Liputan6.com, Jakarta - Teroris Santoso diduga tewas dalam baku tembak di Tambarana, Poso Pesisir Utara, Senin (18/7/2016). Nama Santoso telah lama masuk ke dalam daftar pencarian orang.
Santoso lahir pada 21 Agustus 1967 di Tentena, Poso, dari orang tua yang merupakan transmigran asal Pulau Jawa. Ketika remaja, dikenal sebagai pedagang panci dan sayuran. Nama Santoso mencuat ketika konflik Poso jilid pertama pecah pada 1999.
Pada awalnya, Santoso hanya orang biasa di kelompok Muslim bersenjata saat konflik Poso. Andi Baso Thahir alias Ateng, salah satu rekan Santoso di kelompok yang berkonflik di Poso, menceritakan Santoso berkembang menjadi orang yang lihai membaca peta.
Advertisement
Kemampuan lain, kata Ateng, nyaris sama dengan kombatan lain dalam kelompok tersebut, yakni menembak dan merakit senjata. Kemampuan tersebut menjadi kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap milisi saat konflik. "(Jadi) Santoso waktu itu belum menonjol," sebut Ateng.
Insiden penembakan polisi di Palu, kata Ateng, menjadi momen yang menjadikan Santoso kembali diingat eks kombatan. Sebab, nama Santoso muncul setelah menghilang lama dari perkumpulan mereka di Tokorondo. Belakangan baru diketahui, Santoso menjadi Ketua Laskar Asykari JAT Cabang Poso sekaligus pelatih dan penanggung jawab pelatihan militer di sejumlah tempat di Poso.
Lewat JAT ini, diketahui Santoso menghimpun massa dan mempersiapkan pengikutnya. Ia mengutus anggota JAT Poso mencari peserta pelatihan dari dalam dan luar Poso. Pelatihan digelar tiga kali pada 2011 dan tiga kali pada 2012. Setelah pelatihan militer digelar dan Santoso dicari polisi, bapak lima anak itu tak menyerah. Ia bahkan punya tambahan kekuatan. Sabar Subagyo alias Abu Autad alias Daeng Koro, tokoh Darul Islam Sulawesi Selatan, bergabung dengan kelompoknya pada 2012. Tak hanya itu, alumni pelatihan Poso yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat, pun kembali bergabung. Kekuatan kelompok Santoso pun menjadi signifikan.
Di sisi lain, polisi terus menangkap simpatisan dan anggota jaringan Santoso. Sementara warga pun tak menaruh simpati kepada kelompok Santoso. Pemicunya, warga sudah bosan hidup dalam konflik yang tak berkesudahan dan ingin hidup damai. "Sekian lama konflik berjaan di Poso, itu membuat orang semakin lama semakin dewasa dan tak mudah terprovokasi dengan label agama," kata Ateng.
Tapi, Santoso adalah Santoso. Pengamat teroris lulusan Universitas Indonesia, Alchaidar, menyebut, Santoso punya watak keras dan membatu. Sikapnya ini yang membuat Santoso malah bertindak makin menggila lantaran kemarahannya kepada polisi yang menangkap anggota dan simpatisannya. Hal itu terbukti dengan langkah Santoso yang mencoba memprovokasi polisi dan mendeklarasikan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) sebagai kelompok militan Islam yang melawan pemerintah.
Sejumlah aksi lain dilakukan lelaki yang bahkan tak tamat Madrasah Tsanawiah Muhammadiyah Poso ini bersama anak-anak didiknya. Pada 8 Oktober 2012, Santoso dan kelompoknya menculik dan membunuh dua polisi. Sepekan kemudian, Santoso mendeklarasikan perang terhadap petugas kepolisian dengan mengirimkan surat terbuka atas nama MIT.
Ateng pun mengatakan, dia dan teman-teman eks kombatan sempat terenyak dengan aksi penyergapan iring-iringan Mobil Patroli Brimob yang melintas di Desa Kalora, Poso Pesisir. Aksi ini menewaskan empat Brimob dan merupakan serangan yang paling mematikan sepanjang 2012. "Di situ kejadian paling besarnya," ujar Ateng. Selepas aksi itu, tercatat empat penculikan dan pembunuhan serta sembilan insiden baku tembak antara pihak keamanan dan kelompok Santoso terjadi. Aksi ini terjadi mulai akhir Desember 2012 hingga Februari 2016.
Serangkaian teror yang dilakukan Santoso di Poso, tak dilakukan sendirian. Lelaki yang lahir dari keluarga transmigran dan miskin ini merekrut sejumlah orang untuk menjadi bagian kelompoknya. Kepala Badan Nasional Penggulangan Terorisme Komjen Pol Tito Karnavian--sekarang Kepala Polri--mengatakan, Santoso dijadikan simbol bagi kelompok-kelompok yang selama ini melawan pemerintah. Tito yang pernah memeriksa Santoso dalam kasus perampokan mobil pada 2004, mengatakan, Santoso punya mental kuat dan petarung.
"Dia orang yang berpikiran pendek dan berani, pemukul, kira-kira begitu. Sehingga dia dijadikan simbol di Sulawesi Tengah, dan juga di luar Sulawesi Tengah," kata Tito kepada Liputan6.com, Minggu, 3 April 2016.