Menko Puan Pantau Perkembangan Kasus Penganiayaan Siswi SMP Pontianak

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI (Menko PMK) Puan Maharani mengaku prihatin atas kasus penganiayaan siswi SMP di Pontianak.

oleh Yopi Makdori diperbarui 11 Apr 2019, 11:52 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2019, 11:52 WIB
Justice for Audrey
Justice for Audrey (Foto: Twitter)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI (Menko PMK) Puan Maharani mengaku prihatin atas kasus penganiayaan, ABZ (15) siswi SMP oleh sejumlah pelajar SMA di Pontianak, Kalmantan Barat.

Dia meminta supaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk meningkatkan optimalisasi perlindungan anak.

"Lewat koordinasi Kemenko PMK pula, Kemendikbud dan Kementerian PPPA diminta agar dapat lebih meningkatkan optimalisasi perlindungan anak, khususnya di kalangan pelajar SD, SMP dan SMA," kata Puan Maharani melalui keterangan tertulisnya, Rabu 10 April 2019.

Dia juga mengungkapkan akan terus memantau setelah mendapatkan laporan terkini perkembangan kasus penganiayaan siswi ABZ.

Menurut Puan, tim yang dibentuk Wali Kota Pontianak (termasuk Dinas Pendidikan), masih berkoordinasi dengan Polrestra Pontianak untuk menyelidiki motif terjadi kekerasan, termasuk dengan ditemukannya rekam jejak di medsos.

Sebelumnya, kasus perundungan yang menimpa korban remaja perempuan inisial ABZ (15) di Kota Pontianak menuai banyak simpati dan keprihatinan masyarakat.

Sejauh ini, tindak lanjut penanganan kasus yang sudah dilakukan antara lain Kasat Reskrim dan Kanit PPA Polresta Pontianak sedang menindaklanjuti kasus dengan meminta hasil visum dan rekam medis korban.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Tiga Tersangka

Ilustrasi Penganiayaan
Ilustrasi Penganiayaan (iStockphoto)​

Penyidik Polresta Pontianak, Kalimantan Barat menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus pengeroyokan dan penganiayaan terhadap siswi SMP ABZ (15). Ketiga tersangka masing-masing berinisial FZ, TP, dan NN merupakan siswi SMA.

Kapolresta Pontianak, Kombes Muhammad Anwar Nasir mengatakan, penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik mengumpulkan bukti dan keterangan saksi-saksi untuk selanjutnya dilakukan gelar perkara.

"Dari hasil pemeriksaan, akhirnya kami menetapkan tiga orang sebagai tersangka, sementara lainnya sebagai saksi," ujar Anwar seperti dikutip Antara, Rabu (10/4/2019).

Dari pemeriksaan yang dilakukan hari ini, ketiganya mengakui telah menganiaya ABZ. Namun mereka membantah telah melakukan kekerasan seksual dengan menusuk organ kewanitaan korban menggunakan jari, sebagaimana informasi yang viral di media sosial.

"Terhadap ketiga tersangka dikenakan Pasal 80 ayat 1 UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman tiga tahun enam bulan penjara, atau kategori penganiayaan ringan sesuai dengan hasil visum oleh pihak Rumah Sakit Mitra Medika," tuturnya.

Dia menambahkan, sesuai dengan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka dilakukanlah diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana).

"Baik korban dan tersangka sama-sama anak-anak, sehingga semua tahapan harus didampingi oleh pihak orangtua dan KPPAD Kalbar sesuai dengan hak mereka," kata Anwar.

Anwar menegaskan, tidak ada kekerasan seksual terhadap ABZ berdasarkan hasil visum yang dilakukan pihak Rumah Sakit Mitra Medika. Visum tersebut tidak menunjukkan adanya perlukaan atau memar pada area sensitif korban.

Ketujuh siswi yang disebut-sebut terkait kasus dugaan penganiayaan terhadap pelajar SMP di Pontianak, Kalimantan Barat, ABZ menyampaikan permintaan maafnya. Dengan menggunakan masker dan wajah tertunduk, mereka mengaku bersalah. 

"Saya meminta maaf atas perlakuan saya terhadap ABZ, saya menyesali kelakuan saya ini," ungkap salah satu tersangka dengan terisak, di hadapan awak media, dikutip JawaPos.com, Kamis (11/4/2019).

Seorang siswi lainnya juga menyampaikan rasa bersalahnya. Ia dan teman-temannya mengaku turut menjadi korban atas tuduhan yang keliru dari berbagai pihak.

"Saya dituduh sebagai pelaku, padahal saya tidak di lokasi. Bagaimana media mengatakan saya sebagai provokator," ungkap siswi tersebut.

Ketujuh siswi ini mengaku mendapat intimidasi dan ancaman lewat di media sosial. Atas dasar ini pula, mereka mengaku juga sebagai korban.

"Kami juga menjadi korban," kata salah satu pelajar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya