Liputan6.com, Jakarta - Presidium Front Anti Korupsi Maruf Asni menyebut, vonis ringan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap terdakwa bukan suatu ukuran buruknya kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pernyataan ini dilontarkan sekaligus menanggapi kritik yang dilayangkan Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW sempat menyebut vonis ringan terhadap kader PDIP Saeful Bahri yang menyuap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan terlalu rendah.
Baca Juga
"Kurang tepat bila kemudian vonis hakim terhadap Saeful Bahri turut dipandang mencerminkan bobroknya kinerja komisi anti-rasuah dalam aspek penuntutan," ujar Maruf dalam keterangan tertulis, Jumat (29/5/2020).
Advertisement
ICW sempat menyebut, vonis 1 tahun 8 bulan terhadap Saeful tidak lepas dari tuntutan ringan yang dibuat penuntut umum pada KPK yakni hanya 2 tahun 6 bulan. Padahal, menurut ICW, tuntutan hukuman maksimal untuk terdakwa pelaku suap ialah 5 tahun penjara.
Menurut Maruf, majelis hakim Pengadilan Tipikor mempunyai independensi dalam memutuskan suatu perkara. Jadi tidak bisa di intervensi oleh siapapun, termasuk jaksa penuntut umum dari KPK.
"Satu hal yang mesti dimengerti dan dipahami adalah kekuasaan kehakiman memiliki independensi yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun. Entah itu individu atau kelompok, termasuk cabang kekuasaan tertentu," kata dia.
Penilaian Hakim
Padahal, kata Maruf, kalau mencermati tuntutan dari jaksa KPK, justru relatif tinggi terhadap terdakwa Saeful Bahri. Oleh karena itu, tentu hakim punya penilaian sendiri dalam membedah suatu perkara korupsi.
"Dan karenanya putusan yang diorbitkan harus diterima secara konsekuen. Dengan kata lain vonis hakim yang lebih ringan dari penuntut merupakan manifestasi dari independensi kekuasaan kehakiman, sebagaimana yang dijamin UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dan merdeka," ucap Asni.
Ma'ruf mengatakan, terlalu dini menyimpulkan vonis rendah terhadap pelaku kejahatan korupsi merefleksikan lemahnya kinerja penuntutan. Kesimpulan semacam itu, lanjut dia, tampak menunjukkan bila paradigma menghukum seberat-beratnya masih dominan dalam agenda antirasuah.
"Inilah yang mesti diubah, sebab ada tidaknya efek jera pelaku korupsi, parameternya bukan seberapa berat hukuman yang di terima," kata dia.
"Bagaimana juga persoalan korupsi bukan perkara simplistik yang dapat dipersonifikasi. Tidak. Persoalan korupsi adalah persoalan struktural. Oleh karenanya agenda anti korupsi harus dipahami secara menyeluruh dan substantif, tidak parsial," sambungnya.
Advertisement