Liputan6.com, Cirebon - Cerita hidup pendiri Pondok Pesantren (ponpes) Buntet, Mbah Muqoyyim, belum selesai setelah ia pindah ke Pemalang. Saat hijrah itu, wabah penyakit thaun atau dikenal dengan nama lepra menimpa Cirebon.
Wabah lepra pula yang membuatnya bisa kembali mendirikan ponpes yang dihancurleburkan Belanda beberapa waktu sebelumnya.
Wabah penyakit lepra yang menimpa warga Cirebon mengakibatkan banyak warga, baik kalangan warga biasa, bangsawan hingga orang Belanda, meninggal dunia. Kondisi genting saat itu mengkhawatirkan banyak pihak.
"Sehingga beberapa orang pintar baik itu dokter, tabib, dukun dan orang sakti didatangkan untuk bisa mengatasi permasalahan ini," tutur Ahmad Rovahan, salah seorang keluarga Ponpes Buntet Cirebon kepada Liputan6.com di Cirebon, beberapa waktu lalu.
Dari sekian banyak orang sakti dan pintar yang didatangkan untuk mengantisipasi wabah lepra, tidak ada yang bisa memberikan hasil memuaskan. Wabah tersebut masih saja menimpa masyarakat dan mengakibatkan kematian yang cukup cepat.
Kondisi tersebut membuat para pejabat penting di Cirebon mengeluarkan usulan untuk meminta bantuan Mbah Muqoyyim. Perwakilan dari keraton yang diutus pun langsung menghadap Mbah Muqoyyim dan menyampaikan tujuan kedatangannya.
"Mbah Muqoyyim setuju untuk kembali ke Cirebon dan berusaha menghilangkan wabah tersebut, namun dengan syarat yaitu Pangeran Muhammad Chaeruddin (Pangeran Santri) yang dibuang oleh Belanda ke Ambon, agar dikembalikan ke Cirebon," kata Rovahan.
Dengan izin Allah, sambung dia, Mbah Muqoyyim bisa menghilangkan wabah lepra. Di sisi lain, permintaannya untuk mengembalikan Pangeran Santri dipenuhi. "Pangeran Santri saat itu sudah ada di Cirebon dan kembali menjadi Santri Mbah Muqoyyim," kata Rovahan.
Advertisement
Baca Juga
Kesempatan pulang ke Cirebon dalam rangka pengobatan wabah lepra juga dimanfaatkan Mbah Muqoyyim untuk kembali membangun Pesantren Buntet yang sebelumnya telah diporak-porandakan oleh Belanda. Mbah Muqoyyim kembali mendirikan Pesantren Buntet sekitar 1758.
Lokasi pendirian bergeser dari lokasi pertama namun tidak begitu jauh. Kali ini, Mbah Muqoyyim membangun Pesantren Buntet di Blok Manis, Depok Pesantren Desa Mertapada Kulon Kabupaten Cirebon.
Pada saat mendirikan dan memimpin Pondok Pesantren Buntet, Mbah Muqoyyim melakukan riyadah khusus dengan berpuasa selama 12 tahun.
"Tiga tahun untuk keberkahan tanah dan pesantren yang dibangun, tiga tahun kedua untuk keselamatan anak cucunya, tiga tahun selanjutnya untuk para santri dan pengikut setianya, dan tiga tahun terakhir untuk keselamatan dirinya," tutur Rovahan.
Seiring waktu, Ponpes Buntet semakin berkembang. Mengutip pernyataan salah seorang kiai sepuh di Ponpes Buntet, KH. Amiruddin Akbari, Buntet bisa menjadi desa setelah sesama santri saling menikah.
"Dari pernikahan ini, wilayah Buntet Pesantren menjadi ramai dan memiliki penduduk cukup banyak. Para penduduk biasa yang bukan keturunan Kiai Buntet Pesantren dikenal dengan sebutan mager sari," kata Rovahan.
Kondisi pesantren saat awal didirikan kembali oleh Mbah Muqoyyim sangat sederhana. Hanya bangunan berbentuk langgar yang bisa digunakan mengaji secara bersama-sama.
"Para santri saat itupun kebanyakan adalah santri kalong sehingga pesantren belum membutuhkan ruangan yang cukup banyak," ujar Rovahan.
Sebagai bentuk penghormatan kepada sang pendiri Ponpes, keluarga besar Pondok Buntet Pesantren Cirebon setiap tahun menyelenggarakan Haul Al-Marhumin Mbah Muqoyyim, sesepuh dan warga. Dalam haul itu, keluarga besar Pondok Buntet Pesantren dan masyarakat mendoakan mereka yang sudah berjuang. Haul terakhir dikunjungi Presiden Joko Widodo.