DPR: Jokowi Ingin Pasal Penghinaan Presiden Dihapus dari RUU KUHP

Anggota DPR menilai Presiden harus dijaga kehormatannya. Ditambah, Presiden bisa langsung melaporkan penghinanya dengan pasal tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Sep 2019, 11:36 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2019, 11:36 WIB
Jokowi Terima Laporan Hasil Pemeriksaan dari BPK
Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi III Erma Suryani Ranik mengatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta secara khusus salah satu pasal dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk dihapus. Erma menyebut pasal itu tentang penghinaan presiden.

Hal tersebut, menurut dia, disampaikan Jokowi dalam pertemuan dengan pimpinan DPR, pimpinan fraksi, dan Komisi III di Istana Merdeka, Senin (23/9/2019) kemarin. Erma mengatakan, Jokowi merasa tidak perlu ada pasal penghinaan presiden.

"Di rapat itu, Pak Presiden Jokowi secara khusus menyebut pasal penghinaan terhadap presiden, Beliau mengatakan bahwa saya sendiri tidak merasa perlu ada pasal itu," ujar Erma di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019).

Namun, Erma beda pendapat dengan Jokowi. Menurut dia, pasal penghinaan itu diperlukan. Kata politikus Demokrat itu, DPR membuat RUU KHUP bukan hanya untuk Presiden Jokowi.

"Pak Presiden mengatakan begitu, tapi kan kami bikin, sekali lagi kami bikin RUU KUHP bikin undang-undang di negara ini bukan untuk satu orang, bukan untuk satu partai tapi untuk Indonesia," ujar Erma.

Dia menilai, Presiden harus dijaga kehormatannya. Ditambah, Presiden bisa langsung melaporkan penghinanya dengan pasal tersebut.

"Apa mau dihina kehormatannya. Apa mau misalnya saya dihina nanti saya suruh fans club saya ngadukan, mau begitu?" ucap Erma.

Pada kesempatan yang sama, Erma juga menegaskan tidak akan mengesahkan RUU Pemasyarakatan (RUU Pas) dalam rapat paripurna hari ini. Hal itu dilakukan DPR setelah Jokowi meminta empat RUU termasuk RUU Pas ditunda pengesahannya.

Dia menjelaskan, RUU Pas adalah turunan dari RUU KUHP. Sehingga jika RUU KUHP ditunda maka tidak akan bisa mengesahkan RUU PAS.

"RUU PAS itu, kenapa ada RUU Pas karena RUU KUHP itu adalah kita sebutnya induk dari sistem peradilan pidana kita. Kalau RUU KUHP-nya ditunda, kan ingat di KUHP itu ada pidana kerja sosial siapa yang ngawasin orang-orang Pas ini," ungkap Erma.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

KUHP Induk Undang-undang

Erma menjelaskan, RUU KUHP adalah induk dalam undang-undang. Karena itu jika RUU KUHP belum disahkan maka RUU Pas tidak bisa disahkan.

"Ada pidana penjara, pidana mati contohnya, pidana mati kan alternatif jadi kalau ada terpidana divonis pidana mati kemudian dia berkelakuan baik bisa diubah hukumannya," ucapnya.

Sebelumnya, telah meminta agar empat RUU dan revisi undang-Undang untuk ditunda. Jokowi ingin, rancangan UU tersebut dibahas bersama DPR periode 2019-2024.

Jokowi mengungkap ini dalam rapat konsultasi bersama pimpinan DPR siang tadi. Rapat itu dihadiri langsung oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo dan sejumlah pimpinan fraksi.

"Intinya tadi saya meminta agar pengesahan untuk RUU Pertanahan pertama, kedua RUU Minerba, ketiga RUU KUHP, kemudian yang keempat RUU Pemasyarakatan, itu ditunda pengesahannya," jelas Jokowi saat jumpa pers di Istana Negara, Senin (23/9).

 

Reporter: Ahda Bayhaqi dan Sania Mashabi

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya