Super Power KPK: Tolak Rekomendasi MK, Presiden Jokowi, dan Ombudsman

ICW berpandangan, arahan Jokowi dan MK saja diabaikan oleh pimpinan, apalagi hanya arahan Ombudsman yang notabene tak ada sanksi di dalamnya.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 06 Agu 2021, 13:01 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2021, 13:00 WIB
FOTO: Ketua KPK Umumkan 75 Pegawai Tidak Lolos Tes Wawasan Kebangsaan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri saat mengumumkan hasil penilaian dalam rangka pengalihan status kepegawaian di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/5/2021). Dari 1.351 pegawai KPK yang mengikuti tes wawasan kebangsaan, 75 orang tidak lulus. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadi sorotan publik. Tepatnya setelah pelaksaan tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN), lembaga yang kini dipimpin Jenderal Polisi Bintang Tiga, Komjen Firli Bahuri kerap menuai kritik.

Mulai dari pelaksanaan TWK yang merupakan ide Firli Bahuri hingga pertanyaan dalam TWK yang tak berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Bahkan, pertanyaan dalam TWK mengandung seksisme dan berumatan pelecehan terhadap gender.

Usai pelaksaan TWK itu, pimpinan KPK menerbitkan Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021. Dalam SK tersebut, KPK membebastugaskan 75 pegawai yang dinyatakan tak memenuhi syarat dalam TWK.

Para pegawai ngotot meminta hasil asesemen tersebut. Namun tak diberikan oleh KPK dengan alasan hasilnya ada pada Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Sementara BKN sendiri sempat menyatakan hasilnya sudah diberikan kepada lembaga antirasuah tersebut.

Polemik berkepanjangan, para pegawai mengadu kepada Dewan Pengawas namun sia-sia. Pegawai juga melapor kepada Ombudsman, Komnas Perempuan, hingga Komnas HAM.

Awalnya, KPK membantah akan menyingkirkan para pegawai yang tak lulus TWK. Namun belakangan KPK menyatakan bahwa 51 pegawai yang berstatus 'merah' dinyatakan tak bisa dibina lagi dan akan dipecat pada November 2021 mendatang.

Sementara 24 pegawai lainnya masih bisa dibina dan mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) bela negara dan wawasan kebangsaan yang bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan).

Namun dari 24 pegawai itu hanya 18 orang yang bersedia mengikuti pelatihan bela negara di Universitas Pertahanan (Unhan) Bogor, Jawa Barat. Pegawai yang enggan ikut pelatihan beralasan diklat bela negara dan wawasan kebangsaan ini tak memiliki dasar hukum yang jelas.

Tindakan KPK yang membebastugaskan 75 pegawai menuai kontroversi. Pimpinan KPK dianggap sengaja ingin menyingkirkan para pegawai yang selama ini tak 'patuh' dengan arahan pimpinan. Sebab, di antara nama para pegawai yang dibebastugaskan adalah mereka yang selama ini dinilai berani menindak petinggi negeri dan petinggi partai politik.

KPK dibawah kepemimpinan Firli tak gentar dengan kritikan yang berdatangan. Bahkan, saat Presiden Joko Widodo alias Jokowi meminta KPK untuk mengikuti arahan Mahkamah Konstitusi (MK), namun tak dilakukan. Jokowi meminta agar dalam proses alih status menjadi ASN, KPK tak boleh merugikan para pegawai. Permintaan Jokowi ini sesuai dengan keputusan MK terkait uji materi UU KPK tentang alih status pegawai.

KPK tak mengindahkan permintaan Jokowi yang saat itu disampaikan melalui virtual. Meski sempat menyatakan KPK tetap memperjuangankan para pegawai yang tak memenuhi syarat menjadi ASN, namun pada akhirnya KPK tetap pada prinsipnya, membebastugaskan para pegawai.

Kini, setelah mengabaikan arahan Jokowi dan MK, KPK mengabaikan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia. KPK tak terima dalam pelaksaan TWK disebut terjadi pelanggaran dan maladministrasi. KPK dengan tegas menyatakan keberatan atas temuan Ombudsman tersebut.

"Kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (5/8/2021).

Ghufron menyatakan, temuan Ombudsman yang menyebut adanya maladministrasi dalam pelaksaan TWK tidak berdasar bukti dan hukum. Oleh karena itu, Ghufron menyebut pihak KPK akan mengirimkan surat keberatan tersebut kepada Ombudsman.

"Kami akan sampaikan surat keberatan sesegera mungkin besok pagi ke Ombudsman," kata Ghufron.

Pagi tadi, Jumat (6/8/2021) KPK telah menyampaikan surat keberatan tersebut kepada Ombudsman.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


KPK Antikritik

Surat keberatan itu, kata Ghufron merupakan bentuk respons KPK sebagaimana diatur dalam peraturan Ombudsman RI Nomor 14 Tahun 2020 tentang perubahan atas peraturan Ombudsman RI Nomor 26 Tahun 2017 tentang tata cara penerimaan, pemeriksaan, dan penyelesaian laporan.

"Berdasarkan Pasal 25 ayat 6 b diatur bahwa dalam hal terdapat keberatan dari terlapor atau pelapor terhadap laporan akhir hasil pemeriksaan (LHAP) maka keberatan disampaikan kepada ketua Ombudsman," kata Ghufron.

Penolakan rekomendasi Ombudsman membuat Pimpinan KPK kembali menuai kritik. KPK era Firli Bahuri ini dinilai antikritik dan antikoreksi. Penyidik senior KPK yang dibebastugaskan, yakni Novel Baswedan menyebut seharusnya KPK malu lantaran dalam proses TWK dinyatakan adanya malasministrasi oleh Ombudsman, bukan malah menolak laporan Ombudsman.

"Mestinya Pimpinan KPK malu ketika ditemukan fakta itu, setidaknya responnya minta maaf. Tapi sekarang yang terjadi justru menolak tindakan korektif yang disampaikan oleh Ombudsman RI," ujar Novel saat dikonfirmasi, Kamis (5/8/2021).

Kritik tak hanya dari dalam KPK, melainkan dari luar KPK juga. Yakni Indonesia Corruption Watch (ICW) yang melayangkan kritikan. ICW mengaku tak terkejut dengan sikap pimpinan KPK yang menolak rekomendasi Ombudsman terkait dugaan adanya pelanggaran atau maladministrasi dalam pelaksaan TWK.

"ICW tentu tidak kaget lagi melihat sikap KPK yang mengabaikan tindakan korektif Ombudsman perihal temuan maladministrasi atas pengalihan status kepegawaian KPK," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (6/8/2021).

Menurut Kurnia, gelagat pengabaian rekomendasi Ombudsman terlihat saat pimpinan KPK melepas 18 pegawai nonaktif untuk mengikuti diklat bela negara dan wawasan kebangsaan bersama Universitas Pertahanan (Unhan) Bogor, Jawa Barat. Kurnia berpandangan hal ini melengkapi pembangkangan yang dilakukan pimpinan KPK.

ICW berpandangan, arahan Jokowi dan MK saja diabaikan oleh pimpinan, apalagi hanya arahan Ombudsman yang notabene tak ada sanksi di dalamnya.

"Jadi, bagi ICW, lengkap sudah pembangkangan yang dilakukan oleh Pimpinan KPK, mulai dari mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi, mengabaikan arahan Presiden Joko Widodo, hingga menganulir temuan Ombudsman. Ini semakin menunjukkan sikap arogansi dan tidak tahu malu dari Pimpinan KPK," kata Kurnia.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya