3 Gugatan Presidential Threshold Kembali Ditolak MK

Tiga gugatan yang dilayangkan berkaitan aturan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Apr 2022, 17:27 WIB
Diterbitkan 20 Apr 2022, 17:27 WIB
Gedung MK
Personil Brimob berjalan melintasi halaman depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (13/6/2019). Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden/Wakil Presiden Pemilu 2019 pada, Jumat (14/6). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

 

Liputan6.com, Jakarta Tiga gugatan yang dilayangkan berkaitan aturan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga gugatan itu terkait pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Tiga gugatan tersebut terdaftar dalam nomor perkara 13/PUU-XX/2022 yang diajukan tujuh warga Kota Bandung, nomor 20/PUU-XX/2022 dilayangkan empat pemohon, dan gugatan nomor 21/PUU-XX/2022 dengan pemohon lima anggota DPD.

Ketiganya menuntut presidential threshold diubah dari 20 persen menjadi 0 persen.

"Amar Putusan menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," demikian bunyi putusan dikutip laman resmi MK, Rabu (20/4/2022).

Pemohon itu turut menyoalkan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dianggap bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Mereka merasa haknya dibatasi dalam mendapatkan calon presiden dan wakil presiden secara bebas.

Namun, Mahkamah berpendapat tentunya berdasarkan pertimbangan hukum yang ada, aturan main itu sudah dijalani pada Pemilu 2019.

"Karena, pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan pemilu tahun 2019 di mana para pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam pemilu tahun 2024 mendatang," ujar mahkamah dalam putusannya.

Analogi tersebut menjadikan anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum.

Selain itu, argumentasi para Pemohon, persoalan ambang batas tidak hanya terkait dengan eksistensi partai politik karena para Pemohon sebagai warga negara yang akan menerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, dinilai hakim tidak relevan dengan anggapan kerugian konstitusional para pemohon

"Karena norma Pasal 222 UU 7/2017 tersebut sama sekali tidak membatasi atau menghalangi hak para Pemohon untuk memilih atau memberikan suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil presiden," tutur mahkamah.

 

Gugatan Lain yang Juga Ditolak

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memutuskan menolak gugatan terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dalam Undang-Undang Pemilu yang dilayangkan mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo.

Demikian putusan disampaikan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua dalam gugatan bernomor 70/PUU-XIX/2021 yang diajukan Gatot pada sidang Kamis (24/2).

"Mengadili, Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," kata Anwar dalam draft Amar Putusan yang dikutip melalui website MK.

Dalam bagian konklusi, majelis hakim menilai berdasarkan fakta dan hukum gugatan yang diajukan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Karena Gatot selaku pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

"Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo. Namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan," jelasnya.

 

Sudah Tahu

Pasalnya, menurut Mahkamah, Gatot telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024.

"Yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon," katanya.

Persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

"Dengan demikian, selain Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, juga tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional Pemohon sebagai pemilih dalam Pemilu," tuturnya.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya