Pemerkosa Anak di Bekasi Hanya Divonis 7 Tahun, PSI Nilai Hukuman Terlalu Rendah

"Hukuman penjara 7 tahun dan restitusi Rp 10 juta rupiah tidak sebanding dengan penderitaan dan masa depan PU," kata Hera.

oleh Yopi Makdori diperbarui 04 Des 2021, 11:03 WIB
Diterbitkan 04 Des 2021, 11:03 WIB
Ilustrasi tolak perkosaan terhadap anak (AFP Photo)
Ilustrasi tolak perkosaan terhadap anak (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Bekasi, Tanti Herawati menilai vonis 7 tahun dan restitusi sebesar Rp 10 juta terhadap AT, pelaku pemerkosaan anak di bawah umur di Bekasi, Jawa Barat terlalu rendah. Keputusan tersebut tidak mempertimbangkan masa depan PU selaku korban. Selain itu, ada kesan vonis tersebut ditutup-tutupi.

Pasalnya Hera, sapaan akrabnya yang sudah sejak awal aktif mendampingi korban dan keluarganya menyebut bahwa berdasarkan keterangan PU dalam sidang, ia harus melayani empat hingga lima orang lelaki hidung belang yang membayar ke AT. 

"Hukuman penjara 7 tahun dan restitusi Rp 10 juta rupiah tidak sebanding dengan penderitaan dan masa depan PU. Hakim seharusnya memberikan hukuman maksimal kepada terdakwa," ujar Hera dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/12/2021).

Masih menurut Hera, restitusi yang diberikan seharusnya bisa menjamin PU untuk menjalani masa depannya dengan layak dan terhormat.

"Rusaknya masa depan seorang anak berusia 15 tahun akibat perbuatan AT tentu tidak sebanding dengan uang Rp 10 juta rupiah. Belum lagi vonis 7 tahun yang sangat dekat dengan hukuman minimal 5 tahun. Di mana keadilan untuk korban?" sesalnya.

Sementara Hendra Keria Hentas, anggota LBH PSI, yang juga menjadi kuasa hukum PU mengatakan vonis pelaku pemerkosaan yang diberikan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa. Hal ini memperlihatkan negara belum maksimal melindungi masa depan generasi bangsa. 

"Ketika mendampingi PU, kami melihat sendiri bagaimana dampak psikologis perbuatan terdakwa. PU menjadi pendiam dan sulit percaya pada orang, bahkan sampai terancam berhenti sekolah. PU sebagai generasi harapan bangsa sudah mengalami kerusakan mental yang cukup dahsyat. Pandangan kami, jaksa harus banding," kata Hendra. 

Menurutnya, vonis ini juga tidak sesuai dengan pernyataan Ketua Mahkamah Agung yang ingin memastikan terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak dalam penyelesaian perkara di peradilan. Di mana Ketua Mahkamah Agung Profesor Syarifuddin saat meresmikan webinar virtual dengan tema "Meningkatkan Kesetaraan Gender di Peradilan" pada tanggal 25 Oktober 2021 mengatakan, “Jangan biarkan kegelapan kembali datang, jangan biarkan kaum wanita kembali diperlakukan semena-mena."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Terkesan Ditutupi

PSI juga mempertanyakan vonis yang terkesan ditutup-tutupi dan tidak ditampilkan dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Kota Bekasi. 

"Kami mendapatkan informasi dari jaksa bahwa vonis sudah dijatuhkan pada 16 November. Anehnya, hingga hari ini keputusan ini belum muncul di SIPP. Apakah ini sekedar masalah administrasi atau ada keinginan untuk menyembunyikannya dari publik," sesal Hendra.

Berita tentang kasus ini baru muncul di media pada Jumat (3/12/2021) saat pengacara korban membenarkan kliennya telah dijatuhi hukuman 7 tahun dan restitusi Rp 10 juta.

Diketahui sebelumnya, PU gadis berusia 15 tahun menjadi korban pemerkosaan AT, pria berusia 21 tahun. Selain melakukan pemerkosaan, AT juga diduga melakukan kejahatan perdagangan orang dengan menawarkan PU sebagai pekerja seksual melalui layanan chat daring.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya