Sistem Proporsional Terbuka Dianggap Memakan Biaya Mahal, Bisa Memicu Konflik

Jelang Pemilu 2024, suasana kian memanas. Hal ini dipicu oleh wacananya akan diterapkan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Jan 2023, 15:37 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2023, 14:00 WIB
Ilustrasi Pemilu 2019
Badut berbentuk kotak suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), ondel-ondel, dan marching band ikut meramaikan pawai Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Minggu (23/9). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Jelang Pemilu 2024, suasana kian memanas. Hal ini dipicu oleh wacananya akan diterapkan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik.

Ada partai yang mendukung dan banyak juga yang menolak dan memilih diterapkannya sistem proporsional terbuka.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z. Usfunan, mengatakan, sistem yang diterapkan sekarang membuat keresahan sosial, di mana banyak suara tidak sah lantaran sudah apatis dengan calon yang ada.

"Dengan fenomena ini, maka akan memunculkan sikap apatisme masyarakat nantinya dalam memilih pada Pemilu tahun 2024 yang akan datang, karena khawatir sudah menggunakan hak pilih, namun suaranya menjadi suara yang terbuang," kata dia, Rabu (4/1/2023).

Selain itu, menurut dia, ini memakan modal besar, bahkan bisa berunjung konflik, seperti pernah terjadi di Pemilu 2019.

"Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukankah akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat? Sementara saat ini, Indonesia memiliki 514 kabupaten/Kota dan 38 Provinsi, tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya," jelas Jimmy.

Keresahan sosial lainnya akibat sistem proporsional terbuka ini, yaitu banyak lagi calon legislatif yang gagal mengalami depresi, gangguan jiwa, bahkan bunuh diri seperti yang terjadi pada 2019.

“Apalagi besarnya modal yang digunakan, dengan asumsi yang besar menjadi pemenang, sementara caleg yang lain juga berani melakukan adu modal, akibatnya cost politic menjadi makin besar, menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan," kata Jimmy.

Selain itu, masih ada pemilih tak menggunakan rasional dan asal saja lantaran sudah terlalu banyak nama di surat suara.

"Akhirnya melihat pada foto atau karena popular, serta tidak mungkin jika pemilih nantinya bertindak yang mengakibatkan surat suara itu tidak sah," jelas Jimmy.

 

Fraksi DPR Mayoritas Menolak Coblos Partai Saja

8 dari 9 fraksi DPR menyampaikan pernyataan sikap menolak sistem proporsional tertutup yang diwacanakan diterapkan di Pemilu 2024.

Adapun mereka yang menolak yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.

Perwakilan delapan fraksi menandatangai pernyataan sikap pada 2 Januari 2023. Sikap pertama 8 fraksi adalah akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju.

Kedua, meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.

"Ketiga, Mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat Undang-Undang, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara,” kutipan pernyataan sikap 8 fraksi di DPR.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya