Pemerintah Australia bermuka tebal. Meski telah diminta pertanggungjawaban atas penyadapan intelijennya terhadap Indonesia, namun mereka menolak. Bahkan, Dubes Australia untuk RI Greg Moriarty hingga kini masih berkantor di Jakarta.
Menanggapi penyadapan tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqqie mengusulkan perlunya dilakukan audit terhadap peralatan teknologi di Kedubes Australia di Jakarta guna mencegah terulangnya penyadapan kepada petinggi Indonesia.
"Harus ada audit teknologi terhadap Kedutaan Besar Australia di Jakarta, begitu juga Kedutaan Besar Amerika Serikat. Agar jangan terjadi lagi penyadapan di kemudian hari," ujar Jimly di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/11/2013).
Hal tersebut diperlukan, sambung Jimly, untuk memastikan kebenaran informasi yang dibocorkan mantan kontraktor NSA Edward Snowden. "Ini kan data penyadapan ini berasal dari data intelijen yang dibocorkan," tuturnya.
Selain itu, Ketua DKPP ini juga meminta pemerintah agar mengevaluasi semua bantuan luar negeri, bukan hanya Australia. "Terutama bantuan yang secara langsung dimanfaatkan lembaga negara, itu harus dievaluasi kembali," tegas Jimly.
Sebaiknya, kata Jimly, bantuan luar negeri dikelola melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, jika ada dana bantuan asing, termasuk Australia, sepanjang tidak melalui mekanisme APBN sebaiknya dilarang.
"Saya juga sering dihubungi oleh Australian Electro Comition (AEC). Mereka minta ketemu untuk meyakinkan KPU dan Bawaslu. Sekali lagi kami tak melarang Australia atau asingnya, tapi lembaga negara hanya boleh bekerja atas dasar mekanisme APBN dan APBD, di luar itu melanggar kode etik," papar Jimly.
Karena, jelas Jimly, sebenarnya anggaran Indonesia cukup besar sehingga tidak memerlukan bantuan asing. "Duit kita banyak, cuma kualitas kita membuat perencanaan ini yang buruk dan kualitas perbelanjaan kita," tandas Jimly. (Rmn/Mut)
Menanggapi penyadapan tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqqie mengusulkan perlunya dilakukan audit terhadap peralatan teknologi di Kedubes Australia di Jakarta guna mencegah terulangnya penyadapan kepada petinggi Indonesia.
"Harus ada audit teknologi terhadap Kedutaan Besar Australia di Jakarta, begitu juga Kedutaan Besar Amerika Serikat. Agar jangan terjadi lagi penyadapan di kemudian hari," ujar Jimly di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/11/2013).
Hal tersebut diperlukan, sambung Jimly, untuk memastikan kebenaran informasi yang dibocorkan mantan kontraktor NSA Edward Snowden. "Ini kan data penyadapan ini berasal dari data intelijen yang dibocorkan," tuturnya.
Selain itu, Ketua DKPP ini juga meminta pemerintah agar mengevaluasi semua bantuan luar negeri, bukan hanya Australia. "Terutama bantuan yang secara langsung dimanfaatkan lembaga negara, itu harus dievaluasi kembali," tegas Jimly.
Sebaiknya, kata Jimly, bantuan luar negeri dikelola melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, jika ada dana bantuan asing, termasuk Australia, sepanjang tidak melalui mekanisme APBN sebaiknya dilarang.
"Saya juga sering dihubungi oleh Australian Electro Comition (AEC). Mereka minta ketemu untuk meyakinkan KPU dan Bawaslu. Sekali lagi kami tak melarang Australia atau asingnya, tapi lembaga negara hanya boleh bekerja atas dasar mekanisme APBN dan APBD, di luar itu melanggar kode etik," papar Jimly.
Karena, jelas Jimly, sebenarnya anggaran Indonesia cukup besar sehingga tidak memerlukan bantuan asing. "Duit kita banyak, cuma kualitas kita membuat perencanaan ini yang buruk dan kualitas perbelanjaan kita," tandas Jimly. (Rmn/Mut)