Liputan6.com, Ponorogo - Detik-detik longsor Ponorogoyang terjadi pada Sabtu 1 April 2017 lalu menjadi kenangan pahit yang tak mudah dilupakan oleh Brian (10). Bocah yang masih duduk di bangku kelas IV SD Negeri Banaran, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur itu masih menaruh harapan sampai hari ini, bahwa kedua orangtuanya bisa ditemukan.
Kedua orangtua Brian, yakni Poniran (45) dan Suprapti (35) sampai saat ini masih dinyatakan hilang. Keduanya belum ditemukan dan kemungkinan besar terkubur material longsoran.
Keduanya juga diduga telah tewas. Terkubur timbunan material longsoran yang meluluhlantakkan permukiman subur "loh jinawi" di Dusun Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, pada awal bulan ini. Pun halnya dengan 22 korban lainnya yang juga masih hilang dan diduga terkubur.
Hanya empat korban yang ditemukan tewas dalam operasi pencarian yang dilakukan sejak Minggu 2 April 2017 hingga akhirnya pencarian dihentikan pada 9 April 2017.
Seperti dikutip Antara, Kamis 20 April 2017, Brian, bocah pemalu itu merupakan satu dari sekian banyak warga Banaran yang menjadi saksi hidup bagaimana bencana longsor yang digambarkan sebagai kiamat kecil itu tiba-tiba menimbun puluhan rumah di desanya. Termasuk rumah kedua orangtua Brian.
Masih terbayang jelas di ingatan para saksi hidup bagaimana orang-orang berteriak histeris sembari berlarian menyelamatkan diri. Ledakan beruntun disertai gemuruh terdengar memekak telinga, sampai akhirnya menutupi suara tangis histeris para penduduk desa.
Baca Juga
Brian yang saat kejadian itu tengah belajar di sekolah dan kemudian dipulangkan oleh pihak guru, bergegas mengendarai sepeda motor yang biasa dia gunakan menuju sekolah.
Dia pacu motor jenis matic itu secepat mungkin menuju rumah pamannya Miswanto di Desa Bekiring, tak jauh dari kampung kelahirannya itu.
Dalam upayanya menyelamatkan diri mengikuti naluri dan warga lain itu, Brian terus menangis hingga sesampainya di rumah sang paman di Desa Bekiring.
"Brian menangis dan menyebut nama bapak-ibunya yang saat itu belum dia ketahui keberadaannya," tutur Miswanto.
"Longsor. Mak e pak e kenek (Longsor, bapak dan ibu terkena bencana)," sambung Miswanto menirukan rengekan Brian yang semakin histeris.
Setelah tiga hari pascakejadian longsor Ponorogo, Brian yang masih murung, menangis, dan terus menerus menanyakan keadaan bapak-ibunya mulai berontak dan gelisah. Kepada Miswanto, Brian memaksa untuk pergi ke lokasi longsor.
Advertisement
Sejak itu, hampir saban hari Brian selalu terlihat berdiri menunggu dari puncak timbunan longsor yang sudah mengeras. Di atas situ, Brian berdiri menatap kendaraan alat berat atau eskavator bersama tim SAR gabungan tengah melakukan pencarian korban.
Ia terus saja memerhatikan upaya pencarian itu tanpa suara. Dinginnya tatapan menaruh harap kedua orangtuanya segera ditemukan. Setiap hari di bawah reruntuhan tebing (bukit) Gunung Gede setinggi 200-an meter yang mengeras tersebut, ia taruh harapan itu, harapan untuk melihat kembali kedua orangtuanya, meski sekadar jasadnya saja.
Ia benar-benar tak pedulikan orang-orang di sekitarnya saat itu, kecuali Miswanto yang setia menemani. Keinginan kuat tak menggoyahkan Brian untuk terus berdiri di atas 'kuburan massal' orangtua dan warga lainnya tersebut.
Sayang, hingga operasi pencarian dihentikan pada hari ke delapan, atau hari ke sembilan pascakejadian longsor besar, hanya empat korban yang berhasil ditemukan. Mereka adalah Katemi (70), Iwan Danang Suwandi (27), Sunadi (47), dan Sumaryono (25). Semua ditemukan dalam kondisi tewas.
Tiga korban longsor Ponorogo yang disebut pertama ditemukan di lokasi pencarian sektor C yang ada di bagian bawah, sementara satu korban yang ditemukan terakhir di sektor A beberapa jam sebelum akhirnya operasi pencarian oleh tim SAR gabungan dihentikan akibat terjadi longsor susulan.
Duka Brian Hanya Secuil Duka di Bumi Reog
Besarnya area atau volume longsoran yang menimbun 32 rumah, 28 warga, dan aneka ternak serta beragam harta benda membuat upaya evakuasi bencana ini tidak mudah. Sekalipun dikerahkan 11 unit alat berat dan bantuan 1.500 relawan dari berbagai lintas daerah yang bergabung bersama tim SAR terpadu, proses evakuasi itu tetap sulit.
Pergerakan material lumpur jenuh dalam volume sangat besar mulai dari sektor A dan bergerak hingga sektor D telah memaksa SAR gabungan dan para relawan yang bertekad menemukan 24 korban tersisa hanya bisa pasrah pada keadaan.
Pada Minggu 9 April 2017 sekitar pukul 16.00 WIB, Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni mengumumkan keputusan tim SAR gabungan untuk menghentikan seluruh operasi pencarian. Keputusan sulit itu diambil demi menghindarkan jatuhnya korban lagi, baik dari pihak tim SAR, relawan, maupun warga.
Warga memaklumi. Brian pun begitu. Meski tidak terlalu memahami situasi yang jadi kendala dan pertimbangan tim SAR bersama para relawan menghentikan pencarian, namun Brian berusaha tabah.
Bertahap, ia berangsur ceria lagi. Menurut Kapolsek Pulung AKP Deny Fachrudianto, Brian telah kembali masuk sekolah, bergabung dengan teman-temannya yang lain di kelas darurat yang diselenggarakan SDN Banaran bersama jaringan relawan.
Ya, Brian sudah mulai ceria lagi. Ia sudah bisa bersenda-gurau lagi bersama teman-teman sekolahnya. Meski sesekali Brian tertangkap mata suka terlihat diam dan menyendiri sambil merenungkan sesuatu yang jauh dari sorot matanya.
Duka Brian hanya secuil dari sekian duka yang dialami 11 anak lain yang ditinggal pergi orangtua mereka karena menjadi korban longsor. Kisah Brian juga sama dengan 11 anak lainnya itu, menjadi yatim maupun piatu akibat bencana ini.
Duka Brian bersama puluhan, atau bahkan ratusan jiwa warga Banaran itu cermin dari duka di Bumi Reog. Duka yang menyentak rasa empati seantero warga dari berbagai penjuru Indonesia atas peristiwa longsor Ponorogo.
Empati itu setidaknya tercermin dari bantuan yang terus mengalir hingga saat ini, baik dalam bentuk uang, barang, hingga tenaga serta doa-doa yang terus mengalir untuk para korban longsor.
Advertisement