Perjuangan Gadis Minahasa demi Pendidikan Buruh Anak Kebun Kelapa

Kelompok belajar yang dirintis Evangline Aruperes dari Minahasa menjadi sekolah untuk anak-anak putus sekolah.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 26 Jan 2016, 20:05 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2016, 20:05 WIB
20160126-Kelompok Belajar Tunas Bangsa Manado
Kelompok belajar Tunas Bangsa untuk anak-anak buruh kelapa (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Liputan6.com, Makassar - Alva Winerungan (15) harus tinggal bersama pamannya di kebun kelapa di pedalaman. Akses ke kebun hanyalah jalan berbatu dan berlubang, dengan jurang terjal di sisi jalan.

Jarak tempuhnya sekitar 2 jam perjalanan dengan sepeda motor dari Desa Pinaling, Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Provinsi Sulawesi Utara.

Ikut bersama pamannya sebagai petani pengumpul kelapa, Alva terpaksa harus melupakan indahnya romantika sekolah. Tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar, Alva kini membantu pamannya mengumpulkan kelapa setiap hari.

Ratusan butir kelapa dikumpulkan Alva menggunakan gerobak yang ditarik 2 ekor sapi setiap hari. Selanjutnya, gilirang sang paman mengolah butiran kelapa itu menjadi kopra. Sebagai imbal jasa, sang paman mendapat seperlima dari hasil penjualan.

"Yah, terpaksa enggak bisa sekolah karena kerja di kebun. Mengumpulkan kelapa," ujar Alva kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.  


Kelompok belajar Tunas Bangsa untuk anak-anak buruh kelapa (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Alva adalah salah satu dari puluhan anak putus sekolah yang ada di Desa Pinaling. Mereka rata-rata tidak bisa menyelesaikan pendidikan baik  tingkat SD, SMP, dan SMA, karena kekurangan biaya.

Data pemerintah Desa Pinaling mencatat puluhan anak berusia  7-15 tahun yang putus sekolah. Sedangkan di Kabupaten Minsel, terdapat ribuan anak yang senasib dengan Alva.

"Kami terpaksa tidak bisa menyekolahkan anak kami, dan akhirnya tidak bisa menamatkan pendidikan," ujar Maritje Lintjewas, salah satu warga setempat.

Dia beralasan untuk menamatkan pendidikan SD di kampungnya saja susah, apalagi harus sekolah ke SMP dan SMA yang berada di luar kampung.

"Mereka harus naik ojek, tentu ini membutuhkan biaya. Untuk SD memang hampir tidak ada biaya, tapi kami membutuhkan tenaga anak kami di kebun untuk membantu," ungkap Maritje.

Kelompok Belajar Tunas Bangsa

Kondisi itu menggerakkan hati Evangline Aruperes, seorang warga Desa Pinaling. Ia menginisiasi lahirnya sebuah kelompok belajar yang diberi nama Tunas Bangsa. Ia melihat minat belajar anak-anak setempat tinggi meski sebagian orangtua mereka acuh tak acuh dengan pendidikan.

Niat Evangline mulai terealisasi saat mendapat beasiswa untuk program pemberdayaan komunitas masyarakat. Ia mendekati perangkat desa untuk melancarkan misinya.

Restu dari Hukum Tua -sebutan kepala desa setempat, Joins Rorimpandey akhirnya didapat dalam rapat desa. Bahkan, Joins mengizinkan lantai 2 Balai Desa Pinaling menjadi tempat belajar anak-anak putus sekolah yang berusia 7-15 tahun.

"Kelompok belajar ini sejalan dengan program pemerintah desa agar perangkat desa minimal berijazah SMA sederajat. Artinya yang tidak memiliki ijazah itu, harus mengikuti kelompok atau paket belajar," ujar Joins.

Evangline mengajar dibantu dua rekannya, Elven Tuwondila dan Elsa Kaeng, mulai awal 2015. Setiap minggunya, kelas dibuka 3 kali.

"Awalnya, memang tidak mudah menyadarkan orang tua akan pentingnya pendidikan bagi anak. Apalagi, mereka lebih suka anak mereka membantu di kebun," tutur lulusan Universitas Negeri Manado (Unima) itu.

Dia mengatakan banyak dari mereka yang minder. Ada juga yang kesulitan karena tinggalnya di kebun. Jaraknya sangat jauh dari kampung sehingga kalau harus bolak-balik membutuhkan waktu dan tenaga.

"Tapi berkat kerja keras, kelompok tetap bisa berjalan," ujar dia.

Alva misalnya. Meski terdaftar sebagai anggota kelompok belajar, Alva tidak bisa setiap hari datang belajar. Apalagi, dia harus membantu pamannya menjadi petani pengumpul buah kepala di kebun milik warga lainnya.

"Suka ikut belajar, tapi jaraknya ke kampung sangat jauh. Apalagi harus membantu om bekerja di kebun," ucap Alva.

 

Ujian Kesetaraan

Memasuki tahun ajaran kedua, keceriaan nampak di wajah Maritje. Salah satu anaknya, Estasia Kaeng, yang selama ini menjadi peserta di kelompok belajar Tunas Bangsa bisa diikutkan menjadi peserta Ujian Kesetaraan Paket C atau SMA sederajat.

"Selaku orangtua tentu kami bersyukur, akhirnya anak kami bisa ikut ujian Paket C dan bisa mendapat ijazah nantinya," ujar Maritje.

Kepala Bidang Perencanaan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Minsel, Calvin Mamoto, menyatakan peserta kelompok belajar Tunas Bangsa bisa didaftarkan untuk mengikuti ujian kesetaraan yang waktu pelaksanaannya bersamaan dengan Ujian Nasional (UN) regular pada Maret atau April mendatang.

"Nantinya anggota kelompok belajar itu bisa didaftarkan sebagai peserta ujian kesetaraan baik Paket B maupun Paket C," ucap Calvin.  

Namun, tidak semua anak bisa mengikuti Ujian Paket B dan C, seperti Estasia dan 6 rekan lainnya. Salah satu yang kurang beruntung itu adalah Alva. Dia harus menyimpan keinginannya untuk mendapatkan ijazah pendidikan kesetaraan Paket B karena ijazah SD yang dimilikinya sudah hilang.

"Dari 12 anak yang mengikuti kelompok belajar, hanya tujuh yang bisa mengikuti ujian Paket B dan C. Yang lainnya terkendala di ijazah jenjang pendidikan sebelumnya," tutur Evangline.   

Evangline tetap mengusahakan agar di tahun berikutnya, anggota kelompok belajar bisa diikutkan dalam ujian kesetaraan sehingga mereka berhak mendapatkan ijazah yang setara dengan pendidikan formal. Ke depan, ia berniat membentuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) agar bisa  menggelar kursus-kursus ketrampilan, selain mempersiapkan anak-anak mengikuti ujian kesetaraan.

"Saya memang mengharapkan agar tidak ada lagi anak yang putus sekolah di Desa Pinaling. Juga untuk masyarakat minimal berijazah setara SMA," kata Evangline.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya