Harapan Kelola Hutan Desa yang Pupus di Ujung Pengesahan

Realisasi perhutanan sosial hingga 2019 yang ditargetkan oleh pemerintah seluas 12,7 juta hektare diprediksi sulit tercapai.

oleh Bangun Santoso diperbarui 09 Okt 2017, 07:01 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2017, 07:01 WIB
Hutan Jambi
Pembukaan lahan baru berdampak pada berkurangnya kawasan hutan di Jambi serta memicu konflik manusia dengan satwa liar. (Liputan6.com/B Santoso)

Liputan6.com, Jambi - Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD) Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara Hulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim), Jambi, harusnya sudah bisa mengelola hutan desa.

Namun, usulan masyarakat seluas lebih kurang 1.185 hektare yang berada dalam kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) Sungai Buluh, menjadi tidak jelas di ujung proses pengajuan hak kelola hutan desa.

Menurut Wakil Direktur Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Adi Junedi, awalnya masyarakat Pematang Rahim telah menyampaikan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tertanggal 24 Januari 2017.

WARSI adalah lembaga non-pemerintah di Jambi yang fokus pada masalah lingkungan serta pendampingan terhadap masyarakat.

"Respons KLHK saat itu positif ditandai dengan adanya tim dari KLHK bersama Dinas Kehutanan Provinsi Jambi yang melakukan verifikasi teknis ke Pematang Rahim, pada tanggal 6-8 Juni 2017," ucap Adi, di Jambi, Minggu, 8 Oktober 2017.

Tim verifikasi, lanjut Adi, menyatakan bahwa seluruh permohonan dapat diterima karena seluruh areal yang dimohon berada dalam Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS), Lembaga Pengelola Hutan Desa dan masyarakat telah memenuhi persyaratan lainnya.

Berdasarkan verifikasi teknis tersebut, Sub Direktorat Penyiapan Hutan Desa telah menyampaikan draf SK HPHD Pematang Rahim kepada Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan agar berkenan menandatangani. Namun, sebelumnya diserahkan ke Biro Hukum Setditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), untuk ditelaah penetapan SK tersebut.

Di sinilah muncul persoalan, ternyata areal kerja yang dimohonkan berada dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) revisi XII yang telah diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 31 Juli 2017, sebagai tindak lanjut Inpres Nomor 6 tahun 2017 tentang PIPIB. Alhasil, Dirjen PSKL tidak berkenan menandatangani SK HPHD yang sudah dipersiapkan.

"Kita melihat ada komunikasi yang kurang di dalam lembaga KLHK, sehingga memunculkan ketidakjelasan dalam tataran implementasinya di masyarakat," kata Adi.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

Tumpang Tindih Perizinan

Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh Jambi
Petugas KKI WARSI melakukan penghitungan kadar karbon di kawasan Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh, Kabupaten Tanjabtim, Jambi. (Liputan6.com/B Santoso)

Adi menyebutkan, berdasarkan analisis yang dilakukan WARSI, di Provinsi Jambi saja terdapat 25 persen PIAPS akan teranulir oleh PIPIB. Kawasan hutan dan gambut yang masuk ke dalam PIPIB seluas 1.060.224.06 hektare. Sedangkan kawasan yang ditetapkan untuk perhutanan sosial dalam PIAPS seluas 229.321,64 hektare. Sementara, kawasan yang tumpang tindih antara PIPIB dengan PIAPS seluas 55.564,49 hektare.

"Ini baru di Jambi saja, di daerah lain, kemungkinan untuk tumpang tindih tentu juga terbuka. Kami melihat ini menjadi persoalan mendesak yang harus segera dituntaskan oleh pemerintah dalam hal ini KLHK," Adi menerangkan.

Apalagi, mengingat saat ini perhutanan sosial merupakan salah satu skema untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan memberi dampak positif bagi masyarakat di sekitarnya,"

Kondisi ini, lanjut Adi, akan mempengaruhi realisasi perhutanan sosial hingga 2019 yang ditargetkan oleh pemerintah seluas 12,7 juta hektare sulit tercapai.

Masyarakat Pematang Rahim mengajukan hak kelola pada kawasan hutan gambut, menyusul dua desa tetangganya, yaitu Sungai Beras dan Sinar Wajo, yang sudah dapat HPHD pada 2014.

Adi mencontohkan pada musim kemarau Juli 2017 ini, terdapat kebakaran lahan gambut yang berdekatan dengan kawasan hutan Desa Sinar Wajo dan Sungai Beras.

Namun, masyarakat secara mandiri menjadi pemantau dan langsung melakukan aksi pemadaman bersama aparat terkait. Bahkan, masyarakat masih melakukan patroli rutin setelah api padam guna memastikan tidak ada lagi muncul titik api baru, mengingat kawasan yang terbakar merupakan lahan gambut.

"Tak hanya itu, masyarakat dengan kearifannya mulai mengembangkan aneka tanaman agroforest dan tanaman yang ramah gambut di kawasan yang sudah mereka kelola. Ini secara nyata bisa meningkatkan dan menopang perekonomian masyarakat desa," Adi memungkasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya