Tak Ada Sanksi Tegas, PSBB Dinilai Tak Efektif Cegah Covid-19

Kebijakan kepala daerah dalam menjalankan PSBB berbeda-beda. Akibatnya, koordinasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya belum optimal.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Apr 2020, 15:09 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2020, 15:09 WIB
Melihat Posko COVID-19 Dinas Kesehatan DKI Jakarta
Petugas melewati layar pemantau yang menunjukan penyebaran virus corona (COVID-19) di Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Senin (9/3/2020). Dari 3.580 orang yang menghubungi Posko COVID-19 DKI Jakarta, ada 64 kasus kategori Orang Dalam Pantauan dan 56 Pasien Dalam Pengawasan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tak efektif memutus mata rantai penyebaran virus corona atau Covid-19.

Menurutnya, ada sejumlah faktor yang menyebabkan kebijakan PSBB belum memberikan dampak signifikan pada penanganan virus mematikan itu. Pertama, penerapan PSBB tidak dilakukan secara serentak. Baik di Ibu Kota DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan wilayah lainnya.

"Penyangga ini kan baru PSBB seminggu setelah Jakarta. Jadi Jakarta bergerak sendiri," kata Hermawan saat dihubungi merdeka.com, Rabu (22/4/2020).

Kedua, kebijakan kepala daerah dalam menjalankan PSBB berbeda-beda. Akibatnya, koordinasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya belum optimal.

"Belum lagi hubungan dengan pemerintah pusat terutama dengan Menhub yang tak kunjung menyetop alat transportasi dan lain-lain. Nah itu semua menyebabkan efektivitas PSBB itu belum terbukti karerna intervensinya sangat longgar sekali," sambung dia.

Terpisah, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Radiansyah menilai PSBB memang tidak efektif untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Penyebabnya, pemerintah tidak tegas memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak mengikuti aturan PSBB. Sehingga masih banyak perusahaan di sektor industri yang beraktivitas normal.

"Sektor industri masih beraktivitas normal, kantor-kantor masih buka, industri-industri manufaktur itu hampir semua karyawan buruhnya tinggal di wilayah penyangga DKI. Jarang mereka tinggal di dekat pabrik," jelasnya.

Lantaran perusahaan masih beroperasi seperti biasa, karyawan terpaksa bekerja. Mereka akhirnya harus berangkat kerja menggunakan transportasi umum seperti KRL.

"Karena itu, transportasi masih berjubel-jubel, masih padat. KRL itu baik yang berasal dari Bogor, Depok, Cikarang, masih. Terus KRL yang dari Serang apalagi karena di sana belum PSBB juga. Jadi pada akhirnya apa yang diharapkan kita sosial distancing, physical distancing, itu tidak banyak berpengaruh, tidak berjalan dengan baik," ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Belum Ada Sanksi Tegas

Pelanggar PSBB dihukum push up (Ady Anugrahadi/Liputan6.com)
Pelanggar PSBB dihukum push up (Ady Anugrahadi/Liputan6.com)

Selain tidak adanya sanksi tegas, ego sektoral kementerian dan lembaga pemerintah menjadi penyebab PSBB tak berjalan semestinya. Misalnya, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perindustrian. Ketiga lembaga tersebut masing-masing mengeluarkan aturan yang saling bertentangan.

"Antar kementerian sendiri di pusat nggk satu suara, nggk kompak, nggk solid, mereka ego sektoral masing-masing," ucap dia.

Pemerintah juga tidak memberikan sanksi kepada warga yang nekat mudik di tengah wabah Covid-19. Padahal, mudik membuka peluang besar bagi penularan virus asal Wuhan, China itu.

Berikutnya, masalah jaring pengaman sosial. Trubus menyebut, jaring pengaman sosial seperti bansos, sembako hingga kartu pra kerja belum tepat sasaran. Akibatnya, keluarga miskin kelaparan dan terpaksa melanggar aturan PSBB.

Bila serius ingin memutus mata rantai penyebaran Covid-19, Trubus menyarankan pemerintah melakukan lockdown terbatas di wilayah yang sudah tercatat sebagai zona merah. Misalnya DKI Jakarta.

Meskipun pemerintah pusat menutup ruang lockdown, Gubernur DKI Jakarta bisa mengambil kebijakan sendiri.

"Dengan kewenangan yang dimiliki Pemprov dalam hal ini Gubernur DKI itu bisa. Dia lockdown wilayah, lockdown wilayah terbatas khusus DKI Jakarta. Saya kira itu yang paling efektif," kata Trubus.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya