Putusan MK soal Setnov, Babak Baru UU ITE Lindungi Privasi Publik

Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elekronik (ITE) yang baru selesai dibahas Komisi I DPR, memasuki babak baru.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 11 Sep 2016, 01:44 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2016, 01:44 WIB
20160907- Gugatan Setnov Dikabulkan MK-Jakarta- Faizal Fanani
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat (tengah) membacakan putusan uji materi UU ITE yamg diajukan Setya Novanto saat sidang pembacaan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (7/9). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang baru selesai dibahas Komisi I DPR, memasuki babak baru. Bukan hanya sekadar harmonisasi dengan KUHP, atau revisi pasal karet yang memakan banyak korban, tetapi juga melindungi hak privasi masyarakat secara lebih bertanggung jawab.

Hal tersebut dikatakan anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizadi ‎menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengabulkan gugatan mantan Ketua DPR Setya Novanto atau Setnov. Menurut dia, dengan peristiwa tersebut, masyarakat lebih terjamin privasi komunikasinya, bahkan dilindungi  konstitusi.

"Begitu pula dengan jelasnya tafsir pemufakatan jahat memberikan jaminan perlindungan dari upaya kriminalisasi. Keputusan MK juga privasi publik menjadi terlindungi secara konstitusional," kata Bobby di Jakarta, Sabtu (10/9/2016).

Politikus Partai Golkar ini mengatakan, dirinya di Komisi I DPR akan memastikan revisi UU ITE tersebut akan mengatur lebih detail terhadap 'kejahatan' pembunuhan karakter terhadap seseorang.

"Komisi I akan memastikan revisi UU ITE akan mengatur juga mengenai cyberbullying agar masyarakat, terlindungi dari upaya pembunuhan karakter di ruang publik, baik dari fitnah atau mobilisasi opini negatif," ujar Bobby.

Setya Novanto menggugat Pasal 15 UU Tipikor yang berbunyi: "Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14."

Menurut Novanto, kalimat permufakatan jahat menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum. Karena itu, dia meminta MK menafsirkan frase tersebut.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya