Politikus PKS Ingatkan Pentingnya Alat Ukur Penilaian Pengganti UN

Ledia mengingatkan, kebijakan Mendikbud termasuk menghapus Ujian Nasional (UN) agar tidak hanya memperhatikan peserta didik di perkotaan atau Jabodetabek.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 12 Des 2019, 14:31 WIB
Diterbitkan 12 Des 2019, 14:31 WIB
UNBK SMK 2019
Sejumlah siswa mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 50 Jakarta, Senin (25/3). Sebanyak 69.407 siswa dari 578 SMK di DKI Jakarta mengikuti UNBK yang diselenggarakan pada 25-28 Maret 2019. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi X DPR Fraksi PKS Ledia Hanifa memberikan beberapa catatan terkait kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang akan menghapus Ujian Nasional (UN) pada 2021.

Menurut Ledia, sebelum UN dihapus, Mendikbud harus memastikan ada evaluasi dan alat ukur atau sistem penilaian yang jelas untuk menggantikan ujian nasional.

"Mengubah sistem penilaian harus memastikan kemampuan pihak yang akan menilai. Untuk melakukan assessment yang bersifat diagnostik, guru harus memiliki kemampuan untuk pengukurannya. Jangan sampai salah menilai karena selama ini lebih ditarget penilaian akademis," kata Ledia saat dikonfirmasi, Kamis (12/12/2019).

Ledia menyatakan, akan tidak adil apabila nantinya timbul penilaian, tapi terhadap hal yang belum diajarkan, termasuk pendidikan karakter.

"Tidak fair melakukan penilaian terhadap sesuatu yang tidak pernah diajarkan atau dibiasakan. Termasuk di dalamnya pendidikan karakter. Artinya harus memastikan bahan-bahan yang akan dijadikan ukuran penilaian sudah pernah diajarkan atau dilatihkan dan dibiasakan," ucap dia.

Politikus PKS itu menyebut, kebijakan merdeka belajar ala Nadiem harus dimulai sejak kelas rendah atau awal sekolah dasar.

"Dengan pendekatan learning how to learn, sehingga siswa mencintai belajar, mencintai ilmu. Pertanyaannya, apakah para guru telah dipersiapkan?" katanya.

Ia juga mengingatkan kebijakan Mendikbud termasuk penghapusan ujian nasional agar tidak hanya memperhatikan peserta didik di perkotaan atau Jabodetabek.

"Pendekatan kebijakan tidak boleh melupakan daerah di luar Jabotabek ataupun ibu kota. Harus dipikirkan daerah yang terpencil, pedalaman. Jadi, ini bukan sekadar menghapus ujian nasional. Ini memerlukan banyak hal yang harus diperhatikan," Ledia menandaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Nadiem Hapus Ujian Nasional

Menteri Nadiem Pimpin Upacara HUT ke-74 PGRI dan Hari Guru Nasional
Mendikbud Nadiem Makarim memberikan pidato saat Upacara Peringatan HUT PGRI ke-74 dan Hari Guru Nasional 2019 di Kemendikbud, Jakarta, Senin (25/11/2019). Upacara diikuti oleh guru, siswa-siswi dan mahasiswa dan Nadiem Makarim memimpin selaku pembina upacara. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menegaskan bahwa Ujian Nasional atau UN 2020 merupakan yang terakhir.

Pada 2021,  UN akan digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.

"Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter," jelas Nadiem di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

Menurut Nadiem, Ujian Nasional dianggap kurang ideal untuk mengukur prestasi belajar. Materi UN juga terlalu padat, sehingga cenderung berfokus pada hafalan, bukan kompetensi.

"Kedua, ini sudah menjadi beban stres antara guru dan orangtua. Karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu," ucap dia.

Padahal, kata Nadiem, semangat UN adalah untuk mengasesmen sistem pendidikan. Baik itu sekolahnya, geografinya, maupun sistem pendidikan secara nasional.

Lebih jauh, kata mantan bos Gojek itu UN hanya menilai satu aspek, yakni kognitifnya. Bahkan belum menyentuh aspek kognitif, tapi lebih kepada penguasa materi.

"Dan belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya