Liputan6.com, Jakarta - Suatu hari di tahun 1993, Saldi Isra dan seorang rekannya sesama mahasiswa fakultas hukum berhadapan dengan sejumlah Guru Besar di Gedung Rektorat Universitas Andalas (Unand) di kawasan Limau Manis, Kota Padang, Sumatera Barat.
Hari itu, keduanya harus mempresentasikan sekaligus mempertahankan karya tulis mereka sebagai peserta Lomba Karya Tulis Widya Utama tingkat Universitas Andalas. Karya tulis mereka mengangkat tema tentang urgensi hadirnya lembaga Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) di Indonesia.
Dengan tegas Saldi memaparkan substansi karya tulis mereka tentang banyaknya produk perundang-undangan setingkat undang-undang yang tidak memenuhi syarat, tumpang tindih serta cacat secara materil. Sayangnya, tak ada lembaga yang bisa menilai atau menguji layak atau tidaknya sebuah undang-undang diberlakukan.
Advertisement
Karena itu, dalam karya tulisnya Saldi mengajukan usul untuk melahirkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berhak dan berwenang menguji sebuah undang-undang dari sisi materil (judicial review).
"Kehadiran sebuah Mahkamah Konstitusi sangat urgen, karena produk undang-undang kita kerap tidak sejalan dengan aturan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945," tegas Saldi dalam salah satu argumennya di depan para penguji ketika itu.
Waktu terus berjalan dan 10 tahun setelah karya tulis itu dibuat, tepatnya pada 13 Agustus 2003, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama.
Tanggal 13 Agustus pun kemudian disepakati para Hakim Konstitusi menjadi hari lahir Mahkamah Konstitusi RI dan Indonesia resmi menjadi negara ke-78 di dunia yang memiliki Mahkamah Konstitusi.
Saldi yang ketika itu sudah menjadi dosen di almamaternya dan baru saja menyelesaikan studi S2 di Universitas Malaya, Malaysia ikut bergembira dengan lahirnya lembaga baru itu.
Meski menetap di Kota Padang, Saldi kerap menyambangi Mahkamah Konstitusi, baik sekadar untuk berdiskusi atau menjadi saksi ahli dalam sejumlah sengketa. Misalnya saat menjadi saksi ahli untuk pasangan Jokowi-JK dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2014.
Dan, takdir memang sudah ditentukan. Pagi ini Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan melantik Saldi Isra menjadi Hakim Konstitusi. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang itu akan mengisi posisi Hakim Konstitusi yang lowong setelah ditinggalkan Patrialis Akbar.
Buah Kerja Keras
Saldi Isra adalah anak keenam dari tujuh bersaudara. Lahir dalam keluarga sederhana dari pasangan petani Ismail (almarhum) dan Ratina (almarhumah) pada 20 Agustus 1968 di Paninggahan, Solok, Sumatera Barat, tak membuat Saldi takut bermimpi. Kerja keras yang diperlihatkan kedua orangtuanya memberi inspirasi bagi Saldi untuk tak mudah menyerah.
Dua kali gagal saat mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) pada tahun 1988 dan 1989 tak membuat Saldi patah semangat. Sembari menunggu kesempatan masuk PTN, Saldi bekerja serabutan untuk menghidupi diri sendiri dan membantu orangtuanya.
Kesempatan itu datang pada tahun 1990, Saldi lulus UMPTN dan menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Sejak tahun-tahun pertama kuliah, Saldi sudah memperlihatkan prestasi, baik di bidang akademis maupun organisasi.
Aktifnya Saldi di organisasi kemahasiswaan diawali dengan menjadi anggota Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) di tahun pertama dan kemudian menjadi Ketua I Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unand. Di luar itu dia juga menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara, Ketua Badan Pengkajian Ilmu Politik dan Ketua Lembaga Pengkajian Pers Fakultas Hukum Unand.
Di bidang akademis, Saldi mencatat indeks prestasi tiap semester tak pernah kurang dari 3,5 yang membuatnya mendapatkan beasiswa pada tahun ketiga kuliah. Di kalangan rekan-rekan seangkatannya, dia juga aktif menggalang kelompok belajar dengan berpindah-pindah tempat dari satu rumah ke rumah lainnya atau dari tempat kos yang satu ke tempat kos lainnya.
Dan setiap menjelang ujian semester, tempat kos Saldi dipastikan bakal ramai dikunjungi rekan-rekan seangkatannya. Sebagian datang untuk belajar bersama, namun sebagian besar punya tujuan meminjam catatan perkuliahan Saldi. Alasannya, rangkuman perkuliahan milik Saldi adalah yang paling lengkap, ditambah pula bonus tulisan tangan yang rapi.
Di sela-sela itu, peraih Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Nasional Tahun 1994 ini juga kerap mengikuti lomba karya tulis dan lomba debat antarperguruan tinggi di Sumatera Barat. Sementara untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, Saldi setiap pekan pulang ke kampung halamannya di Solok untuk mengajar di sebuah madrasah.
Impian Saldi pun tak muluk-muluk, dia hanya ingin menjadi pengajar dan menularkan ilmu yang dia punya kepada orang lain.
"Saya ingin menjadi dosen dan ingin mengabdi di almamater," ujar Saldi kepada teman-teman yang menanyakan tujuan dia selepas jadi sarjana.
Namun, dia tak melupakan impian akan lahirnya sebuah lembaga bernama Mahkamah Konstitusi. Karena itu, skripsi yang dia tulis untuk syarat kelulusan juga membahas Mahkamah Konstitusi, yaitu tentang judicial review atau hak uji materil.
Tak butuh waktu lama, gelar sarjana hukum didapat Saldi dalam waktu empat tahun. Saat diwisuda pada Maret 1995, dia lulus dengan predikat summa cumlaude dan menjadi lulusan terbaik Universitas Andalas pada wisuda itu.
Jadi Dosen Teladan
Seperti janjinya, Saldi kemudian menjadi dosen di Fakultas Hukum Unand. Kemudian ia mengambil gelar Master di Universitas Malaya, Malaysia (2001) dan meraih gelar Doktor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2009).
Pada 2010, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas. Selain menjadi Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), dia juga aktif menerbitkan buku dan menulis. Tulisannya banyak tersebar di berbagai jurnal dan media cetak nasional. Dia juga kerap mendapat undangan dan beasiswa dari luar negeri.
Berbagai penghargaan juga didapat atas dedikasinya di dunia pendidikan, ilmu hukum dan gerakan antikorupsi. Seperti penghargaan Tokoh Muda Inspiratif versi Kompas (2009), Award of Achievement for People Who Make a Difference dari The Gleitsman Foundation, USA (2004), Bung Hatta Anti-Corruption Award (2004), dan Dosen Teladan untuk tingkat Universitas Andalas Tahun dan Fakultas Hukum Universitas Andalas Tahun 2002.
Dengan semua prestasi itu, tak heran banyak tawaran berdatangan. Bahkan, Saldi sempat digadang-gadang akan menempati salah satu posisi di Kabinet Kerja saat reshuffle jilid II tahun lalu. Apalagi dia sempat dipanggil Presiden Jokowi ke Istana. Namun, mantan Ketua Program Doktor (S3) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menampik semuanya.
"Saya masih suka dan menikmati mengajar serta bertatap muka dengan para mahasiswa. Belum ada pikiran untuk berkarier di Jakarta," ucap Saldi ketika itu.
Kini, dengan posisinya yang baru, Saldi juga belum memutuskan apakah akan menetap di Ibu Kota atau tidak. Dia hanya memastikan, tiga buah hatinya dari pernikahan dengan Leslie Annisaa Taufik tidak akan diboyong ke Jakarta.
"Yang jelas, saya akan cuti sementara sebagai dosen dan melepaskan jabatan sebagai Komisaris Utama PT Semen Padang. Tentang anak-anak, mereka akan tetap melanjutkan sekolah di Padang," jelas Saldi kepada Liputan6.com dalam perbincangan via telepon, Minggu 9 April 2017 malam.
Selamat bertugas Prof Saldi.