Liputan6.com, Jakarta: Partai Golongan Karya tak merasa kehilangan sosok Sri Sultan Hamengku Buwono yang didesak tak lagi menjadi anggota partai politik. Hal tersebut terkait Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) yang telah rampung dibahas Panja Komisi II DPR RI.
Dalam RUUK DIY diatur Sri Sultan dan Paku Alam ditetapkan jadi gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta. Keduanya ditetapkan setelah memenuhi sejumlah persyaratan seperti usia minimal 30 tahun dan pendidikan minimal SMA. Aturan yang dianggap revolusioner adalah dilarangnya gubernur DIY menjadi anggota parpol.
Dengan demikian, Sri Sultan yang merupakan kader Golkar harus mencopot keanggotaannya. "Kalau mengenai kehilangan tidak. Kami optimistis bahwa kami mampu mendayagunakan kader yang dimiliki. Untuk mendapat suara yang sinergitas," kata Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tandjung, Selasa (28/8).
Menurut Akbar partainya optimistis walau Sri Sultan nantinya menyerahkan Kartu Tanda Anggota (KTA). "Tapi hak berpolitik tidak hilang. Tapi sebagai gubernur karena jabatan terkait sultan tidak boleh menjadi anggota partai," tuturnya. "Pada era reformasi Sultan tidak banyak melibatkan diri di struktural dan tidak masuk dalam strulktural. Memang pada Orde Baru dia Ketua DPD. Bagi kami tidak masalah," pungkas Akbar.(ALI/JUM)
Dalam RUUK DIY diatur Sri Sultan dan Paku Alam ditetapkan jadi gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta. Keduanya ditetapkan setelah memenuhi sejumlah persyaratan seperti usia minimal 30 tahun dan pendidikan minimal SMA. Aturan yang dianggap revolusioner adalah dilarangnya gubernur DIY menjadi anggota parpol.
Dengan demikian, Sri Sultan yang merupakan kader Golkar harus mencopot keanggotaannya. "Kalau mengenai kehilangan tidak. Kami optimistis bahwa kami mampu mendayagunakan kader yang dimiliki. Untuk mendapat suara yang sinergitas," kata Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tandjung, Selasa (28/8).
Menurut Akbar partainya optimistis walau Sri Sultan nantinya menyerahkan Kartu Tanda Anggota (KTA). "Tapi hak berpolitik tidak hilang. Tapi sebagai gubernur karena jabatan terkait sultan tidak boleh menjadi anggota partai," tuturnya. "Pada era reformasi Sultan tidak banyak melibatkan diri di struktural dan tidak masuk dalam strulktural. Memang pada Orde Baru dia Ketua DPD. Bagi kami tidak masalah," pungkas Akbar.(ALI/JUM)