Liputan6.com, Jakarta RumahCom – Seyogianya, menurut pandangan CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, tidak ada istilah ‘mengikuti tren’ pada berkembangnya kawasan terpadu di wilayah industri. Hal ini muncul semata-mata lantaran kebutuhan akan mixed-use development bagi masyarakat sekitar sudah mendesak.
Kawasan terpadu sendiri sesuai amanat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 perlu dikembangkan demi meningkatkan pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah Indonesia. Oleh karenanya, sejak awal Rencana Pembangunan Lima Tahun V (Repelita) periode 1989-1994 dicanangkan, Pemerintah telah meluncurkan program Pengembangan Kawasan Terpadu alias PKT.
Baca Juga
Program PKT ialah bentuk perhatian Pemerintah dalam mengatasi tingkat kemiskinan termasuk juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah yang relatif tertinggal. Sehingga diharapkan kemampuan sumber daya manusia akan tumbuh, serta mendorong perkembangan dan perekonomian wilayahnya.
Advertisement
Baca juga: Geliat Superblok Atasi Kebutuhan Hunian Pada Kawasan Industri
“Ketika basis ekonomi di suatu area industri sudah kuat, maka ini yang jadi acuan pengembang besar untuk membangun kawasan terpadu baru yang akhirnya menciptakan konsep one stop living. Sehingga menguntungkan masyarakat yang sudah lama tinggal maupun pendatang baru, sebab kebutuhan harian mereka akan terpenuhi tanpa harus ke luar wilayah lagi. Dan tanpa sadar, kondisi ini akan memicu potensi yang lebih besar bagi wilayah tersebut,” katanya saat dihubungi Rumah.com.
Menurut catatan, sekitar 60% perekonomian nasional tanah air saat ini masih berpusat di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Bandung. Akan tetapi, 70% dari total nominal tersebut merupakan kontribusi Bekasi termasuk Cikarang yang angka penduduknya diperkirakan menyentuh 15 juta jiwa pada 20 tahun mendatang.
(Cari properti baru di kota patriot Bekasi? Temukan pilihan harganya mulai Rp300 jutaan)
Mengenai daya tarik dari suatu kawasan terpadu di daerah industri, sektor komersial acapkali menjadi penentu terbesarnya. Seperti adanya pusat perbelanjaan, perkantoran, maupun sekumpulan rumah toko atau ruko. Intinya, daya tarik besar terletak di sisi fasilitasnya.
“Konsepnya seperti apa itu yang jadi persaingan. Tapi jika ingin menguatkan posisi dan daya tarik yang berbeda, sebaiknya kawasan terpadu mengikuti situasi pasar yang dituju (segmented) berikut kebutuhannya. Misal, kalau apartemen lebih banyak dihuni oleh ekspatriat asal Tiongkok, maka buatlah konsep mal yang mirip seperti di negara tirai bambu termasuk juga selektif dalam memilih tenant-nya,” Ali menambahkan.
Nilai Sewa Tinggi
Lantas, siapa sajakah yang bisa menjadi target utama dari kawasan terpadu? Sejatinya, untuk kawasan terpadu di wilayah industri pangsa pasar terbesar rata-rata lebih banyak berasal dari kalangan menengah dan menengah-atas. Yakni mereka yang merupakan kaum profesional maupun entrepreneur dan di level manager.
Mengapa demikian, ini lantaran menyangkut pilihan bertempat tinggal, para konsumen baik lokal maupun ekspatriat Asia atau Eropa yang menyasar hunian di kawasan terpadu lebih mengutamakan gaya hidup praktis. Apartemen, jadi solusinya.
“Di Jakarta, rental yield apartemen pada semester satu tahun ini hanya berkisar 6%-8%. Sementara di kawasan industri, keuntungan sewa dari apartemen bisa mencapai dua kali lipatnya yakni 15%. Di Cikarang buktinya. Apalagi jika pengembang bisa membangun apartemen bertemakan suatu negara khas misalnya ala Jepang, nilai sewanya diyakini bisa melebihi dari itu (angka 15%),” ia mencontohkan.
Tingginya nilai sewa apartemen yang berada di kawasan industri seperti Cikarang, sambung Ali, tak lain adalah imbas dari melonjaknya jumlah tenaga asing ke wilayah tersebut. Terlebih diketahui sejumlah perusahaan industri telah menaikkan nominal allowance untuk tempat tinggal karyawannya. “Inilah yang menyebabkan harga naik terus. Makanya di Cikarang itu nyaris sulit menemukan end user karena investor lebih dominan,” lanjutnya.
Meneropong prospeknya, kawasan terpadu di wilayah industri diyakini bisa tahan lama asalkan terus mendapat sokongan dan kekuatan dari kondisi perekonomian daerahnya, terutama pangsa industri itu sendiri. “Ada penanaman modal jangka panjang kisaran 5-10 tahun itu bisa pengaruh juga. Efeknya bagusnya bisa merembet ke daya beli masyarakat sekitar,” Ali mengakhiri.