Tulungagung - Senyum semringah Nur Rohmajanti menyambut kedatangan Jawa Pos ketika tiba di ruang guru Sekolah Luar Biasa (SLB) B Negeri Tulungagung. Bu Nur, begitu biasa disapa, merupakan salah satu guru di sekolah yang beralamat di Jalan Diponegoro V/2 Tulungagung.
"Mari masuk, duduk dulu silakan," sambutnya ramah seperti dikutip dari JawaPos.com, Minggu (25/11/2018).
Baca Juga
Nur mengaku, menjadi guru sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya. Terlebih menjadi guru SLB. Kala itu dia bercita-cita selepas kuliah dapat segera bekerja sehingga meringankan beban orangtua. Lantas memilih mengabdikan diri sebagai guru sekolah luar biasa.
Advertisement
"Sama sekali gak berpikir mau jadi guru, terpenting bisa bekerja," ujarnya mengawali cerita.
Dia menjadi guru bermula ketika lulus kuliah 1991. Yakni mencoba mendirikan sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) di Desa Turus, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Di tahun 2000, bersama dengan seorang teman, dia mendatangi rumah-rumah setiap warga untuk menemukan ABK.
Menurut dia, meski memiliki kekurangan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak.
"Saat itu saya door to door ke rumah warga yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus agar mau sekolah," jelasnya.
Mulanya hanya memiliki 17 siswa, dengan berbagai macam ketunaan. Itu menjadi tantangan baru baginya. Berkat keuletan dan kesabarannya dalam membimbing para siswa, lambat laun sekolah hasil rintisannya berkembang.
Hingga akhirnya pada 2005, wanita berhijab ini diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan mengajar di SLBB Negeri Tulungagung hingga sekarang.
Di tempat baru tersebut, dia dapat lebih fokus membimbing siswa.
"Karena di sini adalah SLBB jadi khusus untuk anak-anak tuna rungu. Pengajaran pun lebih intensif dan spesifik," jelasnya.
Wanita 48 tahun ini menjelaskan, salah satu pelajaran berharga yang dapat dipetik selama mengabdikan diri menjadi guru adalah selalu bersyukur. Terutama bersyukur dengan apa yang dimiliki.
Dengan menjadi guru, dapat menjadi pribadi lebih berguna dan bermanfat bagi orang lain. "Ketika melihat perkembangan murid-murid saya dari yang awal masuk tidak bisa apa-apa hingga berprestasi. Itu kebahagian yang tidak bisa dibeli," jelasnya seraya tersenyum.
Mengajar anak-anak tuna rungu memiliki tantangan tersendiri. Salah satu tantangan ketika mengajar siswa tuna rungu adalah dapat membuat vokal atau mengeluarkan suara. Membuat vokal yang dimaksud adalah mengeluarkan suara yang tidak asal bunyi. Melainkan bagaimana dapat membuat mereka dapat berbicara yang memiliki arti dan maksud.
"Karena pendengaran anak tuna netra tidak maksimal. Oleh karena itu, untuk mengeluarkan suara pun juga kesulitan. Tugas kami yang pertama yakni membantu mereka agar tertata secara vokal bahasa. Tidak sekedar teriak atau bunyi," jelasnya.
Jadi Korban Siswanya
Dalam proses belajar, tak jarang ibu tiga anak ini juga menjadi korban kenakalan siswanya. Mendapat pukulan dan cakaran dari sejumlah siswa menjadi cerita tersendiri baginya.
Menurutnya, anak-anak demikian bukan karena benci. Hanya saja tidak tahu bagaimana mengungkapkan emosi. Mereka tidak tahu bahwa itu perbuatan yang salah.
"Kalau ada siswa yang seperti itu, ya harus ekstra sabar memang. Lakukan pendekatan dan beri pengertian. Jangan dimarahi," terangnya.
Tak jarang, kejadian semacam ini sempat membuatnya ingin menyerah. Namun ketika teringat sejumlah siswa lain yang berhasil berprestasi, semangat untuk terus mengabdikan diri pada pendidikan kembali tumbuh.
Dia pernah mendampingi siswa SMPLB dalam lomba kreativitas siswa nasional (LKSN) untuk lomba membatik dan berhasil mendapat lima terbaik.
"Kalau ditanya menyesal nggak menjadi guru SLB? Saya langsung menjawab tidak. Bagi saya, dengan menjadi guru SLB, saya banyak belajar dari siswa-siswa saya," terang wanita kelahiran 1970 ini.
Bersamaan dengan Hari Guru Nasional (HGN) yang jatuh pada 25 November (hari ini, Red), wanita ramah ini berharap dapat terus mengabdi bagi kemajuan pendidikan di negeri ini.
Dia berpesan bagi para orang tua, kekurangan dan kelebihan seorang anak merupakan anugerah. Setiap anak layak untuk mendapat pendidikan yang baik. “Meski memiliki kecacatan sekalipun, mereka layak untuk menimba ilmu dan berkembang, bahkan mengukir prestasi,” tutupnya. (Ananias Ayunda Primastuti)
Baca berita JawaPos.com menarik lainnya di sini:
Advertisement