Liputan6.com, Jakarta - Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan menyatakan bahwa penggunaan gas air mata yang telah kedaluwarsa oleh aparat kepolisian adalah bentuk pelanggaran.
"Tentu itu adalah penyimpangan, tentu itu adalah pelanggaran," kata anggota TGIPF Rhenald Kasali di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (10/10/2022).
Advertisement
Baca Juga
Menurut dia, kepolisian sekarang ini bukan military police alias polisi yang berbasis militer, melainkan civilian police. Oleh karena itu, penggunaan senjata seharusnya untuk melumpuhkan, bukan mematikan.
"Jadi, bukan senjata untuk mematikan, melainkan senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi adalah justru mematikan. Jadi, ini harus diperbaiki," kata Rhenald.
Seperti dilansir Antara, penggunaan gas air mata yang sudah kedaluwarsa merupakan salah satu kecurigaan tim pencari fakta Tragedi Kanjuruhan. Sejumlah barang bukti sudah dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.
Rhenald mengungkapkan bahwa kecurigaan itu terlihat dari kondisi para korban yang matanya mulai menghitam dan memerah.
"Ini sedang dibahas di dalam (tim). Jadi, memang ada korban yang hari itu dia pulang tidak merasakan apa-apa, tetapi besoknya matanya mulai hitam. Setelah itu, matanya menurut dokter perlu waktu sebulan untuk kembali normal. Itu pun kalau bisa normal," ucap Rhenald Kasali.
Sementara itu, Polri membenarkan ada gas air mata kedaluwarsa yang digunakan saat kericuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu 1 Oktober 2022 lalu. Namun, Polri mengklaim bahwa efek yang ditimbulkan dari cairan kimia itu berkurang dibanding yang masih berlaku.
"Ada beberapa yang ditemukan (gas air mata) pada tahun 2021, saya masih belum tahu jumlahnya, tetapi ada beberapa," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Senin.
Polri Klaim Gas Air Mata Tak Mematikan
Meski belum diketahui berapa jumlah gas air mata kedaluwarsa yang digunakan saat kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Dedi memastikan sebagian besar bahan kimia yang juga dikenal dengan istilah chlorobenzalmalononitrile/CS itu adalah gas air mata yang masih berlaku dengan jenis CS warna merah dan biru.
Jenderal polisi bintang dua itu menyebutkan, ada tiga jenis gas air mata yang digunakan oleh personel Brimob di seluruh Indonesia, yakni warna merah, biru, dan hijau. Penggunaannya pun diatur sesuai dengan eskalasi massa dan tingkat kontijensi yang terjadi.
Gas air mata warna hijau yang digunakan pertama berupa smoke (asap), saat ditembakkan terjadi ledakan di udara yang berisi asap putih. Gas air mata kedua berwarna biru untuk menghalau massa bersifat sedang.
"Jadi, kalau klaster dalam jumlah kecil digunakan gas air mata tingkat sedang," katanya.
Gas air mata warna merah, lanjut dia, untuk mengurangi massa dalam jumlah besar.
"Jadi, mengutip kata pakar, semua tingkatan ini, CS atau gas air mata dalam tingkat tertinggi pun tidak ada yang mematikan," ujar Dedi.
Dedi menyebutkan, setiap gas air mata memang mempunyai batas waktu penggunaan. Namun, berbeda dengan kedaluwarsa pada makanan yang menimbulkan jamur dan bakteri hingga bisa mengganggu kesehatan.
Gas air mata yang berbahan dasar kimia, menurut dia, kebalikan dari sifat makanan. Ketika kedaluwarsa, maka kadar kimianya justru berkurang. Hal ini sama dengan efektivitas gas air mata ini ketika ditembakkan tidak bisa lebih efektif lagi.
Advertisement