Jelajah Rimba demi Mendulang Madu dari Sarang Lebah Liar

Pemuda Aceh ini memutuskan untuk menjadi seorang pencari sarang lebah liar penghasil madu, sebuah pekerjaan yang cukup menantang dan memicu adrenalin.

oleh Rino Abonita diperbarui 02 Apr 2019, 05:00 WIB
Diterbitkan 02 Apr 2019, 05:00 WIB
Indahnya Bunga Sakura yang Bermekaran di Austria
Seekor lebah mengumpulkan nektar dari bunga pohon sakura Jepang yang mekar di Stadtpark di Wina, Austria (22/3). (AFP Photo/Joe Klamar)

Liputan6.com, Aceh - Matahari telah kembali ke tetirah, gelap menyelimuti, suara jangkrik dan tonggeret yang berbunyi di tengah rimba membuat suasana terasa semakin mistis. Namun, dua sejawat itu belum beranjak. Mereka sepakat bertahan atau pulang tanpa hasil.

Hari itu, Riza Arifin (26) dan temannya tengah berburu sarang lebah liar (Apis dorsata) di tengah rimba Rawa Nipah. Selain menahan perihnya gigitan nyamuk hutan, Riza pun harus berjuang melawan rasa takut ketika mengambil sarang di pohon yang tingginya mencapai puluhan meter.

"35 meter dari atas tanah, di atas pohon bersama lebah," kenang Riza menceritakan pengalaman pertamanya berburu sarang lebah liar penghasil madu, kepada Liputan6.com, Minggu (31/3/2019).

Riza dan rekannya berhasil membawa pulang sebongkah sarang yang menghasilkan 3 botol madu. Sejak hari itu, pemuda kelahiran 1 Januari 1993 ini memutuskan untuk menjadi seorang pencari sarang lebah liar penghasil madu, sebuah pekerjaan yang menurutnya cukup menantang dan memicu adrenalin.

"Saya sudah 2 tahun memulai petualangan mencari madu di hutan. Berbagai rintangan saya temui, dengan medan hutan yang menantang, berlika-liku, rawa-rawa, sungai dan pegunungan. Terkadang tidak tahu lagi sehari sudah berapa kilometer berjalan. Terjatuh, disengat lebah, kadang-kadang pulang dengan tangan kosong. Tapi itu semua saya nikmati dan bersyukur," tutur Riza.

Butuh keberanian untuk menekuni pekerjaan tersebut. Awalnya, Riza mengaku tergidik melihat kawanan lebah liar berjumlah ratusan mengerubungi sarang mereka yang terlihat menghitam dan membuat bulu roma berdiri.

"Awalnya merinding. Karena itu lebah liar bukan seperti yang sengaja dikembangbiakkan orang-orang. Kita harus fokus dan penuh konsentrasi. Keduanya harus padu ditambah keberanian," terang Riza soal trik yang digunakannya saat mengambil sarang lebah.

Riza mengaku tak memakai pelindung apa-apa ketika mengambil sarang-sarang tersebut. Ia juga tak mengamalkan doa tertentu agar selamat dari sengatan lebah. "Tidak perlu doa-doa tertentu agar selamat dan mendapat hasil. Hanya modal Bismillah," ujarnya seraya terkekeh.

Untuk mengendus keberadaan sarang lebah penghasil madu, Riza membuntuti lebah yang hinggap di genangan air atau sedang mengisap sari dari putik bunga atau buah di pinggiran hutan. "Biasanya kita ikutin saja lebah tersebut. Dia itu selalu tidak jauh-jauh dari sarangnya," kata Riza.

Riza memanfaatkan dedaunan yang dibakar terlebih dahulu untuk mengambil sarang lebah. Gunanya untuk mengasapi sarang agar kerumunan lebah menjauh.

"Saat sarang lebah terkena asap, lebah akan bereaksi seakan-akan sarangnya terbakar. Lebah akan membasahi tubuhnya dengan madu dan menjadi lemah, sehingga berpindah ke bawah sarang, dan tidak banyak melawan. Sementara lebah lainnya juga ada yang pergi menjauh," terangnya.

Sarang dipotong beberapa bagian, dimasukkan ke dalam timba, lalu diperas, hasil perasan dimasukkan ke dalam botol sirup. Riza menjual madu hasil buruannya dengan harga Rp300 ribu per botol.

Riza lebih banyak menawarkan madu miliknya kepada orang terdekat. Selain itu, ia juga memanfaatkan hubungan pertemanan di media sosial, Facebook, untuk promosi.

Pemuda yang mengaku hobi mancing ini sering mengunggah foto madu hasil buruannya ke raksasa media sosial besutan Mark Zuckerberg tersebut. Kebanyakan pembeli masih di seputaran Kabupaten Aceh Barat, tetapi, tidak jarang ada yang memesan dari luar daerah, misal Banda Aceh, karena tertarik melihat unggahan Riza.

"Stok lumayan banyak di rumah. Namun, belum dipasarkan massal, karena takut permintaan membludak. Sedangkan untuk mendapatkan madu original itu ada waktu-waktunya. Tidak tiap bulan madu ada di sarang. Apalagi, untuk mencari sarang lebah yang terdapat madu juga susah. Saat ini saya tawar hanya ke sahabat, dan Alhamdulillah banyak yang minat," kata Riza.

Menurut Riza, untuk membedakan mana madu yang asli dan palsu, dapat dilihat dari bobotnya saat madu telah dimasukkan ke dalam botol. Madu asli biasanya lebih berat. "Sedangkan madu manisan, itu ringan," jelasnya seraya mewanti-wanti agar tidak mudah teperdaya atau terkecoh dengan penjual yang menjual madu dengan harga murah.

"Itu madu campuran, bukan ori. Mana mungkin madu dijual dengan harga Rp100 ribu, atau Rp50 ribu per botol," Riza menegaskan.

 

My Hunting, My Adventure

Pemburu Madu di Aceh
Riza Arifin (26) salah seorang pemburu madu di Aceh. (Liputan6.com/Rino Abonita)

Lelaki yang tekun memelihara brewok ini mengaku telah menjelajahi banyak hutan rimba selama melakukan pekerjaannya, mulai dari kawasan hutan di Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya hingga Aceh Selatan. Berburu sarang lebah bukan sekadar pekerjaan bagi lulusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Teuku Umar ini. 'My Hunting, My Adventure', demikian motonya.

"Ada kenikmatan tersendiri ketika menjelajah ke dalam hutan yang baru saya kenali," Riza mengakui.

Di dalam rimba antah-berantah itu, ia mengaku terbebas. Apa yang tak ditemukannya di kota yang hiruk dan penuh omong kosong, dapat ditemukannya di tengah hutan.

"Di tengah rimba, antara kita, alam dan sang pencipta seperti tiada hijab atau pembatas. Kita dapat begitu dekat," katanya seraya menambahkan, terdapat pantangan tertentu yang tidak boleh dilakukan ketika berada di dalam hutan, misal, berisik atau berhura-hura.

Riza mencari madu bersama rekannya bernama Abu Yazid, yang merupakan orang pertama yang mengajak Riza berburu madu. Riza menyebut Abu Yazid sebagai 'pawang lebah' karena pengalamannya.

Mahasiswa yang Tidak Minat Menjadi PNS

Sebagai tambahan, Riza merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, pasangan almarhumah Risnawa dan Tasarudin. Lahir di tengah keluarga yang keras dalam hal pendidikan, Riza kecil terlatih berdikari.

Pemuda lulusan salah satu perguruan tinggi negeri di Meulaboh ini mau tidak mau berpangku tangan atau berharap dapat bekerja di pemerintahan, misal, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

"PNS bukan tujuan dan capaian, yang terpenting usaha dan kemandirian. Lulus dari kampus, kita harus banyak berusaha," tegas pemuda yang tinggal di Desa Cot Lampise, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat.

Saat kuliah, Riza sempat berkebun. Hasil kebun ia jual untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya, bahkan ia sempat membeli sepeda motor dari menjual hasil kebunnya.

"Berkebun cabai, semangka, melon, dan ragam sayuran lain. Saya ingin membuktikan, bahwa, orang-orang seperti saya dapat mandiri secara ekonomi tanpa harus membebani keluarga atau berharap pada negara," kata pemuda yang berkebun dengan menyewa lahan milik orang lain ini.

Bagi Riza, berkebun mengajarkannya bagaimana berdiskusi dengan alam. Dialektika alam, demikian sebutnya, merujuk bagaimana alam dan manusia menjadi jalinan yang tak terpisah.

"Manusia hidup memanfaatkan alam. Alam ada dan berguna atas ciptaan Sang Pencipta karena ada usaha manusia untuk memanfaatkan alam," ujarnya.

Riza mengaku sering jatuh bangun dalam mengembangkan usahanya tersebut. Hal ini pula yang mendorong Riza mencari pekerjaan sampingan. Memburu sarang lebah penghasil madu menjadi pilihan pria berbahu tegap berdada bidang ini, di samping usaha berkebun yang masih ia tekuni hingga hari ini.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya