Liputan6.com, Jakarta Uni Eropa (UE) akan segera merampungkan rencananya untuk menangani mobil listrik China pada pekan ini. Alasannya adalah karena subsidi besar yang digelontorkan pemerintah China untuk menekan harga mobil listriknya jauh lebih murah akan mendistrupsi pasar yang juga akan berdampak pada industri otomotif Eropa.
Namun anehnya, dengan logika seperti itu dari regulator, para produsen mobil Eropa justru berbalik memperingati UE akan hal ini. Lalu sebenarnya apa alasannya?
Baca Juga
Singkatnya, produsen mobil Eropa sangat bergantung pada China dalam penjualannya. China saat ini adalah pasar mobil terbesar yang memegang sepertiga pangsa pasar penjualan mobil di seluruh dunia.
Advertisement
Pada Maret 2024, penjualan mobil di China menyumbang 33 persen dari total penjualan bulanan 8,15 juta kendaraan di dunia. Data ini diungkap oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Mobil Penumpang Tiongkok (CPCA), disitat dari CarNewsChina.
Persentase tersebut tidak berfluktuasi liar, bahkan stabil jika melihat tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2016 hingga 2018, kontribusi pasar China untuk penjualan mobil di seluruh dunia adalah 30 persen. Sedangkan pada 2022 meningkat menjadi 33 persen.
Dan di pasar itu pula, Volkswagen memegang peran penting sebagai salah satu market leader. HSBC, salah satu grup perbankan terbesar di dunia yang bermarkas di London, bahkan memperkirakan bahwa gabungan produsen mobil Jerman setidaknya meraup 20-23 persen keuntungan mereka dari penjualan kendaraan mereka di Negeri Tirai Bambu.
Disamping itu, China juga merupakan pusat manufaktur penting bagi banyak produsen mobil Eropa. Sebut saja Volkswagen, BMW, Mercedes-Benz, Tesla, Citroen, Volvo, dan masih banyak lagi. Bahkan, Volvo kini berada di bawah payung perusahaan China, yakni Geely Automobile.
Mobil seperti BMW iX3 , Citroen C5 X, dan Dacia Sping produksi China kini telah dipasarkan di Eropa, dan itu adalah contoh mobil Eropa buatan China yang kemungkinan besar akan ikut terdampak regulasi tarif yang diusulkan.
Terkait hal ini, para eksekutif di BMW, Mercedes, dan Volkswagen telah memperingatkan UE soal penerapan kebijakan tarif.
Produsen Otomotif Eropa Was-Was Akan Tindakan Balasan dari China
Langkah kebijakan UE ini masih dalam perjalanan untuk disahkan menyusul tindakan serupa yang lebih dulu disahkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS). AS menaikkan tarif empat kali lipat pada mobil listrik China bulan lalu, dari yang sebelumnya dikenai tarif 25 persen menjadi 100 persen.
Setelah kabar regulasi UE ini menyeruak dan semakin dekat dengan pengesahan, Kamar Dagang China untuk UE telah memperingatkan bahwa negara tersebut sedang mempertimbangkan untuk menaikkan tarif pada mobil impor jika kenaikan bea masuk UE akan diterapkan. Itu artinya UE berisiko menerima tindakan balasan dari Beijing.
Dalam hal ini, UE menerima beragam kritikan. Dengan motif keprihatinan atas dampak masuknya mobil listrik berbiaya rendah asal Negeri Tirai Bambu tersebut terhadap industri lokal, yang dilakukan UE justru yang paling mudah, yakni mengenakan tarif. Bukan justru memberikan dukungan serupa seperti apa yang dilakukan China, untuk diberikan pula pada produsen mobil Eropa.
Advertisement
Tanggapan Para Petinggi Pabrikan Mobil Eropa
CEO BMW, Oliver Zipse, mengatakan kepada investor bahwa dia tidak percaya industri otomotif Eropa memerlukan proteksionisme, terkhusus dari UE, dan bahwa dengan terlibat dalam perang dagang, "Anda dapat dengan cepat merugikan diri sendiri."
Pimpinan VW, Oliver Blume, juga mewaspadai tarif, dengan mengatakan bahwa risiko pembalasan dari Beijing "berpotensi berbahaya."
Dan Carlos Tavares, kepala Stellantis, juga menggambarkan potensi tarif terhadap kendaraan listrik China sebagai "jebakan besar bagi negara-negara yang melakukan hal tersebut."
Namun, dilihat dari motifnya, langkah-langkah yang diambil UE terlihat tidak akan sedrastis yang diterapkan oleh AS. Saat ini, tarif atas mobil yang diimpor dari negara-negara di luar UE adalah sebesar 10 persen. Analis memperkirakan mobil listrik China akan mengalami kenaikan tarif di kisaran 10-25 persen lagi.
"Jika UE mengenakan tarif tidak lebih dari 25 persen, hal ini akan lebih bertujuan untuk menyamakan kedudukan dan mengurangi keunggulan biaya sebesar 30 persen yang dimiliki pabrikan China," kata Matthias Schmidt dari Schmidt Automotive Research kepada BBC News.
Dia mengatakan bahwa respon UE dalam hal ini akan lebih proporsional.
Infografis Selamat Datang Era Mobil Listrik di Indonesia
Advertisement