Liputan6.com, Jakarta - Nama Kampung Luar Batang tiba-tiba menjadi sorotan sejak Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan menertibkan kawasan yang terletak di Penjaringan, Jakarta Utara, itu.
Ahok ingin mengembalikan kawasan Luar Batang seperti semula, sehingga lebih indah menghadap langsung pantai dan menjadi pasar cagar budaya heksagonal.
Namun, rencana penertiban ini mendapat perlawanan dari warga setempat. Nama Kampung Luar Batang ini sudah terkenal sebelum heboh rencana penggusuran ini.
Salah satu yang membuat kawasan itu terkenal adalah masjidnya. Bahkan banyak pejabat tinggi di Indonesia kerap datang ke Masjid Jami Luar Batang pada malam atau dinihari.
Baca Juga
Sejumlah tokoh politik maupun pejabat yang mengunjungi Masjid Luar Batang itu mulai dari Imam Nahrawi hingga Dahlan Iskan. Lalu juga ada beberapa nama Gubernur Provinsi di Jawa dan Sumatera.
Namun, nama Luar Batang ini memiliki sejarah yang unik. Pada 1736 M, seorang pemuda Arab bernama Habib Husein bin Abubakar Alaydrus datang ke Indonesia. Di Pelabuhan Sunda Kelapa, kemudian dia membangun sebuah surau di sana.
Saat itu Sunda Kelapa adalah sebuah kota lama. Pada waktu itu termasuk bandar yang paling ramai di Pulau Jawa.
Advertisement
Namun, makin lama Sunda Kelapa semakin ramai. Sebab banyak pengusaha yang datang dari berbagai daerah. Surau Habib asal Al-Maiqab Hadramaut, wilayah yang kini masuk wilayah Yaman Selatan, itu pun semakin ramai didatangi orang yang ingin salat dan belajar agama.
Lambat laun, surau itu makin besar dan berubah menjadi masjid. Habib Husein pun menamai masjid itu An Nur. Nama Habib Husein makin dikenal banyak orang. Di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, makin banyak pendatang yang bermukim.
Kemudian, pada 1756, Habib Husein wafat. Jenazahnya kemudian akan dikembalikan ke Yaman. Namun sesampainya di sana, saat akan dimakamkan jenazahnya hilang.
Tersiar kabar jenazah Habib Husein berada di kamarnya di Sunda Kelapa yang saat ini menjadi makamnya di sekitar masjid. Cerita bahwa jenazah Habib keluar dari kurung batang atau keranda pun tersebar. Akhirnya masyarakat menyebut kawasan itu sebagai "luar batang".
Daerah Kumuh
Luar Batang merupakan kampung tertua di Jakarta. Dulunya kampung ini adalah sebuah rawa-rawa. Namun, lama-kelamaan rawa itu tertimbun lumpur dari Kali Ciliwung setelah dibangunnya Muara Baru.
Rawa-rawa ini kemudian ditimbun untuk dijadikan tempat tinggal penduduk. Tanah terbentuk dari endapan lumpur di muara sungai, sehingga tidak padat. Air tanahnya mengandung garam, sehingga tidak bisa digunakan untuk air minum.
VOC sering mendatangkan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan dan kastil di Batavia. Para pekerja di lokasi itu berdatangkan dari berbagai daerah. Mereka juga ditempatkan di Kampung Luar Batang.
Kondisi kumuh di permukiman yang luasnya 16,5 hektar itu sudah berlangsung sejak awal masa VOC. Pasar yang ada kala itu dan kini dikenal dengan nama Pasar Ikan baru dibangun pada 1846. Lokasi Pasar Ikan ini dulunya merupakan laut.
Kondisinya semakin kumuh ketika urbanisasi besar-besaran terjadi pada 1950-1960 akibat kerusuhan di sejumlah daerah. Dalam periode itu terjadi beberapa pemberontakan seperti DI/TII dan Kahar Muzakar.
Penduduk kampung terdiri dari orang asli Betawi dan pendatang dari Jawa Barat, Madura, Jawa Tengah, Bugis, dan Makassar.
Advertisement