Cetak Sejarah, Sidang ke-38 AIPA Tak Lahirkan Resolusi Politik

Sidang AIPA di Makati Shangrila Hotel, Manila, gagal menyepakati seluruh agenda politik yang diusulkan sejumlah negara.

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 19 Sep 2017, 15:23 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2017, 15:23 WIB
Delegasi Indonesia dalam Sidang Umum Parlemen Se-Asia Tenggara atau ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) di Filipina. (Liputan6.com/Raden Trimutia Hatta)
Delegasi Indonesia dalam Sidang Umum Parlemen Se-Asia Tenggara atau ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) di Filipina. (Liputan6.com/Raden Trimutia Hatta)

Liputan6.com, Manila - Sidang umum Parlemen Se-Asia Tenggara atau ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) digelar di Filipina pada 15-19 September 2017. Sidang ke-38 ini mencetak sejarah baru sepanjang 40 tahun terbentuknya AIPA. 

Hingga agenda terakhir, sidang yang digelar di Makati Shangrila Hotel, Manila, ini gagal menyepakati seluruh agenda politik yang diusulkan sejumlah negara. Termasuk usulan dari Indonesia terkait resolusi penyelesaian krisis kemanusiaan terhadap etnis Rohingya di Myanmar.

"Komite Eksekutif, setelah menyelesaikan pembahasan yang panjang, gagal mencapai konsensus mengenai persetujuan agenda Komite mengenai Masalah Politik," ujar Pimpinan Sidang Komunike Bersama, Ferdinand Hernandez dalam laporannya, Selasa (19/9/2017). 

Ketua Delegasi Parlemen Indonesia, Fadli Zon menyatakan, Sidang Umum ke-38 AIPA ini berbeda dengan sidang-sidang tahun sebelumnya. "Ini pertama kali dalam sejarah AIPA tidak ada pembicaraan masalah politik," kata Fadli. 

Gagalnya seluruh agenda politik dibahas dalam Sidang Umum AIPA, berawal dari penolakan Myanmar terhadap usulan resolusi terkait Rohingya dari Indonesia. Hingga dua kali sidang ditambah satu forum lobi, Myanmar tetap kukuh menolak resolusi penyelesaian krisis kemanusiaan terhadap etnis Rohingya. 

Dalam sidang Komite Eksekutif terakhir yang membahas soal resolusi dari Rohingya, Indonesia bersama Malaysia mengubah isi usulan tersebut menjadi isu soal krisis kemanusiaan di Asia Tenggara, bukan hanya di Myanmar. Namun, karena Myanmar tetap ngotot menolak, Indonesia akhirnya bersikap.

"Kami menyatakan bahwa kami menolak semua agenda politik dibicarakan sehingga tidak terjadi konsensus, maka semua agenda politik menjadi tidak ada pembahasan. Karena kita tidak ingin juga Indonesia tidak dihargai. Apa yang kita lakukan itu menunjukkan sikap bahwa ada yang harus diubah dalam konstitusi AIPA terkait konsensus," Wakil Ketua DPR RI ini menjelaskan. 

Meski tidak ada pembahasan seluruh agenda politik, menurut Fadli, keputusan itu tidak memiliki dampak buruk terhadap politik internasional Indonesia.

"Justru semakin relevan usulan kita tentang isu Rohingya ini. Karena kita memaksakan adanya isu Rohingya ini karena terjadi di depan mata kita. Ini jadi pelajaran bagi negara-negara anggota AIPA juga bahwa kita tidak boleh menafikan adanya persoalan yang ada di salah satu negara karena prinsip nonintervensi. Jadi saya kira standing kita sangat kokoh dalam hal ini," politikus Partai Gerindra ini memungkas.

Sikap Indonesia di AIPA

Sebelumnya, dalam dokumen Komunike Bersama yang telah ditandatangani seluruh Ketua Delegasi AIPA, Indonesia memberikan dukungan kepada pemerintah dan parlemen Myanmar untuk menyelesaikan kasus Rohingya. Berikut ini pernyataan lengkap Delegasi Parlemen Indonesia soal Rohingya yang disetujui masuk dalam dokumen Komunike Bersama Sidang Umum ke-38 AIPA:

"Indonesia menyatakan keprihatinannya atas krisis kemanusiaan Myanmar dan mendesak semua pihak untuk menghormati peraturan perundangan, menjalankan upaya menahan diri secara maksimal dan menghentikan kekerasan yang terus berlanjut terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine. 

Berdasarkansemangat solidaritas dan persatuan ASEAN, Indonesia mendukung upaya Pemerintah dan Parlemen Myanmar untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas, dan memberikan keamanan dan bantuan kepada semua pihak yang memerlukan terlepas dari etnisitas, ras, agama dan kepercayaan. 

Indonesiamendorong Myanmar untuk melaksanakan rekomendasi dari Komisi Penasihat PBB di Negara Bagian dan juga membuka negara mereka untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan dan mematuhi undang-undang kemanusiaan internasional dalam menangani krisis pengungsi."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya