FSGI soal RUU Cipta Kerja: Pendidikan Usaha Sosial Bukan untuk Mencari Keuntungan

FSGI mengecam masuknya klaster pendidikan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja atau Cipta Kerja yang disahkan DPR pada Senin malam, 5 Oktober 2020.

oleh Yopi Makdori diperbarui 07 Okt 2020, 10:10 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2020, 09:57 WIB
FOTO: Sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju Hadiri Paripurna Pengesahan UU Ciptaker
Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengecam masuknya klaster pendidikan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja atau Cipta Kerja yang disahkan DPR pada Senin malam, 5 Oktober 2020. Menurut FSGI, langkah ini berpotensi menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan di Indonesia.

"Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 26 yang memasukkan entitas pendidikan sebagai sebuah kegiatan usaha, kemudian Pasal 65 menjelaskan pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU ini. Ayat (2) mengatakan, ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah," kata Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo dalam keterangannya, Rabu (7/10/2020).

Heru menyebut, keberadaan pasal ini di UU Cipta Kerja sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan.

Pasalnya, mengacu pada Pasal 1 huruf d UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, mendefinisikan 'usaha' sebagai setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

"Jadi kalau pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU ini (UU Cipta Kerja), maka berarti menempatkan pendidikan untuk mencari keuntungan, padahal pendidikan adalah usaha sosial bukan untuk mencari keuntungan," tegas Heru.

Dengan demikian, lanjut Heru hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan salah satu tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Serta Pasal 31 UUD 1945 hasil amandemen menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga dan negara wajib memenuhinya dalam kondisi apapun," pungkas Heru.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kemendikbud Sebut Klaster Pendidikan Ditarik dari Ciptaker

Terkendala Online, Siswa SD Belajar Tatap Muka di Teras Rumah
Murid kelas III SDN 02 Pondok Petir mengikuti kegiatan belajar mengajar di teras rumah salah satu siswa di Depok, Senin (31/08/2020). Mereka belajar 2 - 3 minggu sekali karena para siswa kesulitan belajar daring akibat beban paket data dan tidak semua memiliki smartphone. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, pada Kamis, 24 September lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebut telah mencabut klaster pendidikan dari draf Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Pencabutan tersebut diusulkan kepada panitia kerja, dan telah diputuskan dalam rapat kerja pembahasan RUU Cipta Kerja

"Pemerintah dan Badan Legislasi DPR RI telah sepakat mengeluarkan klaster pendidikan dari draf RUU Cipta Kerja," jelas Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Ainun Na'im, di Jakarta, Kamis, (24/09/2020).

Kemendikbud mendengarkan aspirasi dan masukan dari pemangku kepentingan pendidikan, organisasi pendidikan, dan masyarakat terkait usulan mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang ada dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Kemudian, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, maka Kemendikbud memutuskan klaster pendidikan dicabut dari draft RUU Cipta Kerja tersebut.

"Hal ini keputusan yang baik. Kami menjaring dan mengapresiasi masukan dari berbagai organisasi dan elemen masyarakat, dan sebagian besar meminta agar klaster pendidikan tidak dimasukan dalam draf RUU Cipta Kerja," jelas Ainun.

Ainun mengatakan, berbagai kalangan berpendapat jika klaster pendidikan tetap masuk dalam draf RUU Cipta Kerja, tidak banyak memberikan manfaat bagi dunia pendidikan.

"Berbagai masukan masyarakat sangat baik untuk bersama-sama memajukan pendidikan Indonesia," ujarnya.

Ainun mengajak masyarakat bersama-sama mengawal pengembangan pendidikan nasional.

"Kami terbuka akan masukan dari masyarakat. Pendidikan ini milik kita bersama. Mari bersama-sama kita majukan pendidikan di Indonesia," kata Ainun.

Menaker: Pembahasan RUU Cipta Kerja Dilakukan Secara Transparan dan Demokratis

FOTO: Aksi Ratusan Buruh Jakarta Tolak UU Cipta Kerja
Massa dari berbagai serikat buruh menggelar aksi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di kawasan JIEP, Jakarta, Selasa (6/10/2020). Ratusan buruh berpawai sambil berorasi mengajak pekerja turun ke jalan menolak UU Omnibus Lawa Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Menteri Ketenagakerjaan Hj Ida Fauziyah mengatakan, pihaknya menyadari di balik cita-cita mulia yang terkandung dalam RUU Cipta Kerja, terdapat riak-riak dinamika sosial, baik yang pro maupun yang kontra, terutama pada materi klaster ketenagakerjaan. Meski demikian Menaker memastikan bahwa pemerintah sangat terbuka atas berbagai masukan kontruktif.

Hal itu disampaikan Menaker saat menjadi keynote speaker dalam webinar bertema Peluang dan Tantangan RUU Cipta Kerja yang diselenggarakan Injabar dan Universitas Padjajaran, Jumat (28/8/2020).

"Proses panjang pembentukan RUU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan telah dilalui. Kami mulai kembali, kami review kembali dengan melibatkan partisipasi stakeholder, utamanya unsur pekerja, pengusaha juga unsur praktisi dan akademisi dari berbagai dimensi keilmuan," ujar Ida.

Bahkan meskipun RUU Cipta Kerja telah diserahkan dan tengah dibahas di DPR, Kementerian Ketenagakerjaan bersama serikat pekerja dan pengusaha terus melakukan pendalaman atas subtansi ketenagakerjaan dalm RUU Cipta Kerja.

"Pemerintah sangat terbuka atas berbagai masukan kontruktif, proses dilakukan secara transparan dan demokratis, serta mengedepankan kepentingan nasional," tegas Ida.

Dalam pemaparannya, Menaker menjelaskan bahwa RUU Cipta Kerja adalah bagian dari ikhtiar yang diambil pemerintah guna mewujudkan visi Indonesia menjadi negara yang maju dan sejahtera.

Pemerintah melihat sejumlah peluang dan tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini antara lain; pertumbuhan ekonomi yang masih rendah, angka pengangguran yang masih tinggi, perlunya pembangunan SDM yang berkualitas, tantangan perkembangan ekonomi digital dan tren teknologi yang mengubah lanskap bisnis sehingga mempengaruhi peta kebutuhan tenaga kerja.

Demikian pula perubahan pola hubungan kerja yang semakin dinamis dan fleksibel, serta perlunya peningkatan daya saing investasi melalui kemudahan berusaha dan penataan regulasi yang tumpang tindih yang mempengaruhi kecepatan menangkap peluang investasi untuk penciptaan lapangan pekerjaan dan pengembangan UMKM.

Kebutuhan akan RUU Cipta Kerja semakin terasa ketika dihadapkan pada Pandemi Covid-19, yang tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan tapi juga ekonomi. Kehadiran UU Cipta Kerja diharapkan dapat menjadi landasan institusional negeri dan menciptakan lapangan kerja yang mengalami suply shock pasca pandemi yang berakibat meningkatnya jumlah pengangguran.

Ketua DPR Persilakan Tempuh Jalur Hukum Jika Ada yang Tidak Terima UU Cipta Kerja

Pemerintah Serahkan Draft RUU Omnibus Law
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) menyerahkan draft RUU Omnibus Law kepada Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020). Pemerintah mengajukan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan. (Liputan6.com/Johan Tallo)

RUU Cipta Kerja telah resmi disahkan menjadi Undang-Undang. Banyaknya penolakan tidak membuat pengesahan RUU tersebut ditunda.

Ketua DPR Puan Maharani mengklaim, DPR telah membahas RUU tersebut dengan detail dan mengutamakan kepentingan negara.

"Melalui pembahasan yang intensif dan dilakukan secara terbuka, cermat, dan mengutamakan kepentingan nasional, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Melalui UU Cipta Kerja, diharapkan dapat membangun ekosistem berusaha di Indonesia yang lebih baik dan dapat mempercepat terwujudnya kemajuan Indonesia," kata Puan, Senin 5 Oktober 2020.

Puan mempersilakan masyarakat yang menolak atau tidak menerima UU tersebut untuk menempuh jalur hukum.

"Apabila undang-undang ini masih dirasakan oleh sebagian masyarakat belum sempurna, maka sebagai negara hukum terbuka ruang untuk dapat menyempurnakan undang-undang tersebut melalui mekanisme yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," katanya.

Sementara tugas DPR menurut Puan saat ini hanya melakukan pengawasan penerapan UU Cipta Kerja tersebut.

"DPR melalui fungsi pengawasan akan terus mengevaluasi saat undang-undang tersebut dilaksanakan dan akan memastikan bahwa undang-undang tersebut dilaksanakan untuk kepentingan nasional dan kepentingan rakyat Indonesia," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya