Liputan6.com, Jakarta - Misteri keberadaan pagar laut yang membentang sejauh 30,16 kilometer di wilayah pesisir Tangerang kini tengah menjadi sorotan. Keberadaan pagar bambu yang diduga dipasang tanpa izin ini menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap ekosistem laut serta kehidupan nelayan setempat.
Pagar tersebut pertama kali terdeteksi pada Agustus 2024 dengan panjang awal sekitar 7 kilometer. Meski telah mendapat peringatan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pemasangan pagar terus berlanjut hingga panjangnya mencapai lebih dari 30 kilometer dalam kurun waktu lima bulan.
Advertisement
Baca Juga
Selain di pesisir Tangerang, fenomena pagar laut juga tertedeksi di wilayah pesisir Bekasi. Hal ini kembali viral di platform Twitter atau X. Salah satu video menunjukkan pagar laut di Bekasi nampak sudah diurug dan tampak membentang cukup panjang di perairan Bekasi, tepatnya di wilayah Tarumajaya.
Advertisement
Terkait hal ini, Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menilai, keberadaan pagar laut tersebut buntut adanya ketidakpastian hukum di dunia maritim Indonesia. Ia menyebut saat ini ada 24 aturan yang tumpang tindih sehingga menyebabkan aparat penagak hukum bisa mudah menggunakan aturan.
"Contoh kecilnya saja, kejadian pagar laut di Tangerang ini yang aktif melakukan kegiatan penegakan hukumnya adalah Kementerian Pelautan dan Perikanan (KPP). Padahal kita sama tahu undang-undang yang digunakan adalah Undang 32 tahun 2014 tentang pelautan dan perikanan, di mana undang-undang itu tentunya mengatur isi laut sendiri. Sedangkan permukaan laut ke atas itu harusnya mengacu ke Undang-undang yang lainnya, dan ada aparat penagak hukum yang lain yang memiliki wewenang di sana, contohnya ada Bakamla dan Polairut," ujar Capt. Hakeng kepada Liputan6.com, Rabu (15/1/2025).
Capt. Hakeng menilai bahwa kasus ini bisa mengarah pada dua kemungkinan yakni, masuk ranah perdata dan pidana. "Kalau dalam ranah perdata, pembuat pagar laut wajib mencabut atau merombak struktur tersebut jika memang tidak mengetahui bahwa tindakannya melanggar aturan. Namun, jika dia mengetahui hal tersebut dan tetap melakukannya, maka aspek pidana bisa diterapkan," tegasnya.
Di sisi lain, Capt. Hakeng juga memaparkan dampak dari pemasangan pagar laut bagi nelayan dan ekosistem sekitar. Menurutnya, jika pagar laut dibuat dari bambu, struktur tersebut bersifat sementara dan mudah rusak akibat air laut dalam jangka waktu enam bulan hingga satu tahun.
"Namun, jika pagar tersebut nantinya diperkuat dengan semen sebagai penahan ombak, dampaknya akan jauh lebih besar," ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa dampak utama yang dirasakan adalah nelayan lokal yang harus melaut dengan jarak dan waktu tempuh lebih jauh. Selain itu, ekosistem pantai di balik pagar laut akan terganggu akibat terputusnya aliran air laut yang biasanya membawa makanan dan sedimen.
"Dengan adanya pagar laut, sedimen yang sebelumnya terbawa ke laut lepas akan tertahan, menyebabkan penumpukan dan pendangkalan lebih cepat di wilayah tersebut. Hal ini akan merugikan nelayan karena tempat penambatan kapal mereka menjadi dangkal dan tidak bisa digunakan lagi," ujarnya.
Untuk itu, ia menegaskan pentingnya ketegasan dari pemerintah agar mengusut dalang di balik pemasangan pagar laut ini. "Saya mendorong pemerintah untuk menunjukkan wibawanya sebagai pelaku pemerintahan di negara ini. Kita adalah negara hukum. Jika hal ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi daerah lain yang mungkin akan meniru langkah serupa," katanya.
Ia menyarankan agar pemerintah memberikan batas waktu 20 hari untuk pembongkaran pagar laut tersebut. Jika tidak ada pihak yang membongkar, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas dengan melakukan pembongkaran.
"Perkara siapa yang akan menanggung biaya pembongkaran, itu bisa diselidiki lebih lanjut oleh kepolisian. Namun, langkah utama yang harus diambil adalah memastikan bahwa jika pagar laut itu ilegal, maka harus dibongkar," pungkasnya.
Ketidaktransparan Pemerintah Daerah
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, mengkritik ketidaktransparanan pemerintah daerah dalam menangani isu pagar laut di Tangerang dan Bekasi. Menurut Trubus, baik pemerintah daerah, pusat dan kelompok nelayan seharusnya memiliki komunikasi yang baik, namun kenyataannya justru sebaliknya.
"Kalau saya sih sebenarnya peran pemerintah daerah yang menurut saya tidak transparan. Di Bekasi, Pemprov sudah mengatakan itu legal, tapi kan pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mengaku belum mengetahui. Kemudian kelompok nelayan juga mengaku ada yang tahu dan ada yang tidak tahu. Jadi menurut saya, tiga pihak ini seharusnya memiliki komunikasi publik yang baik, tapi seperti tidak ada," kata Trubus kepada Liputan6.com, Rabu (15/1/2025).
Dia pun mencurigai adanya permainan di balik pengadaan pagar laut tersebut. "Sepertinya mereka saling menutupi, dan saya mencurigai ini seperti ada permainan bahwa itu ada izin, tapi kok tidak diketahui. Karena seharusnya kalau memang ada izin, mestinya sampai ke tingkat kelurahan, RT, dan RW tahu terkait pagar itu saat pembuatannya. Apalagi ini 30 km di Tangerang," ujarnya.
Trubus juga menyoroti kemungkinan adanya praktik korup dalam pengadaan pagar laut ini. Ia menilai birokrasi di Indonesia yang masih korup menjadi celah terjadinya pelanggaran tersebut.
"Ya ini kan ada pergantian pimpinan nasional. Awalnya Presiden Jokowi mungkin sudah ada perjanjian, tapi satu pemerintahan baru, perangkat baru, dan yang melakukan pelanggaran ini mungkin menerima sesuatu. Budaya kita ini kan birokrasinya birokrasi korup, jadi mereka mungkin menerima sesuatu dan mereka saling bersembunyi, sehingga saling menutupi. Dilempar ke sana tidak tahu, ke sini tidak tahu. Jadi ini sepertinya mau diarahkan ke oknum, karena polanya biasa seperti itu," jelas Trubus.
Ia menambahkan, pejabat yang saat ini menjabat pun seharusnya mengetahui persoalan ini. Namun, karena ingin menjaga citra diri, mereka memilih untuk tidak bertanggung jawab. "Saya juga mencurigai yang duduk menjabat sekarang seharusnya juga tahu, tapi karena dia mau membersihkan dirinya sendiri, dia mengatakan tidak tahu dan seperti tidak mau bertanggung jawab. Padahal siapa pun rezim yang memerintah, harus bisa bertanggung jawab," katanya.
Trubus menegaskan bahwa aparat penegak hukum (APH) harus bertindak proaktif terkait permasalahan ini, dan harus segera menyelidiki dugaan pidana dan legalitas pagar laut.
"Iya, saya kira itu tugasnya aparat penegak hukum. Karena kan laut itu barang publik, jadi APH harus proaktif, tidak harus menunggu laporan. Harus bertindak melakukan investigasi. Jadi, laporan aduan itu kalau sifatnya personal, ini bukan personal. Ini barang publik. Misalkan kapan Monas dirusak orang, itu tidak usah menunggu laporan, langsung ditelusuri, karena Monas adalah milik bersama," tegasnya
"Sama dengan pagar laut ini, APH juga harus langsung bertindak. Tapi saya lihat APH tidak proaktif, tidak melakukan investigasi. Harusnya mereka bisa melakukan investigasi terhadap pihak yang patut diduga dan dicurigai," sambungnya.
Adapun terkait klaim dari kelompok sipil yang menyatakan bahwa pagar laut tersebut adalah milik mereka, Trubus memandang hal ini sebagai upaya permainan untuk menutupi pelanggaran hukum.
"Saya kira itu bisa saja. Itu kan permainan argumen atau alibi, jadi itu hanya menutupi perbuatan dari pelanggaran hukum. Karena saya kira itu kaitannya dengan pidana," ujarnya.
Di sisi lain, Trubus turut menyoroti dampak ekonomi yang dirasakan oleh nelayan akibat keberadaan pagar laut tersebut. Menurutnya, nelayan mengalami kerugian yang signifikan dan seharusnya mendapat kompensasi.
"Artinya, ada kerugian yang diderita oleh nelayan. Makanya dalam investigasi nanti harus dijelaskan kerugiannya apa. Misalkan, dalam 10 hari mereka biasanya dapat 10 karung, tapi karena ada pagar laut, jadi cuma dapat dua karung. Itu kan rugi. Sehingga seharusnya ada kompensasi terhadap mereka," pungkas Trubus.
Pentingnya Kejelasan Regulasi
Adapun Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Lampung (Unila), Dedy Hermawan, menyoroti pentingnya kejelasan regulasi dalam pemanfaatan wilayah pesisir. Hal ini terkait dengan isu pemasangan pagar laut di sejumlah wilayah pesisir yang diduga dilakukan tanpa izin. Menurut Dedy, seluruh wilayah negara, termasuk pantai dan laut, harus berada di bawah kendali hukum yang jelas dan tunduk pada aturan yang berlaku.
"Sebenarnya seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu dipertegas dengan regulasi. Wilayah Indonesia, termasuk pantai dan laut, itu diatur dalam hukum mana yang menjadi wilayah privat dan mana yang publik. Jadi, setiap tindakan di area milik negara mesti ada aturannya," kata Dedy kepada Liputan6.com, Rabu (15/1/2025).
Dalam pandangannya, pemasangan pagar di wilayah pesisir harus memperjelas status kepemilikannya. Apakah wilayah tersebut merupakan area privat atau publik. Jika masuk dalam kategori wilayah publik, maka sudah seharusnya tunduk pada regulasi yang telah ditetapkan pemerintah.
"Kalau di area pantai yang dipagari itu adalah wilayah publik, pasti ada aturannya. Harus ada otoritas yang mengawasi dan mengatur tindakan tersebut," imbuhnya.
Dedy juga menyoroti indikasi bahwa pagar laut tersebut dibangun tanpa izin resmi dari pemerintah. Hal ini terlihat dari respons pemerintah yang terkesan terkejut dengan keberadaan pagar tersebut.
"Kalau pemerintah sendiri terkejut, itu berarti tindakan itu tidak terpantau atau mungkin sengaja diabaikan. Saya menduga ini merupakan kerja-kerja sistematis yang bersifat tersembunyi. Bisa jadi ada pihak yang membackup tindakan tersebut, sementara di lapangan ada operator yang menjalankan," kata Dedy.
Terkait risiko hukum yang bisa dikenakan kepada pihak yang memasang pagar tanpa izin, Dedy menjelaskan bahwa peraturan mengenai tata ruang dan pemanfaatan wilayah pesisir telah banyak diatur.
"Pertama kalau itu di domain publik, domain negara, ada aturannya kayak RT/RW, rencana tata ruang, itu ada peruntukannya. Jadi ada semua pasal-pasalnya yang mengatur, termasuk mana kawasan yang boleh dibangun mana yang tidak boleh perizinannya diatur dan sebagainya gitu, termasuk sanksinya," jelasnya.
Lebih lanjut, Dedy mengakui bahwa salah satu penyebab terjadinya pelanggaran di wilayah pesisir adalah keterbatasan pengawasan pemerintah. Menurutnya, pemerintah belum maksimal dalam mengontrol dan memonitor seluruh aset negara, termasuk wilayah pesisir yang sangat luas.
"Banyak aset-aset negara yang terbengkalai dan dimanfaatkan oleh pihak lain. Bahkan ada aset yang dikuasai masyarakat karena pengelolaannya tidak jelas. Ini bukan hal baru. Kita bisa lihat di banyak daerah, ada aset yang dimanfaatkan tanpa izin karena pemerintah sendiri lalai dalam pengawasan," kata Dedy.
Ia mencontohkan berbagai kasus pelanggaran lainnya, seperti perdagangan manusia, penyelundupan narkoba, hingga terorisme yang masih terjadi akibat lemahnya pengawasan di wilayah perbatasan dan pesisir.
Dedy menegaskan bahwa pemerintah harus menemukan cara yang efektif untuk mengawasi wilayah pesisir. Penggunaan teknologi, pelibatan masyarakat, serta pemanfaatan sumber daya yang ada menjadi kunci utama dalam mengatasi permasalahan ini.
"Dengan dukungan sumber daya, finansial, dan teknologi yang memadai, saya pikir pengawasan bisa dilakukan dengan lebih efektif," ujar Dedy.
Ia menekankan bahwa tanpa komitmen politik yang kuat, permasalahan seperti pemasangan pagar laut ilegal, perdagangan manusia, dan kejahatan lintas negara akan terus terjadi.
"Kenapa masih ada human trafficking, kejahatan narkoba lintas negara, atau terorisme? Karena banyak area yang tidak termonitor ya karena keterbatasan pemerintah," pungkas Dedy.
Advertisement
Cari Dalang Pembuat Pagar Laut
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pihaknya telah memerintahkan Komisi Teknis untuk mengecek langsung ke lokasi pemagaran laut yang berada di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten. Pengecekan ini sekaligus untuk mencari tahu dalang di balik pembangunan pagar laut sepanjang 30 km tersebut.
"Kita ingin tahu siapa yang ada di balik itu, nah kalau nanti sesudah masa sidang itu mungkin kita akan kirim komisi teknis untuk turun ke lapangan," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip Rabu (15/1/2025).
Ketua Harian DPP Partai Gerindra ini mengaku, pihaknya berhati-hati dalam menanggapi polemik tersebut. "Karena ini kan ada banyak pihak yang mengaku, yang bertanggung jawab gitu, ada nelayan, ada kelompok masyarakat. Nah sehingga kalau tadi mau dipanggil, kita takut salah panggil," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dapil Banten, Ali Alwi menilai keberadaan pagar laut di wilayah pesisir utara Tangerang mencerminkan sikap serakah dari pihak-pihak yang melakukannya.
"Tanya sama anggota DPD Banten, pemagaran laut itu kerjaan orang yang serakah, itu aja sudah jawabannya," kata Ali di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Rabu (15/1/2025).
Ia menjelaskan bahwa orang yang serakah kerap memulai penguasaan fisik dengan langkah-langkah awal yang sederhana sebelum akhirnya memperluasnya.
"Jadi kalau orang serakah itu dia bagaimana penguasaan fisik itu dilakukan dulu. Awalnya pagarnya pagar bambu, tapi liat nanti sebentar lagi jadi pagar beton," lanjutnya.
Ali pun menegaskan bahwa pemerintah pusat harus mengambil langkah tegas. Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab negara sebagaimana diatur dalam konstitusi.
"Itu pemerintah pusat harus bersikap walaupun bagaimana ini adalah di Pasal 33 itu air tanah itu semua adalah tanggungjawab negara untuk kemaslahatan masyarakat, itu aja penerapan Pasal 33 aja," ujarnya.
Adapun Anggota DPD RI yang lain, yakni Alfiansyah Bustami alias Komeng ikut bersuara soal keberadaan pagar laut di wilayah pesisir utara Tangerang. Namun, Komeng menjawab dengan jawaban nyeleneh.
Ia menyarankan agar pembuat pagar laut itu bekerjasama dengan perusahaan teralis.
"Itu harusnya ada kerja sama dengan perusahaan teralis. Jadi enak semuanya kerja," kata Komeng, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/1/2025).
"Yang mager dapet duit, yang dipager juga dapet duit," ujar Komeng sambil tertawa.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bakal memburu pelaku pemagaran laut di Kabupaten Tangerang. KKP juga sudah menyegel pagar laut yang dipasang ilegal tersebut.
Dia telah mengirim Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pung Nugroho Saksono untuk meninjau langsung ke lokasi. Alhasil, didapat kalau lokasi itu belum memiliki izin.
"Kami menurunkan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan untuk melihat apa yang terjadi, apakah ada izin, atau siapa yang memasang, dan sebagainya. Tapi yang pasti, tidak ada," kata Trenggono dalam pernyataan resminya di akun Instagram @kkpgoid, dikutip Sabtu (11/1/2025).
Tak adanya izin tadi menjadi landasan KKP untuk melakukan penyegelan. Ini jadi prosedur yang sudah ditetapkannya.
"Karena kalau ada izinnya, itu dipasang di situ, bahwa dia telah mendapatkan izin KKPRL, dan dipasang di situ. Dan itu karena tidak ada, langsung dilakukan tindakan penyegelan. Dan itu memang sesuai dengan prosedur kami," tegas dia.
Langkah selanjutnya, Trenggono akan memburu para pelaku yang memasang pagar laut tersebut. Dia akan meminta pertanggungjawaban dari para pelaku.
"Nah selanjutnya nanti tentu, kita akan melakukan penurusuran. Kira-kira siapa yang memasang, lalu miliknya siapa, tujuannya apa, dan seterusnya," ucapnya.
"Karena seluruh kegiatan pembangunan di ruang laut, itu sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja, memang harus mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan," sambung Trenggono.
Pemda Bertanggung Jawab atas Pengawasan
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Humas dan Komunikasi Publik, Doni Ismanto, menegaskan bahwa pengawasan wilayah pesisir, termasuk ruang laut hingga 12 mil, merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
"Wilayah pesisir seharusnya mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah daerah. Sesuai undang-undang, pengawasan sumber daya kelautan hingga 12 mil ada di pemda," ujar Doni di Jakarta, Selasa (14/1/2025).
Ia menambahkan bahwa Dinas Kelautan dan Perikanan di setiap daerah memiliki kewenangan penting dalam pengawasan ini. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan untuk memastikan pengelolaan ruang laut berjalan sesuai regulasi.
KKP telah bersurat kepada pemilik pagar laut di pesisir Kabupaten Bekasi. Berdasarkan temuan awal, pagar tersebut diduga melanggar izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
"Kami telah mengidentifikasi pemilik pagar laut di Bekasi. Dalam waktu dekat, tindakan konkret, termasuk penyegelan, akan dilakukan jika terbukti melanggar aturan," tegas Doni.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, berkomitmen pada prinsip pengelolaan ruang laut yang mengutamakan aspek ekologi. Jika terjadi pelanggaran, sanksi tegas akan diberikan.
Doni mengingatkan bahwa penegakan hukum terhadap pelanggaran di ruang laut harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat KKP sering berhadapan dengan perusahaan besar atau warga lokal yang kurang memahami aturan.
"Proses seperti ini tidak bisa gegabah. Kadang kita berhadapan dengan perusahaan besar, kadang dengan warga yang tidak paham aturan," ungkapnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Ruang Universitas Padjadjaran, Maret Priyanta mengatakan Pemprov Banten punya wewenang pengawasan di wilayah administrasinya. Dia juga menilai pemerintah harusnya mengetahui tujuan pembangunan pagar tersebut.
“Dalam hal lokasi pemagaran laut berada pada wilayah perairan, dasar hukum pemanfaatannya telah diatur dalam RTRW Provinsi Banten," kata Maret dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Senin (13/1/2025).
Mengacu Perda 1 Tahun 2023 tentang RT RW Provinsi Banten, perairan sepanjang 30,16 kilometer yang dipagar masuk di ruang laut dengan peruntukan sebagai zona perikanan tangkap, zona pelabuhan, dan rencana waduk lepas pantai.
Maret bilang, ketika ada pemagaran, Pemda seharusnya yang mengetahui terlebih dahulu tujuan pembangunan, apakah sesuai aturan RTRW yang sudah dibuat atau tidak. Apalagi lokasi pagar laut berada di bawah 12 mil laut yang pengaturan RTRW-nya menjadi kewenangan pemerintah daerah.
"Maka pemerintah daerah Provinsi Banten seharusnya dapat lebih berperan aktif dalam upaya pengawasan pada wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan wilayah administratif daratnya,” ujar dia.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang, seluruh kegiatan pemanfaatan di ruang laut harus sesuai dan didasarkan pada peruntukan yang sudah diatur oleh RTRW Provinsi Banten.
Adapun setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang laut wajib memilki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Maret menilai, penyegelan pembangunan ilegal yang dilakukan KKP sudah sesuai.
“KKP memiliki kewenangan dan tanggung jawab termasuk pengawasan pada seluruh kegiatan yang berada ruang laut, sehingga langkah yang diambil saat ini sudah tepat,” ungkapnya.
Advertisement
KKP Bakal Segel Pagar Laut Bekasi Jika Tak Berizin
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho Saksono menjelaskanm KKP akan menyegel pagar laut di perairan Bekasi, bila tidak memiliki izin dasar berupa persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL).
"Jika tidak ada izin PKKPRL, (pagar di laut) tetap disegel," ujarnya dikutip dari Antara, Selasa (14/1/2025).
Ipunk, sapaan akrab Pung, mengaku bahwa KKP akan segera melakukan peninjauan ke lapangan, guna mengecek informasi pemagaran di wilayah perairan Bekasi itu.
Meski begitu, ia belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai adanya pemagaran di perairan Bekasi tersebut, namun pihaknya menegaskan bila tidak memiliki PKKPRL, maka KKP siap melakukan penyegelan.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah resmi menyegel pagar laut sepanjang 30,16 kilometer (km) di pesisir Kabupaten Tangerang. Lantaran, pemagaran laut ini juga sudah melanggar pengelolaan ruang laut.
Kegiatan pemagaran dihentikan lantaran diduga tidak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Berikutnya, pagar laut berada di dalam Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi yang menimbulkan kerugian bagi nelayan dan berpotensi merusak ekosistem pesisir.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Pung Nugroho Saksono yang terjun langsung dalam aksi penghentian ini. Dia mengatakan langkah ini merupakan sikap tegas KKP dalam merespons aduan nelayan setempat serta menegakkan aturan yang berlaku terkait tata ruang laut.
"Saat ini kita hentikan kegiatan pemagaran sambil terus dalami siapa pelaku yang bertanggung jawab atas kegiatan ini,” tegas Pung Nugroho dalam keterangannya, Jumat (10/1/2025).
Pung menjelaskan, sebelumnya, tim gabungan Polisi Khusus (Polsus) Kelautan Ditjen PSDKP serta Dinas Kelautan dan Perikanan Banten telah melakukan investigasi di desa dan kecamatan sekitar lokasi pemagaran laut pada September 2024.
Dari hasil investigasi dan Pengambilan foto udara pagar laut dimulai dari Desa Margamulya sampai dengan Desa Ketapang. Kemudian Desa Patra Manggala sampai dengan Desa Ketapang. Diketahui konstruksi bahan dasar pemagaran merupakan cerucuk bambu.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono mengarahkan segala kegiatan pemanfaatan ruang laut yang tidak memiliki izin dasar dan berpotensi merusak keanekaragaman hayati serta menyebabkan perubahan fungsi ruang laut seperti pemagaran laut ini untuk segera dihentikan.
Sebab tidak sesuai dengan praktek internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) dan mampu mengancam keberlanjutan ekologi.
Infografis Misteri Pagar Laut di Tangerang dan Bekasi
Advertisement