonstran kemudian menghancurkan kaca Kopaja yang hendak menuju ke Tanah Abang tersebut.

Aksi anarki para sopir Metromini itu tak berhenti sampai di situ. Para demonstran juga menyerang 2 bus Transjakarta yang sedang melintas. Para penumpang bus Transjakarta juga diturunkan paksa.

Jokowi Malu

Jokowi saja malu dengan keadaan Metro Mini. Sebagian besar armada Metro Mini dinilai tak layak pandang, apalagi layak jalan.

Mantan Wali Kota Solo itu prihatin dengan Metro Mini yang masih berlalu lalang di Jakarta hingga detik ini. Meski usianya telah mencapai 30 tahun, tak jarang armada Metro Mini masih dioperasikan.

Padahal kondisi fisik yang tua dan minimnya perawatan berbahaya bagi para penumpang. Apalagi banyak sopir Metro Mini yang ugal-ugalan saat mengendarainya hingga tak jarang juga menimbulkan korban jiwa.

"Ya gimana, memang nggak layak. Masa mau dibiarin, nanti remnya blong lagi nabrak pos polisi kayak dulu, nabrak anak SMP, gimana? Secara fisik aja dilihat nggak layak untuk Jakarta," ucap Jokowi pada 1 Agustus 2013 lalu.

"Ini Ibu Kota lho! Itu biar dijual dipake daerah yang lain, masa bus masih kayak gitu, yang malu kan kita."

Alphard Metro Mini

2014 lalu, mobil Toyota Alphard mirip Metro Mini lalu lalang di wilayah Jakarta Selatan. Walau mempunyai tampilan serupa Metro Mini, mobil mewah tersebut berpelat hitam.

Setelah ditelusuri, pemilik Metro Mini Alphard tersebut ternyata adalah seorang pengusaha bernama Onny Hendro. Dia mengaku sengaja mengubah Alphard miliknya menjadi mirip Metro Mini. Namun bukan untuk gaya-gayaan.

Onno teringat dengan pesan ajaran bapaknya, ”Kabeh kuwi mung masalah roso..” (Semua itu hanyalah masalah rasa).

"Kalau hati kita sumeleh, mensyukuri apa pun yang Allah telah berikan. Naik Metro Mini pun akan berasa nikmat, senikmat naik Alphard," tulis Onno dalam www.kajianedan.com.

Dinas Perhubungan DKI Jakarta tak mempermasalahkan kemunculan mobil tersebut. M Akbar yang menjabat Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengatakan, si pemilik mobil tidak perlu meminta izin kepada Dinas Perhubungan karena tidak digunakan sebagai angkutan umum.

Hal yang semestinya dilakukan pemilik mobil tersebut adalah mengubah STNK mobil, lantaran warna mobil tersebut diubah dari warna sebelumnya.

"Ya itu kan warnanya jadi oranye seperti Metro Mini, jadi urusannya di kepolisian. Itu terkait identitas kendaraan di STNK, karena warna kendaraan harus sama dengan yang tertera di STNK," jelas Akbar pada 20 Februari 2014 lalu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya