Jalan Tengah Jimly Asshiddiqie soal Presidential Threshold

Menurut Jimly Asshiddiqie, jika presidential threshold 0 persen terlalu ekstrem.

oleh Ika Defianti diperbarui 05 Jul 2017, 05:32 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2017, 05:32 WIB
Ketua DKPP
Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Jimly Asshiddiqie menyarankan untuk mengambil jalan tengah dalam perdebatan terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Kata dia, jika nol persen terlalu ekstrem.

"Untuk adanya perubahan penyesuaian masuk akal, tapi kalau nol persen itu terlalu ekstrem. Dicari jalan tengahnya saja 10 persen, ini hanya soal kesepakatan saja," ucap Jimly di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 4 Juli 2017.

Ini karena, kata dia, pembahasan tersebut sedikit tidak menemukan titik temu disebabkan adanya kepentingan masing-masing kelompok. Seperti setiap kelompok sudah memiliki pasangan calon (paslon) yang akan diusung.

"Kepentingan kelompok yang sudah membayangkan nanti siapa paslonnya. Jadi sebaiknya hal-hal yang sifatnya bukan kepentingan bangsa dan negara itu nomor dialah," ujar dia.

Menurut Jimly, seharusnya saat ini bukanlah mempersalahkan presidential threshold, melainkan sistem pemilihan suara terbanyak.

"Sebab dengan sistem suara terbanyak dalam pemilihan serentak, rakyat Indonesia terfokus hanya presiden, sedangkan caleg tidak mendapatkan perhatian. Padahal masing-masing caleg jumlahnya 15 ribu kali dari jumlah parpol dan nanti di lapangan semua main uang, yang menjadi korban penyelenggara," jelas Jimly.

Sebelumnya, perdebatan terkait presidential threshold belum juga menemui titik temu. Sebagian kalangan bahkan menilai adanya presidential threshold justru melanggar konstitusi.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membantah hal itu. Tjahjo menjelaskan, putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 tidak membatalkan Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, ketentuan presidential treshold 20 persen kursi atau 25 persen suara masih sah dan berlaku.

"RUU Pemilu tidak menambah dan tidak mengurangi Pasal 9 UU 42 Tahun 2008 yang tidak dibatalkan MK tersebut. Dengan demikian, tidak benar jika dikatakan bertentangan dengan konstitusi," kata Tjahjo, Selasa 27 Juni 2017.

Partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat, dapat mengusulkan pasangan calon wakil presiden dan wakil presiden sebelum pelaksanaan pemilu.

Memang, kata Tjahjo, Pilpres 2019 dilaksanakan serentak dengan pemilihan legislatif. Dengan begitu, pemilu yang diselenggarakan sebelum pemilu 2019 adalah pemilu 2014.

"Dengan demikian, logika yang diopinikan bahwa ada pendapat terkait kedaluwarsa kondisi politik lima tahun sebelumnya adalah tidak tepat. Karena memang ada tidak pemilu lain selain Pemilu 2014 yang bisa jadi dasar rujukan presidential threshold," jelas dia.


 

Saksikan video menarik di bawah ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya