Wamenkumham: Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Tak Digunakan Penjarakan Pengkritik Pemerintah

Wamenkumham memastikan pasal penghinaan presiden yang dipertahankan pemerintah dalam RKUHP tidak akan menghambat praktik demokrasi di Indonesia.

oleh Muhammad Ali diperbarui 10 Apr 2021, 07:47 WIB
Diterbitkan 10 Apr 2021, 07:47 WIB
Ahli Hukum Pidana Edward Omar Sharif Hiariej
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej.(Liputan6.com/Delvira Hutabarat)

Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memastikan pasal penghinaan presiden yang dipertahankan oleh pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak akan menghambat praktik demokrasi di Indonesia.

"Pasal penghinaan presiden tidak akan digunakan untuk memenjarakan mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah," kata Wamenkumham RI yang lebih populer dengan sapaan Prof Eddy saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat 9 April 2021.

Prof Eddy melanjutkan, "Sekali lagi, baca ayat tiganya, apabila itu suatu kritik terhadap pemerintah, tidak dapat dipidana. Ada di situ semua pasalnya."

Beberapa kelompok masyarakat sipil, dalam berbagai kesempatan, sempat mengkritik keputusan pemerintah mempertahankan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP karena ketentuan itu bakal membatasi kebebasan berpendapat.

Amnesty International, misalnya tahun lalu, sebagaimana dikutip dari laman resminya, berpendapat pasal penghinaan terhadap presiden, yaitu Pasal 218 dan Pasal 219 RKUHP, represif dan dapat mengancam kebebasan berpendapat.

"Kritik terhadap pemerintah itu sangat penting agar pemerintah dapat berbenah diri dan hati-hati dalam mengambil keputusan atas suatu kebijakan," tulis Amnesty International dalam catatan kritisnya terhadap RKUHP tahun lalu.

Terkait dengan kritik terhadap pasal itu, Prof. Eddy meyakini bahwa sosialisasi terhadap isi RKUHP masih kurang sehingga banyak kelompok oposisi masih kurang memahami ketentuan pasal per pasal secara lengkap.

Ia pun menerangkan pasal penghinaan presiden, yang diatur dalam RKUHP, merupakan delik aduan. Oleh karena itu, hanya presiden dan wakil presiden yang dapat melaporkan langsung pelaku atas perbuatan tersebut.

"Enggak bisa tim suksesnya (yang melapor)," kata Eddy Hiariej yang dikutip dari Antara. 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Sosialisasi ke Sejumlah Kota

Untuk memberi pemahaman lebih lengkap mengenai isi RKUHP kepada masyarakat, Eddy menyampaikan pihaknya telah melakukan sosialisasi ke sejumlah kota-kota besar.

Ia mengatakan bahwa pemerintah bekerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat untuk mengenalkan isi RKUHP secara lengkap kepada masyarakat di berbagai daerah.

Beberapa daerah yang akan dikunjungi Eddy dalam waktu dekat untuk sosialiasi isi RKUHP, antara lain Bali; Yogyakarta; Ambon, Maluku; Makassar, Sulawesi Selatan; Padang, Sumatera Barat; Banjarmasin, Kalimantan Selatan; Surabaya, Jawa Timur; Nusa Tenggara Timur; Manado, Sulawesi Utara; dan terakhir di Jakarta.

Ia berharap RKUHP dapat segera disahkan jadi undang-undang melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tahun ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya