Aturan soal Presiden dan Pejabat Negara Boleh Berpihak dan Kampanye di Pemilu Digugat ke MK

Aturan tersebut berada di pasal 299 ayat 1 Undang-Undang Pemilu yang mengatur ketentuan Presiden dan Wakil Presiden boleh berkampanye. Gugatan itu dilayangkan oleh seorang advokat bernama Gugum Ridho Putra.

oleh Nila Chrisna YulikaTim News diperbarui 25 Jan 2024, 17:41 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2024, 17:09 WIB
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK)
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6/Putu Merta)

Liputan6.com, Jakarta - Aturan soal presiden dan wakil presiden boleh memihak dan berkampanye saat pemilu dalam Undang-Undang Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Aturan tersebut berada di pasal 299 ayat 1 Undang-Undang Pemilu yang mengatur ketentuan Presiden dan Wakil Presiden boleh berkampanye. Gugatan itu dilayangkan oleh seorang advokat bernama Gugum Ridho Putra dengan momor gugatan 166/PUU-XXI/2023.

Dilihat dari situs MK RI pada Kamis (25/1/2024), dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 3, Pasal 274 ayat (1), Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 286 ayat (1), Pasal 286 ayat (2), Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

Pada satu petitumnya, Pemohon meminta di Pasal 299 ayat 1 diubah menjadi berbunyi:

"Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye sepanjang tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak jabatan masing-masing,".

Kuasa hukum Pemohon, M. Iqbal Sumarlan Putra mengatakan, pemohon mengajukan tiga pokok pengujian atas ketentuan-ketentuan UU Pemilu yakni mengenai ketiadaan larangan mengikuti kampanye bagi jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang memiliki hubungan keluarga/semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan peserta pemilu.

Kemudian, ketiadaan larangan dan sanksi bagi Pihak Lain di luar Peserta Pemilu, pelaksana dan tim kampanye untuk memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara dan/atau Pemilih yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM); serta ketiadaan larangan bagi Peserta Pemilu untuk menggunakan citra diri berupa foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar dan suara yang dipoles dan dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi digital ataupun teknologi artificial intelligence (AI) seolah-olah sebagai citra diri yang otentik.

"Menurut Pemohon, dari tiga pokok pengujian itu, semuanya tidak hanya bersinggungan dengan penyelenggaraan pemilu yang bebas, jujur, dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) dan 28F UUD 1945, tetapi juga bersinggungan secara langsung dengan etika pejabat publik atau penyelenggara negara ketika dihadapkan dengan kontestasi pemilu," kata Iqbal dilihat dari situs MK, Kamis, (25/1/2024).

Diketahui, Pasal 299 Ayat 1 UU Pemilu secara tegas menyatakan: 'Presiden dan wakil presiden mempunyai hak untuk melaksanakan kampanye'.

UU Pemilu mengatur bahwa beberapa pejabat negara dibolehkan berkampanye dan itu termuat di Pasal 299 UU Pemilu.

Dalam Pasal 299 ayat (1) tertulis, "Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye".

Pasal itu juga menyatakan bahwa pejabat negara yang merupakan kader partai politik (parpol) diizinkan untuk berkampanye.

Pejabat negara non-parpol juga bisa berkampanye jika sebagai capres-cawapres dan selama didaftarkan sebagai anggota tim kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Istana Luruskan Pernyataan Jokowi soal Presiden Boleh Kampanye

Presiden Joko Widodo atau Jokowi makan siang bersama dengan bakal capres Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto di Istana, Senin (30/10/2023).
Presiden Joko Widodo atau Jokowi makan siang bersama dengan bakal capres Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto di Istana, Senin (30/10/2023). (Instagram Anies Baswedan)

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana meluruskan pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi soal presiden hingga menteri boleh kampanye dan memihak. Pernyataan Jokowi tersebut dinilai banyak disalahartikan oleh sejumlah pihak.

"Pernyataan Bapak Presiden di Halim, Rabu 24/01/2024, telah banyak disalahartikan. Apa yang disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang Menteri yang ikut tim sukses," kata Ari kepada wartawan, Kamis (25/1/2024).

Dalam merespon pertanyaan itu, kata dia, Jokowi memberikan penjelasan terutama terkait aturan main dalam berdemokrasi bagi menteri maupun presiden. Sebagaimana diatur dalam pasal 281 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Jokowi memandang bahwa Kampanye Pemilu boleh mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan juga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

"Artinya, Presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam UU," ujar Ari.

Kendati begitu, dia menyadari ada syaratnya apabila Presiden ikut berkampanye. Pertama, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku.

"Dan kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara," tutur dia.

Ari mengatakan Undang-Undang menjamin hak Presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau Pasangan Calon tertentu. Tentunya, hal ini harus berdasarkan aturan yang ditetapkan.

"Dengan diijinkannya Presiden untuk berkampanye, artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak Presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau Pasangan Calon tertentu sebagai peserta Pemilu yang dikampanyekan,  dengan tetap mengikuti pagar-pagar yang telah diatur dalam UU," jelas Ari.

 

Bukan Hal Baru

Menurut dia, pernyataan Jokowi bukan hal yang baru sebab aturan terkait hal ini sudah ada di UU Pemilu. Ari mencontohkan Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono juga memiliki preferensi politik serta ikut berkampanye memenangkan partai yang didukungnya.

"Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yamg didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," pungkas Ari.

Selain itu, lanjut Ari, Jokowi juga menegaskan bahwa semua pejabat publik/pejabat politik harus berpegang pada aturan main apabila berkampanye.

"Kalau aturan memperbolehkan, silakan dijalankan. Kalau aturan melarang maka tidak boleh dilakukan. Itu artinya, Presiden menegaskan kembali  bahwa setiap pejabat publik/pejabat politik harus mengikuti/ patuh pada aturan main dalan berdemokrasi," ucap Ari.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, tidak ada aturan yang melarang pejabat negara untuk memihak dan berkampanye mendukung salah satu pasangan calon tertentu di Pemilu 2024.

Hal itu dia sampaikan saat menanggapi pernyataan Menko Polhukam Mahfud Md soal banyaknya menteri di kabinet Jokowi yang secara terang mendukung kandidat tertentu meski bukan bagian dari tim sukses.

"Itu hak demokrasi setiap orang, setiap menteri sama saja, presiden itu boleh loh kampanye, presiden boleh loh memihak!," kata Jokowi di Halim Perdanakusuma Jakarta, Rabu (24/1/2024).

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra/Merdeka

Infografis Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya