Sjafruddin Prawiranegara, Presiden Darurat RI yang Terlupakan

Tiga jam dari serangan Belanda, Presiden RI Sukarno yang tengah berada di Yogyakarta memutuskan memberikan mandat kepada Sjafruddin.

oleh Luqman Rimadi diperbarui 19 Des 2017, 10:03 WIB
Diterbitkan 19 Des 2017, 10:03 WIB
Sjafruddin Prawiranegara
Sjafruddin Prawiranegara

Liputan6.com, Jakarta - 19 Desember 1948, kondisi ibu kota RI kala itu, Yogyakarta, digempur pasukan Belanda. Tak lama setelah itu, kisaran satu jam, Belanda juga menggempur Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat, yang kala itu akan menjadi ibu kota RI bila kondisi Yogyakarta lumpuh.

Kondisi itu dianggap darurat. Sekitar tiga jam dari serangan itu, Presiden RI Sukarno yang tengah berada di Yogyakarta memutuskan memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafrudddin Prawiranegara, yang  berada di Sumatera Barat untuk segera membentuk pemerintahan darurat.

Dalam sidang kabinet di Yogyakarta itu, dua keputusan dihasilkan. Pertama, Sukarno dan Hatta tetap tinggal di Yogya meski menghadapi risiko penangkapan. Kedua, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera untuk membentuk Pemerintah Republik Darurat.

Tak lama setelah rapat tersebut digelar, Sukarno-Hatta ditawan Belanda dan dibuang ke Pulau Bangka.

Mendapat kabar lumpuhnya Yogyakarta, Sjafruddin dan Gubernur Sumatera Tgk Moh Hasan berunding di Bukittinggi.

Maklumat pdri
Maklumat PDRI

Sore harinya, sekitar pukul 18.00 WIB, bertempat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, Sjafruddin menggelar rapat yang dihadiri oleh Gubernur Sumatera Mr. T.M. Hasan. Saat itu, Hasan menyetujui pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang juga merupakan instruksi Sukarno dalam rapat di Yogyakarta. 

Akhirnya, pada 22 Desember 1948, PDRI diproklamirkan dan Sjafruddin menjadi pemimpinnya. Dia dibantu oleh anggota kabinet, di antaranya Teuku Mohammad Hassan sebagai Wakil Ketua PDRI merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama, Sutan Mohammad Rasjid sebagai Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda, Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman, Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan, dan Ir. Indracaya sebagai Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Sementara Jenderal Sudirman tetap menjadi Panglima Besar Angkatan Perang.

Setelah pengumuman tersebut, Sjafruddin dan sebagian besar anggota kabinet berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran pasukan Belanda.

PDRI saat itu menjadi musuh yang paling dicari oleh Belanda. Semua tokoh-tokohnya hingga sampai harus bermalam di hutan rimba untuk menghindarkan diri dari serangan Belanda.

Rombongan ini kerap tidur di semak belukar di pinggiran sungai Batanghari dan kekurangan pasokan bahan makanan. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat pahlawan untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pidato Sjafruddin yang Menggemparkan

Ketua MPR: Syafruddin Prawiranegara Harusnya Jadi Presiden Ke-2
Rumah yang dulu dijadikan sebagai Kantor PDRI, di Sumatera Barat, menjadi tempat Syafruddin Prawiranegara dan para jajarannya menyusun strategi mempertahankan kemerdekaan RI (Istimewa)

Demi memperlihatkan bahwa pemerintahan RI masih eksis, pada 23 Desember 1948, Sjafruddin berpidato melalui radio yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia dan pasukan TNI.

Berikut pidato lengkap Sjafruddin Prawiranegara:

Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya, dan kejamnya.

Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi.

Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti!

Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh!

Musuh Nomor 1 Belanda

ibu kota
Istana Bung Hatta di Bukittinggi, Sumatera Barat yang menjadi pusat pemerintahan RI selama peralihan kekuasaan ke PDRI. (Ist)

Pidato tersebut dapat ditangkap oleh stasiun radio Singapura dan juga disadap oleh Radio Belanda di daerah Riau. Sejak itu PDRI menjadi musuh nomor satu bagi Belanda. Tokoh-tokoh PDRI pun harus bergerak sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.

Perjuangan mereka ternyata membuahkan hasil. Pada pertengahan tahun 1949, posisi Belanda semakin terjepit karena agresi besar-besaran yang diluncurkan ke Indonesia mendapat kecaman internasional.

Mereka tidak pernah berkuasa penuh, dan akhirnya Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang saat itu masih berstatus tawanan.

Akhirnya perundingan menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Setelah perjanjian ini Sjafruddin Prawiranegara kemudian mengembalikan pemerintahan kembali kepada Ir Soekarno pada 13 Juli 1949. 

Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, dia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-1950.

Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Sjafruddin.

Syafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya