Bukan Sekadar Cepat, Balapan Harus Putar Otak

Semua orang memang bisa ngebut, tapi tidak semua bisa balapan.

oleh Arief Aszhari diperbarui 07 Sep 2020, 13:10 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2020, 21:00 WIB
Rifat Sungkar
Rifat Sungkar memakai mobil MPV untuk balap reli (istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Balapan bagi sebagian orang memang sebuah cita-cita yang harus diwujudkan. Terkenal, banyak uang, dan memiliki prestasi menjadi daya tarik tersendiri bagi seseorang yang berada di balik kemudi untuk adu kebut.

Namun, untuk bisa mewujudkan hal tersebut, diperlukan kerja keras, disiplin dan kesabaran yang ekstra. Selain itu, menjadi seorang pembalap tidak hanya membutuhkan otot atau hanya sekedar memiliki nyali, tapi juga otak.

Dijelaskan Rifat Sungkar, Pembalap Reli Nasional, semua orang memang bisa ngebut, tapi tidak semua bisa balap. Artinya, terlalu banyak orang yang berpikir pendek, dan semua orang memiliki nyali, tapi tidak semua memakai otaknya.

"Kenapa? Nyali itu tidak bisa dikontrol emosinya, tanpa pemikiran sehat. Seorang pembalap yang makin tinggi jam terbangnya, semakin bisa mengontrol kecepatannya dengan rileks," jelas Rifat saat berbincang dengan redaksi Liputan6.com.

Lanjut suami dari Sissy Priscillia ini, permasalahannya adalah, orang yang tidak bisa mengontrol emosinya selalu menggunakan nyali. Dan hal inilah yang membedakan, antara balapan dengan menggunakan otak dengan otot.

" Kadang dengan menggunakan otot, capeknya luar biasa, risikonya tinggi sekali, hasilnya tidak ada. Sedangkan yang menggunakan otak, bisa menggunakan otot sedikit, dengan hasil yang maksimal," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Perlu Strategi Matang

Jadi, saat balapan hanya bermodalkan nyali, akan kalah dengan yang menggunakan strategi jangka panjang. Dalam sebuah balapan, tidak bisa melewati dua tikungan dengan satu waktu yang sama, dan tidak bisa seorang pembalap melibas semua tikungan secepatnya, karena ada komponen kendaraan balap seperti rem, ban, yang perlu diperhatikan begitu juga dengan strategi.

"Dengan strategi yang kurang matang, walaupun kecepatan sama, tidak ada keuntungan yang bisa diambil. Jika hanya nafsu menggunakan nyali, akan kalah dengan yang memiliki strategi bagus. Misalknya, bisa saja mesin, ban, rem overheat. Sejauh apapun kita menang, di lap terakhir akan mudah disusul karena kalkulasinya kurang matang," pungkasnya.

Kisah Rifat Sungkar Lalui Masa Sulit di Awal Karir Balapnya

Nama Rifat Sungkar tentu sudah tak asing lagi di dunia otomotif nasional. Segudang prestasi di ajang reli telah ia raih.

Meski terlahir dari keluarga pembalap, suami Sissy Priscillia itu mengaku memulai karirnya dengan mobil pinjaman.

"Untuk karir balap sampai tahun ini saya sudah mengikuti karir balap kurang lebih 26 tahun. Memang kalau dibandingkan keluarga lain, keluarga saya memang keluarga otomotif. Tapi saya enggak di kasih fasilitas untuk ikut acara balap," kata Rifat saat berbincang dengan Liputan6.com.

Meski mengikuti acara yang digagas sang ayah, pria kelahiran 22 Oktober 1978 ini menegaskan harus mengikuti proses balap seperti peserta lainnya. Bahkan, Ia harus membayar uang pendaftaran dan tak ada perlakukan khusus.

"Untuk ikut lomba sprint rally yang bokap (ayah) bikin aja, itu harus bayar pendaftaran. Karena bokap bilang kalau enggak bayar uang pendaftaran, kalau menang ya enggak ambil uang hadiah. Jadi mulai mobil pinjam, spare part seken, pendfataran harus bayar, running cost tim ditanggung sendiri," ujarnya.

Rifat mengaku, piala pertama yang ia angkat bukanlah dari kejuaraan reli. Ayah dua anak itu pertama kali terjun di dunia balap saat berusia 14 tahun. Gokart menjadi awal karirnya di dunia balap.   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya