OPINI: Memutus Rantai Kenaikan Harga Saat Ramadan

Ada yang unik pada setiap menjelang Ramadan dan Lebaran. Kedua momen ini selalu ditandai dengan kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok.

oleh Liputan6 diperbarui 06 Jun 2016, 19:05 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2016, 19:05 WIB
Enny Sri Hartati
Opini Enny Sri Hartati (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Hampir semua negara pasti memiliki perayaan hari raya keagamaan yang juga menjadi pola musiman setiap tahun. Indonesia termasuk memiliki perayaan hari raya keagamaan yang relatif banyak. Setidaknya yang cukup besar adalah perayaan hari raya Idul Fitri atau Lebaran dan Natal.

Tidak hanya di Indonesia, momen Ramadan dan Lebaran juga dirayakan oleh negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darusalam. Demikian juga hari Natal juga banyak dirayakan oleh berbagai Negara.

Namun ada yang unik pada setiap musim perayaan hari raya di Indonesia, terutama menjelang Ramadan dan lebaran. Di mana selalu ditandai dengan kenaikan berbagai harga-harga kebutuhan pokok.

Sementara di banyak negara berpenduduk muslim lainnya, biasa-biasa saja menghadapi Ramadan dan Lebaran. Bahkan jika dibandingkan dengan perayaan Natal justru terjadi hal yang kontradiktif.

Di banyak negara, setiap perayaan natal yang dilanjutkan dengan tahun baru, selalu d tandai dengan berbagai program dan iklan “sale” besar-besaran. Banyak produsen bahkan brand merek-merek terkenal juga memberikan discount besar-besaran kepada konsumen.

 

Momen tersebut sering dijadikan ajang cuci gudang, sehingga tak jarang sering terlihat perang discount antar perusahaan maupun antar toko-toko besar untuk menarik konsumen.

Kondisi ini terjadi karena produsen ataupun pedagang ingin memanfaatkan peningkatan gairah konsumsi masyarakat di hari raya untuk meningkatkan pangsa pasar (market share) masing-masing.

Hal ini terjadi karena struktur pasar yang bersaing secara sempurna. Dengan demikian hanya dengan mereka berkompetisi melalui peningkatan pelayanan dan efisiensi baru dapat mendongkrak pangsa pasar.

Artinya, pola peningkatan permintaan yang terjadi secara musiman pada hari raya keagamaan menjadi pola umum di hampir semua negara.

Di beberapa Negara justru menjadi momentum untuk meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat. Apalagi di Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang lebih unik lagi.

Lebaran dan Natal tidak hanya berdemensi religius, namun juga sangat kental dengan demensi sosial, budaya dan ekonomi. Eratnya sistem kekerabatan dan hubungan kekeluargaan, menjadikan lebaran juga natal sekaligus sebagai momentum silaturahmi “masal”.

Budaya saling berkunjung antar sanak saudara dan handai taulan memiliki implikasi langsung terhadap kegiatan ekonomi.

Ditambah lagi tradisi mudik yang terus berlangsung secara turun temurun. Jumlah pemudik pada lebaran 2015 diperkirakan mencapai hampir 20 juta orang. Dengan adanya keunikan tersebut, semestinya momen hari keagamaan justru dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekskalasi produktifitas nasional.

Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Setiap menjelang hari raya keagamaan masyarakat justru dihebohkan dengan berbagai berita kenaikan harga yang fantastis. Bahkan untuk kasus tahun 2016 mengalami kemajuan.

Sejak sebulan menjelang masuknya Ramadan, kenaikan berbagai harga kebutuhan bahan pokok sudah menghiasi semua headline media massa. Utamanya kenaikan harga pangan seperti beras, gula, cabai, daging, telur dan sebagainya.

Di samping mengalami kemajuan waktu kenaikan, disinyalir beberapa komoditas mengalami kenaikan tertinggi. Gula pasir misalnya mengalami kenaikan mencapai Rp 5.000 per kilogram (kg). Bahkan kenaikan harga daging sapi telah menimbulkan kehebohan tersendiri, karena menembus Rp 130 ribu per kg.

Tak kurang instruksi presiden untuk menurunkan harga daging menjadi Rp 80 ribu per kg justru memicu polemik tersendiri.

Pertanyaan mendasarnya, mengapa terjadi anomali dalam pengelolaan hari-hari besar keagamaan di Indonesia. Dengan membandingkan pengalaman yang terjadi di negara-negara lain, mestinya dapat menjadi bahan evaluasi.

Pastinya peningkatan permintaan masyarakat mestinya justru menjadi sumber momentum meningkatkan produksi. Tentu hal ini hanya akan bisa terjadi jika disertai langkah-langkah antisipatif. Terutama guna mendorong ketersediaan berbagai komoditas yang pasti mengalami peningkatan ketika menjelang hari raya.

Di samping aspek ketersediaan, hal yang urgen dan penting diperhatikan adalah memperbaiki struktur pasar yang sehat dan kompetitif. Apalagi jika yang menjadi persoalan adalah komoditas kebutuhan pokok yang notabene memiliki sifat permintaan sangat inelastis.

Berapun harganya maka konsumen tidak punya alternatif lain selain harus tetap membelinya. Karenanya minimal tiga langkah mutlak kehadiran Pemerintah untuk menyelesaikan problem fundamental dari gejolak harga musiman ini. Pertama dan utama yang harus dilakukan adalah memastikan data peningkatan produksi atau pasokan.

Pastinya kebutuhan setiap tahun mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk. Kedua, mencegah dan menutup celah ruang terjadinya perilaku persaingan yang tidak sehat.

Kuncinya, pemerintah harus memiliki cadangan yang cukup agar tidak memberi ruang bagi pemegang dominasi pasokan untuk mempermainkan harga. Ketiga, menjaga kelancaran arus distribusi barang.

Jika hal itu dapat dilakukan, niscaya setiap Ramadan dan Lebaran datang, bukan gejolak harga yang dihadapi namun justru menjadi momentum untuk menggairahkan kelesuan ekonomi.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya