OPINI: Menjawab Provokasi Tiongkok di Laut Natuna

Sebagai peserta UNCLOS 1982 sejak 1996, Tiongkok harus bisa menghormati hak berdaulat dan kedaulatan Indonesia.

oleh Liputan6 diperbarui 04 Apr 2016, 18:20 WIB
Diterbitkan 04 Apr 2016, 18:20 WIB
Melda Kamil Ariadno
Profesor Melda Kamil Ariadno, Guru Besar Hukum Internasional UI (Liputan6.com/Deisy Rika Yanti)

Liputan6.com, Jakarta - Insiden masuknya kapal Tiongkok, KM Kway Fey ke wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan laut territorial Indonesia 19 Maret 2016 lalu, telah disikapi dengan cara berbeda. Ada yang memandang kejadian itu sebagai pelanggaran hak Indonesia terkait penangkapan ikan di ZEE, namun ada juga yang melihatnya sebagai pelanggaran hak berdaulat dan kedaulatan.

Pada dasarnya yang dilakukan oleh Tiongkok tentu tidak terlepas dari klaim sepihaknya terkaitdengan "nine dash line", yang jelas-jelas masuk ke daerah yurisdiksi Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau.

Tindakan Tiongkok tersebut dalam hukum internasional dikenal sebagai unilateral claim, yang tidak serta-merta bisa mengikat dan memaksa negara lain untuk mengakuinya karena hukum internasional mengenal apa yang dikatakan sebagai "persistent objection" (penolakan secara terus-menerus).

Indonesia selalu melakukan "persistent objection" sejak awal dan tidak bergeming dengan sikapnya sampai saat ini.

Dalam pembelaannya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan, kapal Tiongkok yang ditangkap oleh kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang melakukan "normal activity" di wilayah "traditional fishing ground", yang artinya berada di ZEE Indonesia. Hal yang mengingatkan kita pada klaim "historical title" Tiongkok di Laut China Selatan.


Beberapa catatan  hukum terhadap tindakan sepihak Tiongkok yang disinyalir bukan yang pertama ini antara lain:

1. Klaim Tiongkok sama sekali tidak berdasar dalam hukum internasional.
Hukum laut tidak mengenal "traditional fishing ground", yang ada hanya "traditional fishing right" di wilayah perairan kepulauan (bukan di ZEE maupun laut territorial), dan harus diatur melalui perjanjian antar negara.

Dengan demikian, tidak satu pun kapal ikan asing bisa menangkap ikan di ZEE satu negara tanpa ada izin dari negara pantainya.

2. Dengan mengemukakan dalih di atas, terimplikasi bahwa Tiongkok tidak mengakui ZEE Indonesia. Padahal Indonesia telah mengklaim ZEE sejak 1983 melalui UU No 5 Tahun 1983, dan tidak pernah ada keberatan dari Tiongkok akan hal itu.

Karena itu, berdasarkan hukum internasional, Tiongkok telah mengakui klaim Indonesia atas ZEE-nya.

3. Tiongkok mengirimkan penjaga pantainya untuk menjaga kapal ikannya jauh keluar dari laut teritorial dan ZEE Tiongkok, yang diukur dari mainland of China.

Hal ini tentu dapat diartikan bahwa China menganggap perairan Natuna adalah daerah perairan, di mana mereka memiliki yurisdiksi yang selama ini mereka cerminkan dalam klaim sepihak "nine dash line".

4. Klaim sepihak Tiongkok terkait "historical title" di Laut China Selatan merupakan klaim yang "absurd" dan tidak memiliki alas hukum yang sah.

Sejak awal berkembangnya hukum laut jelas bahwa laut tidak ada yang memiliki. Lalu lambat laun negara mengklaim laut yang berbatasan dengan daratannya dengan alasan keamanan negara pantai (national security), dimulai dari hanya mengklaim laut teritorial hingga kemudian juga mengklaim zona tambahan, landas kontinen dan ZEE.

Dengan demikian, jelas tidak ada klaim terhadap laut tanpa adanya daratan. Sementara jarak antara Tiongkok dan titik terluar nine dash line-nya sangat jauh, melebihi apa yang dimungkinkah oleh hukum laut yang hanya diakui 200 mil laut dari pantai untuk ZEE.

Jika memang "historical title" terhadap laut diakui, semua samudra di dunia akan sangat mungkin diklaim oleh Inggris. Itu karena Inggris-lah yang telah menguasai lautan sejak dulu kala.

Untuk menghadapi Tiongkok yang melakukan "test the water" kepada Indonesia, ada beberapa hal yang dapat dan perlu dilakukan oleh Indonesia, antara lain:

1. Menanggapi permasalahan ini bukan hanya sebagai sengketa terkait perikanan, tetapi lebih penting lagi sebagai permasalahan pelanggaran zona maritim, pelanggaran hak berdaulat, dan kedaulatan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa ada kejelasan.

2. Protes diplomatik yang harus terus-menerus dilakukan dengan keras dan berkesinambungan, selama Tiongkok tetap bertahan dengan klaimnya.

Jika memang "nine dash line" Tiongkok bukan klaim wilayah, perlu ada pernyataan secara tertulis mengenai apa yang dimaksudkan oleh Tiongkok dengan itu, dan bahwa mereka mengakui ZEE Indonesia yang terkena line tersebut.

3. Melakukan "peaceful display of sovereignty" di daerah Natuna dan daerah lain yang terhimpit oleh klaim "nine dash line" dengan menghadirkan "patroli berkesinambungan, pemantauan radar yang efektif dan berdaya jangkau tinggi, dan pembangunan pangkalan TNI AL di daerah terdekat".

Sebagai peserta UNCLOS 1982 sejak 1996, Tiongkok harus bisa menghormati hak berdaulat dan kedaulatan Indonesia. Terutama tentu tidak mengklaim zona maritim tanpa ada alas hak yang sah sesuai hukum laut yang berlaku.

Jika ingin berdaulat di laut, Indonesia harus bisa tegas terhadap semua pelanggaran kedaulatan dan hak berdaulat di lautnya, termasuk terhadap tindakan semena-mena Tiongkok.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya