Liputan6.com, Jakarta - Sidang Jessica Kumala Wongso, terdakwa pembunuhan Wayan Mirna Salihin, sudah berlangsung sebanyak 25. Sudah banyak ahli dihadirkan baik dari jaksa penuntut umum (JPU) maupun penasihat hukum (PH) terdakwa.
Ahli yang dihadirkannya pun beragam kualifikasinya. Dari dokter forensik, patologi forensik, digital forensik, ahli pidana umum, ahli kimia, kriminolog hingga psikolog. Tak tanggung-tanggung, saksi ahli yang dihadirkan dari pihak Jessica berasal dari Negeri Kanguru atau Australia, totalnya sebanyak 3 saksi ahli. Sedangkan dari JPU, juga mendatang saksi dari negeri yang sama, yakni polisi Australia.
Khusus untuk ahli pidana, beragam pandangan terlihat dalam sidang. Meskipun memiliki latar belakang atau bidang ilmu yang sama, namun pendekatan yang dilakukan berbeda-beda. Sehingga, pandangan terhadap kasus kopi bersianida pun berlainan.
Advertisement
Sebut saja soal motif pembunuhan. Hingga sidang ke-25, Senin (26/9/2016) motif Jessica membunuh Mirna belum terlihat jelas. Motif pembunuhan masih menjadi misteri. Padahal, Jessica didakwa Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 340 itu, pidana penjara 20 tahun, seumur hidup, atau maksimal hukuman mati.
Mengingat besarnya ancaman hukum yang disangkakan, seharusnya dalam persidangan sudah terangkai motif pembunuhan. Atau paling tidak, sudah terekonstruksi rencana pembunuhan, atau tahapan-tahapan dan langkah-langkah apa saja yang dilakukan Jessica dalam melakukan aksinya hingga Mirna meninggal.
Soal motif, sudah diungkapkan JPU dalam dalam dakwaan Jessica. Motif yang disimpulkan JPU adalah karena rasa sakit Jessica terhadap Mirna. Mirna, terungkap pernah meminta sahabatnya itu, Jessica agar putus dengan pacarnya. Alasannya satu, karena tindak kekerasan yang dilakukan pacar terhadap Jessica. Belum lagi, perilaku pacar Jessica yang kerap mengonsumsi narkoba.
"Korban Mirna menyatakan buat apa pacaran dengan orang yang tidak baik dan tidak modal. Ucapan itu ternyata membuat terdakwa marah dan sakit hati, sehingga terdakwa memutuskan komunikasi dengan korban Mirna," ujar jaksa saat membacakan dakwaan, Rabu 15 Juni 2016.
Selang beberapa lama setelah kemarahan itu, Jessica akhirnya putus dengan pacarnya dan mengalami beberapa peristiwa hukum yang melibatkan Kepolisian Australia. Hal itu membuat Jessica makin tersinggung dan sakit hati kepada Mirna. Sehingga, untuk membalaskan sakit hatinya itu, Jessica merencanakan pembunuhan terhadap Mirna.
Masih Perlukah Motif Pembunuhan?
Ahli Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej, yang dihadirkan JPU, menafikkan soal perlunya motif dalam kasus pembunuhan. Menurut profesor hukum pidana yang akrab disapa Eddy ini, pembunuhan berencana berbeda dengan tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal 338 KUHP.
"Yang bilang pembunuhan berencana membutuhkan motif itu menyesatkan. Karena Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana sama sekali tidak membutuhkan motif," kata dia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 25 Agustus 2016.
Kata-kata berencana dalam Pasal 340 KUHP, mengenai tindak pidana pembunuhan berencana, dengan dolus premeditatus, dalam pandangan Eddy, hanya mengenal tiga aspek. Dari tiga aspek tersebut tidak menegaskan adanya motif pembunuhan.
"Pertama, pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan (pembunuhan) dalam keadaan tenang. Kedua ada tenggang waktu yang cukup antara memutuskan kehendak dan melaksanakan perbuatan, dan ketiga pelaksanaan perbuatan dilakukan secara tenang," jelas Eddy.
"Jadi Yang Mulia, jangan capek-capek cari motif, karena pembunuhan berencana tidak membutuhkan motif," tegas Eddy.
Berbeda dengan yang dihadirkan dari JPU, saksi ahli yang dihadirkan kubu Jessica justru menitikberatkan aspek yang berbeda dari kasus kopi bersianida itu. Ahli pidana dari Universitas Brawijaya, Masruchin Ruba'i mengatakan, bukan motif yang paling dicari pada dakwaan Jessica. Yang paling penting ditemukan yakni unsur rencana dalam pembunuhan ini. Unsur yang dimaksud adalah tahapan-tahapan yang dilakukan dalam sebuah pembunuhan.
"Unsur-unsur itu harus objektif. Bahwa berawal dari motif dan timbul niat, maka saat dilaksanakan jadilah tindak pidana," ujar Masruchin dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 22 September 2016.
Sedangkan mengenai motif, ia menilai, hanya bagian dari petunjuk unsur pembunuhan berencana. Motif tidak jadi satu hal yang harus digali dan dibuktikan.
"Motif itu tentu dicari untuk menentukan niat. Niat itu ditentukan dari motif. Sehingga ada perbuatan," dia menuturkan.
Ahli yang dihadirkan memang tidak secara langsung menyatakan dakwaan terhadap Jessica memenuhi unsur atau tidak. Namun ahli dalam kesaksiannya di persidangan lebih menerangkan materi sesuai ilmu pengetahuan secara umum.
Karena itu, ia meminta kepada JPU agar membuktikan dari mana asal muasal sianida di tubuh Mirna. Pembuktian tersebut menjadi hal yang penting.
"Ada namanya delik rencana. Misalnya, apakah ada saksi yang melihat dia (Jessica) membeli sianida, lalu membawa sianida dengan apa," ujar Masruchin dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 22 September 2016.
Tak cukup hanya di situ. Menurut Masruchin, masih perlu dibuktikan rangkaian perjalanan sianida hingga masuk ke dalam es kopi Vietnam yang diminum Mirna di Kafe Olivier, pada 6 Januari lalu itu.
Selain itu, harus ada kecocokan laboratorium terhadap sianida yang diduga dibawa Jessica dengan yang ada di sisa kopi Mirna. "Apakah hasilnya sianida yang sama atau tidak," tutur dia.
Pembuktian delik pembunuhan berencana juga harus memastikan, apakah sianida tersebut benar-benar milik Jessica. Kalau nyatanya tidak bisa dibuktikan, kata Masruchin, tentu Jessica tidak bisa serta-merta disebut sebagai pelaku.
"Kalau bukan (sianida milik Jessica), ya tentu terdakwa tidak ada berbuat apa-apa. Acuannya Pasal 184 KUHAP," tandas Masruchin.
Penyelidikan kasus ini tentu dapat dilakukan dengan merangkai alat bukti yang sah, juga dengan pengakuan terdakwa. Lantas, bagaimana jika tidak ada pengakuan terdakwa?
"Jika menurut Pasal 189 ayat 3 KUHAP, keterangan terdakwa tidak termasuk rangkaian alat bukti lain," Masruchin memungkasi.
Advertisement
Bukti Primer dan Sekunder
Lalu, bagaimana dengan alat bukti yang ada. Apakah alat-alat bukti bisa dikonstruksikan, sehingga dapat menyimpulkan adanya motif? Dari 37 bukti yang dimiliki JPU, ada satu bukti yang utama yang dinilai dapat membuat Jessica tidak bisa mengelak dari dakwaannya. Bukti itu adalah CCTV di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Pertanyaannya, bisakah CCTV dijadikan alat bukti? Jika bisa, CCTV akan ditempatkan menjadi yang primer atau sekunder? Bagi Mudzakkir, ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, hasil rekaman CCTV tidak dapat dijadikan alat bukti utama alias primer. CCTV hanya merupakan alat bukti sekunder.
"Enggak bisa dipakai tanpa alat bukti yang lain, alat bukti primer. Tindak pidana utamanya harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang digunakan untuk kejahatan itu sendiri. Tidak bisa hanya sekunder," ujar Mudzakkir ketika bersaksi di PN Jakarta Pusat, Senin, 26 September 2016.
Menurut Mudzakkir, alat bukti primer dalam kasus Jessica adalah racun sianida. Mendengar hal itu, Ketua Majelis Hakim Kisworo kemudian menanyakan mengenai barang bukti dalam kasus pembunuhan Mirna. Di mana racun sianida semestinya menjadi alat bukti primer kasus pembunuhan ini.
"Kalau racun, barang bukti itu mana? Di dalam tubuh atau di dalam gelas?" tanya Kisworo kepada ahli. Tak ingin terbawa dengan metode pembunuhan, Mudzakkir lebih menekankan untuk memastikan terlebih dahulu penyebab kematian Mirna.
"Tutup semuanya (dugaan Mirna diracun). Akan dibuka dengan autopsi. Satu per satu buka, baru nanti akan dinyatakan (kematian) ini disebabkan racun atau bukan," jawab Mudzakkir.
Dalam kesempatan yang sama, Mudzakkir juga memberikan sebuah analogi kasus untuk memperjelas apa yang dimaksudkannya.
"Contoh orang ditembak, jatuh, lalu terbentur batu. Matinya karena tembakan atau karena benturan batu? Dia jatuh karena ditembak atau karena punya sakit jantung yang membuat dia sampai jatuh dan akhirnya membentur batu?" Mudzakkir memberi pandangan lainnya.
Ahli Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej memberikan penilai berbeda soal CCTV yang tidak tercakup dalam KUHP. Di KUHP disebutkan, yang menjadi alat bukti adalah surat, keterangan ahli, dan terdakwa. Namun, pria yang akrab disapa Eddy, menilai hal itu berbeda.
"Yang mulia, ketika kita bicara mengenai alat bukti itu melekat dengan perkara. KUHAP hanya mengatakan sesuai ataupun kejadian, minimal harus ada kesesuaian," ucap Eddy di PN Jakpus, Kamis, 25 Agustus 2016.
Kesesuaian dan melekat dengan perkara tersebut, tafsir Eddy, dapat diperoleh dari alat petunjuk, sebagai penguat alat bukti. "Alat bukti petunjuk ini, sesuai dengan melekat. Jadi apapun itu masuk ke dalam konteks pentunjuk," Eddy mengungkapkan.
Saat ditegaskan, oleh Majelis Hakim bahwa saksi ahli menafsirkan bahwa CCTV diperbolehkan, ia pun menegaskan hal tersebut. "Iya, dapat dimasukkan apa pun itu," Eddy menegaskan.