Perjuangan Kaum Hawa di Lereng Gunung Penanggungan demi Air

Krisis air bersih dialami warga di lereng Gunung Penanggungan selalu terjadi setiap tahun dan selama berbulan-bulan.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 02 Sep 2017, 08:02 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2017, 08:02 WIB
Perjuangan Kaum Hawa di Lereng Gunung Penanggungan demi Air
Krisis air bersih dialami warga di lereng Gunung Penanggungan selalu terjadi setiap tahun dan selama berbulan-bulan. (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Mojokerto - Raut wajah ratusan ibu rumah tangga di Dusun Kandangan, Desa Kunjorowesi, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur berubah semringah. Sore itu, Kamis, 31 September 2017, mereka mendapat bantuan air bersih dari relawan yang sudah dinantikan sejak pagi.

"Alhamdulillah, sudah datang. Ayo, ayo," seru sekumpulan ibu-ibu berkerudung itu.

Seperti tahun-tahun sebelumya, kekeringan selalu melanda pemukiman yang secara geografis terletak tepat di lereng Gunung Penanggungan saat musim kemarau tiba. Tahun ini, sedikitnya ada 1.300 kepala keluarga (KK) menanggung pedihnya krisis air bersih selama tiga bulan terakhir.

Jeriken-jeriken, galon-galon, dan ember-ember kosong sudah ditata antre mengular. Kaum hawa itu terlihat berdesakan dan berebut selang dari tandon yang sudah diisi oleh relawan gabungan tersebut.

Sedikit saja air tumpah, selang langsung diserobot oleh pengantre lain. Pasalnya, volume air yang diperbantukan terbatas, paling banyak hanya dua tandon desa berkapasitas 3.000 liter per hari.

"Sudah tiga bulan. Kalau nggak ada bantuan, cari air ya harus turun ke desa bawah, bahkan sampai wilayah Watukosek, Pasuruan," ucap dia lagi.

Tidak tanggung-tanggung, perempuan berusia 37 tahun ini mengaku jarak yang harus ditempuh mencapai dua sampai lima kilometer. Perjuangan untuk mendapatkan air bersih itu diperparah dengan kondisi jalan yang menurun dan menanjak secara ekstrem.

Air yang diperjuangkan tidak gratis. Dia harus rela membongkar dompetnya setiap kali jerikennya terisi. Untuk satu jeriken berkapasitas 20 liter air, harganya Rp 7.000.

"Sekali beli langsung empat jeriken. Buat masak dan mandi di rumah," kata Samiati, salah satu warga kepada Liputan6.com.

Habibah (38) juga merasakan hal yang sama. Ibu dua anak itu juga harus berdesakan setiap hari mencari kebutuhan air bersih. Hampir setiap hari dia harus keliling desa sekitar untuk mencari air bersih.

Bantuan berupa air bersih yang diberikan para relawan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Palang Merah Indonesia (PMI) setempat dirasa sangat meringankan bebannya. "Lumayan, nggak perlu jauh-jauh lagi," ujarnya.

Meski berlokasi di lereng gunung, sumber mata air di sana sangat minim. Kepala Desa Kunjorowesi Susidarsono menjelaskan, hanya ada beberapa titik sumber air yang terdeteksi, itu pun alirannya tidak deras. Sehingga, tidak semua penduduk memiliki sumur sendiri.

"Kami sudah pernah cek. Sumber air hanya ada di beberapa titik saja, itu pun kedalamannya sampai 250 meter," tutur Susidarsono.

Warga yang mengalami krisis air di Desa Kunjorowesi, lanjut Susidarsono, ada sekitar 600 KK yang terbagi di dua dusun. Untuk Dusun Kandangan, warga yang terdampak sekitar empat Rukun Tetangga (RT), kemudian tiga RT di Dusun Kunjoro. "Sudah setiap tahun seperti ini," katanya.

Selain Desa Kunjorowesi, kekeringan juga melanda Desa Manduro Mangungajah, Kecamatan Ngoro. Di desa ini ada sekitar 700 KK yang membutuhkan air bersih setiap harinya.

"Kadang kami meminjam truk tangki untuk membeli, kemudian kami distribusikan ke warga," ujar Susidarsono.

Saksikan video menarik di bawah ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya