Liputan6.com, Jakarta - Pada Selasa pagi 15 Agustus 2023, DKI Jakarta kembali menduduki posisi pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk sedunia. Tingkat polusi udara di Jakarta berada pada level tidak sehat.
Data tersebut diambil berdasarkan parameter kualitas udara IQAir. Dari 109 negara, indeks kualitas udara Jakarta mencapai angka 183 US Air Quality Index (AQI US).
Baca Juga
Presiden Joko Widodo atau Jokowi pun menggelar rapat terbatas pada Senin 14 Agustus 2023 dengan mengumpulkan sejumlah menteri dan kepala daerah untuk membahas kualitas udara di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Advertisement
Tak hanya mendapat perhatian pemerintah, para pakar dan pengamat pun turut menyoroti buruknya polusi udara Jakarta dan sekitarnya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpendapat, work from home (WFH) bukan solusi untuk mengatasi polusi udara di Ibu Kota.
"Mengenai polusi ini konteks jangka pendeknya bukan WFH," kata Trubus, dilansir Antara, Selasa 15 Agustus 2023.
Trubus mencontohkan seperti adanya imbauan penerapan WFH bagi para pekerja pada 5-7 September 2023 bertepatan dengan KTT ke-43 ASEAN.
Menurutnya, seolah WFH seperti obat yang tetiba langsung menyembuhkan suatu masalah. Trubus mengatakan, penerapan WFH untuk mengatasi polusi udara Jakarta jangan sekadar menjadi wacana, melainkan haruus dilakukan evaluasi dan kesinambungan.
Selain itu, Pengamat Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Corie Indria Prasasti menyatakan, udara bersih memainkan peranan kunci dalam menjaga kesehatan serta kesejahteraan manusia dan lingkungannya.
Udara bersih berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih baik. Dengan menghirup udara bersih, manusia akan terhindar dan terlindungi dari berbagai penyakit.
"Udara bersih mengurangi risiko gangguan pernapasan dan penyakit seperti alergi pernapasan, asma, bronkitis, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Udara bersih juga membantu melindungi kesehatan jantung," ucap Corie.
Berikut sederet respons pakar dan pengamat terkait buruknya polusi udara Jakarta dan sekitarnya dihimpun Liputan6.com:
1. Sebut WFH Bukan Solusi untuk Atasi Polusi Udara
Work from Home (WFH) atau bekerja dari rumah disebut sebagai salah satu cara mengatasi polusi udara yang melanda sejumlah kota besar termasuk DKI Jakarta.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpendapat, work from home (WFH) bukan solusi untuk mengatasi polusi udara di Ibu Kota.
"Mengenai polusi ini konteks jangka pendeknya bukan WFH," kata Trubus, dilansir Antara.
Trubus mencontohkan seperti adanya imbauan penerapan WFH bagi para pekerja pada 5-7 September 2023 bertepatan dengan KTT ke-43 ASEAN.
Menurutnya, seolah WFH seperti obat yang tetiba langsung menyembuhkan suatu masalah. Trubus mengatakan, penerapan WFH untuk mengatasi polusi udara jangan sekadar menjadi wacana, melainkan haruus dilakukan evaluasi dan kesinambungan.
Pemerintah perlu merangkul semau pihak, termasuk swasta jika ingin melaksanakan WFH, kata Trubus. Termasuk memberikan kompensasi maupun konsekuensi jika ada pelanggaran.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kata Trubus, sebaiknya mengomptimalkan uji emisi dengan Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 menegnai Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Dikatakannya pula, uji emisi tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh sampai sekarang.
"Terapkan uji emisi. Kalau bisa, keluarkan kebijakan pembatasan usia kendaraan. Akan tetapi, itu juuga butuuh keberanian karena musuhnya pelaku usaha mobil, mobil bekas sama motor bekas," jelasnya mengenai uji emisi sebagai salah satu solusi atasi kualitas udara di kota besar.
Meski demikian, Trubus memahami pergub tersebut bisa bisa optimal lantaran adanya keterbatasan anggaran serta kurangnya edukasi masyarakat mengenai uji emisi.
"Ini sifatnya jangka pendek. Setelah itu, ini kan tergantung pada cuaca juga sehingga orang berpikir bahwa itu sesuatu yang tidak harus dilaksanakan," tutupnya.
Kualitas udara di DKI Jakarta menduduki posisi pertama sebagai kota dengan udara terburuk di dunia pada Minggu (13/8) pagi. Berdasarkan oemantau kualitas udara IQAir, Indeks Kualitas Udara di Jakarta ada pada angka 170 yang berarti tidak sehat dengan polusi udara PM2,5.
Advertisement
2. Berbeda, WFH Jadi Solusi Paling Cepat Atasi Polusi Udara di Jakarta
Berbeda, Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna setuju dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengusulkan hybrid working untuk mengatasi polusi udara di Jakarta.
Sebab, kata Yayat, solusi jangka pendek yang paling efektif adalah memberlakukan Work From Home (WFH) untuk seluruh karyawan di Jakarta.
"Inisiatif presiden bagus itu work from home, kurangi kegiatan di luar saya terasa banget kemarin kegiatan di luar pas dijalan macet ada kebakaran di halte Transjakarta Tendean, itu engap sesak banget artinya orang jangan dipaksa diluar lagi, buruk itu udaranya karena bagaimanapun bagi mereka yang diluar tanpa masker itu lebih parah lagi," kata Yayat di Jakarta, Selasa 15 Agustus 2023.
Menurutnya, udara buruk akan berdampak pada kesehatan masyarakat di masa depan. Paling tidak, kata Yayat, mengurangi kegiatan di luar dapat dicoba selama sepekan ke depan dan dimulai setelah 17 Agustus 2024.
"Kita coba aja lah (WFH) selama seminggu ini ke depan, jadi akan berkurang aktivitasnya polusi udara karena kendaraan, bisa dilakukan," ucapnya.
Selain itu, Yayat mendorong adanya rekayasa cuaca meski biayanya memang tidak sedikit. Menurutnya, rekayasa cuaca bisa mereduksi cuaca agar tidak terlalu kering dan berdebu.
"Kalau yang jangka panjang seperti uji emisi naik transportasi publik itu lagu lama, itu kalau sebatas imbauan-imbauan banyak nggak efektifnya karena banyak masyarakat yang rumahnya jauh jauh, angkutan umumnya belum terintegrasi, itu masih jauh," kata dia.
"Paling dekat itu saja kurangi bekerja ke kantor yang terlalu jauh di perjalanan," ujar Yayat.
Solusi lainnya, Yayat mengusulkan dibuat rambu-rambu monitor cuaca. Di situ bisa dibuat informasi jika cuaca sedang buruk maka masyarakat diimbau tidak melakukan aktivitas di luar.
"Buat posko-posko atau rambu rambu monitor cuaca, itu kan tidak ada tidak ada ini titik-titik, dulu ada beberapa parameter cuaca Jakarta kondisnya berapa, nanti ada tulisan dibawah sebaiknya tidak keluar rumah, tidak melakukan aktivitas diluar," ucapnya.
"Itu gak ada informasi seperti itu di tiap lima wilayah Jakarta maupun Tangerang sama Tangerang Selatan," ujar Yayat.
Menurutnya, hampir 3 juta mobilitas orang keluar masuk Jakarta. Ditambah, ada belasan juta kendaraan bermotor dan mobil yang lalu lalang di Jabodetabek.
"Alam itu nggak mau tau dia kalau udah buruk, tinggal bagaimana manusianya menyikapi itu," pungkasnya.
3. Minta Pemerintah Tekan Polusi Udara Jakarta dengan Optimal Gelar Uji Emisi
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, sistem bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) tak tepat menjadi solusi jangka pendek guna mengatasi polusi udara di DKI Jakarta.
Menurut Trubus, pemerintah DKI Jakarta mestinya mengoptimalkan uji emisi kendaraan bermotor yang termaktub dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.
"Itu sudah mengatur semua tinggal diterapkan. Selama ini kan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh, akibatnya persoalan polusi muncul seolah-olah ada kebakaran jenggot," kata Trubus saat dikonfirmasi.
Trubus memandang, WFH tidak mampu memberikan pengaruh jangka panjang pengentasan pencemaran udara di Jakarta. Sebab, kata dia masyarakat bakal tetap menjalankan mobilitas seperti biasa.
"Dulu masyarakat mau karena ada Pandemi Covid. Sekarang dengan kondisi new normal dan betu-betul normal, sudah tidak ada masyarakat yang mau (WFH), perusahaan swasta juga nggak ada yang mau (WFH)," jelas Trubus.
Terlebih, kata Trubus pemerintah harus memberikan kompensasi ke perusahaan swasta, jika ingin swasta terlibat menerapkan WFH.
Oleh sebab itu, Trubus meyebut uji emisi kendaraan bermotor sebagai langkah tepat menekan polusi udara di Ibu Kota. Selain itu, Trubus juga menyarankan pemerintah mengambil langkah berani lainnya, semisal mengeluarkan kebijakan pembatasan usia kendaraan sebagai upaya serius mengatasi polusi.
"Kalau memang sumber utamanya dari transportasi itu uji emisi dan kalau bisa keluarkan kebijakan pembatasan usia kendaraan, tapi itu juga butuh keberanian karena musuhnya pelaku usaha mobil, mobil bekas sama motor bekas marah semua," jelas dia.
Advertisement
4. Tegaskan Polusi Udara Jakarta Harus Dilihat dalam Tataran Kronis
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai, pemerintah harusnya memandang persoalan polusi udara di Jakarta dalam tataran kronis. Sebab, kata dia masalah buruknya polusi udara Jakarta tak ada perubahan dari tahun ke tahun.
"Persoalan polusi ini baru (dilihat) pada tataran kausalitas, tidak pada dalam tataran kronis. Harusnya kan ini kronis karena tiap tahun berulang seperti itu," kata Trubus.
Oleh sebab itu, menurut Trubus adanya rekomendasi agar masyarakat pakai masker saat berada di luar ruangan karena indeks kualitas udara yang tidak sehat sebagai hal wajar.
"Kemudian kewajiban pakai masker itu konteks publik health, itu bagus karena untuk pencegahan dari diri sendiri," kata Trubus.
Trubus mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersinergi mengoptimalkan sejumlah langkah-langkah pengendalian pencemaran lingkungan. Sehingga, kata dia polusi tidak semakin parah.
Menurut Trubus, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mestinya mengoptimalkan uji emisi kendaraan bermotor yang diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.
"Itu sudah mengatur semua tinggal diterapkan. Selama ini kan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh, akibatnya persoalan polusi muncul seolah-olah ada kebakaran jenggot," ujarnya.
Selain itu, Trubus juga menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta mengendalikan penggunaan listrik di industri-industri batubara penyumbang polusi udara. Dia juga merekomendasikan pemerintah mengkaji penggunaan listrik tenaga nuklir di sektor industri.
"Batubara itu menimbulkan polusi yang sekarang terjadi, tapi satu sisi kita kalau mau nutup itu gak bisa. Kalau mau sebenernya kita pakai nuklir," ucap Trubus.
5. Tips Lindungi Diri Tetap Sehat di Tengah Polusi Udara yang Memburuk
Pengamat Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Corie Indria Prasasti menyataan, udara bersih memainkan peranan kunci dalam menjaga kesehatan serta kesejahteraan manusia dan lingkungannya.
Udara bersih berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih baik. Dengan menghirup udara bersih, manusia akan terhindar dan terlindungi dari berbagai penyakit.
“Udara bersih mengurangi risiko gangguan pernapasan dan penyakit seperti alergi pernapasan, asma, bronkitis, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Udara bersih juga membantu melindungi kesehatan jantung," ucapnya.
"Mengingat, polutan udara dapat menyebabkan peradangan dalam tubuh, memperburuk penyakit jantung, dan meningkatkan risiko serangan jantung,” terangnya.
Tak hanya itu, Corie menambahkan bahwa ketersediaan udara bersih juga penting bagi tumbuh kembang anak. Terlebih lagi, anak-anak dan bayi rentan terhadap efek buruk polusi udara karena sistem pernapasan dan pertumbuhan mereka masih berkembang.
Lebih lanjut, Corie mengungkapkan bahwa buruknya kondisi udara dapat berdampak pada kesehatan manusia maupun lingkungan.
“Terhadap kesehatan manusia, pajanan udara buruk yang mengandung polutan seperti partikel halus (PM 2.5), ozon. NO2, Hidrokarbon, CO2 dapat menyebabkan gangguan pernapasan, iritasi mata dan tenggorokan, serta memperburuk alergi pernapasan, asma, dan penyakit jantung,” ujarnya.
Bagi lingkungan, kualitas udara yang buruk dapat berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Selain itu, udara buruk juga dapat merusak tanaman dan mengganggu kelangsungan hidup hewan, memicu proses erosi dan degradasi, menyebabkan penurunan kualitas air dan tanah yang berdampak negatif pada ekosistem perairan.
Sebagai bentuk antisipasi, Corie membagikan beberapa tips untuk melindungi agar tetap sehat di tengah kondisi udara yang memburuk.
Menurut Corie, langkah penting yang harus dilakukan adalah melakukan pemantauan kualitas udara di lingkungan sekitar. Jika terpaksa melakukan aktivitas di luar saat kualitas udara buruk, maka menggunakan masker adalah suatu kewajiban.
“Melakukan pengecekan indeks kualitas udara yang tersedia di wilayah terdekat untuk mengetahui seberapa buruk kondisi udara di daerah Anda," ucapnya.
"Jika harus beraktivitas di luar saat kualitas udara buruk, wajib menggunakan masker yang dirancang khusus untuk melindungi pernapasan dari partikel halus,” jelasnya.
Selain itu, ia juga memberi imbauan untuk tetap menjaga kebersihan udara dalam rumah, menggunakan pembersih udara dalam ruangan, mengonsumsi air yang cukup, mengonsumsi makanan mengandung antioksidan, mengurangi paparan asap rokok, serta menghindari lokasi dengan polusi udara tinggi.
Semua hal tersebut sebagai upaya mengurangi pajanan polutan yang masuk ke dalam tubuh dan meningkatkan imunitas tubuh agar tidak mudah terserang penyakit.
(Rahma Vania Indriani Putri)
Advertisement