Calon Ibu Kota Itu Bernama Bukit Soeharto

Kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto di Kutai Kartanegara (Kukar) Kaltim menjadi salah satu calon kuat ibu kota yang baru.

oleh Abelda RN diperbarui 16 Mei 2019, 23:00 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2019, 23:00 WIB
Bukit Soeharto
Presiden Joko Widodo meninjau lokasi calon ibu kota di Bukit Soeharto Kutai Kartanegara Kaltim. (Liputan6.com/ Abelda Gunawan)

Liputan6.com, Kutai Kertanegara - Rencana pemindahan ibu kota negara Indonesia dari Jakarta kembali mencuat ke permukaan. Isu lama itu bebenarnya sudah disuarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di awal masa jabatannya.

Isu pemindahan ibu kota bahkan sempat terlontar kala mantan Gubernur DKI Jakarta meresmikan mega proyek di Kawasan Industri Maritim Buluminung, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim), akhir 2015 silam.

Gubernur Kaltim masa itu, Awang Faroek Ishak yang terang-terangan mempromosikan kawasan tersebut menjadi alternatif pilihan ibu kota baru. Kebetulan pula momentumnya, Jokowi datang meresmikan sejumlah proyek di Kaltim.

Proyek jalan tol Balikpapan–Samarinda, Pupuk Kaltim V Bontang, dan kawasan industri Buluminung.

Awang menyebutkan, Buluminung pantas menjadi pertimbangan pemerintah pusat. Soal itu, Jokowi sempat berujar ada sejumlah daerah dievaluasi  menggantikan Jakarta yang kian padat.   

"Ada beberapa lokasi sedang dalam kajian Bappenas, hanya belum bisa disampaikan sekarang," papar Jokowi.

Hingga sepekan lalu, Jokowi sepertinya mulai menjalankan rencananya yang sempat terkubur agenda pemilu. Hanya beberapa hari usai pencoblosan suara pemilu rampung, calon presiden unggul versi hitung cepat ini meninjau langsung lokasi di Kalimantan, Selasa (7/5/2019).

Tujuan orang nomor satu Indonesia adalah Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto di Kutai Kartanegara (Kukar) Kaltim. Kawasan konservasi yang diharapkan bisa menggantikan keruwetan kota metropolitan Jakarta.

Selama di Kaltim, Jokowi memang belum menjatuhkan pilihannya. Pasalnya, Tahura Bukit Soeharto pun masih bersaing dalam rencana pemindahan ibu kota dengan kandidat lainnya, yaitu Palangkaraya di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Selama empat jam di Kaltim, Jokowi lantas memuji kelengkapan sarana infrastruktur Kaltim yang memadai bagi fasilitas ibu kota Indonesia. Selepas itu tanpa banyak cakap, ia pun langsung terbang meninjau Palangkaraya.

Pertanyannya, apakah benar Bukit Soeharto layak menjadi ibu kota negara?

Soal satu ini, Badan Pengelola Tahura Bukit Soeharto menanggapi dingin rencana presiden. Mengapa demikian? Usut punya usut ternyata pihak badan pengelola sudah dipusingkan dengan permasalahannya sendiri dibanding harus mengomentari soal pemindahan ibu kota.

Pembalakan, pertambangan liar, hingga perambahan masyarakat merupakan cerita pelbagai permasalahan pengelolaan Tahura Bukit Soeharto. Kawasan konservasi yang luasnya terus menyusut, dari 64 ribu hektare kini tinggal menyisakan 20 hektare. Sehingga isu soal pemindahan ibu kota negara sepertinya tidak menarik bagi mereka.

“Kami fokus pada tugas mengelola Tahura saja, tidak ikut komentar soal perkembangan terbaru. Itu urusan pimpinan saja,” kata Kepala Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Tahura Bukit Soeharto, Rusmadi kepada Liputan6.com, Kamis (16/5/2019).

Bukit Soeharto diibaratkan duri dalam daging bagi pemerintah daerah. Satu sisi wajib menjaga sterilisasi kawasan berbanding terbalik dengan realitas lapangan.

Permasalahannya ratusan kepala keluarga sudah terlanjur bermukim di sana. Apalagi masih banyak hutan di kanan kiri jalan antara Balikpapan–Samarinda. Saat diterabas 50 meter menembus hutan, kawasan beralih menjadi lahan kritis, padang ilalang, dan bekas galian tambang.

"Hutannya ada di sisi kiri kanan jalan saja, sisanya sudah lahan kritis semua. Masalah di sini seperti benang kusut," keluh Rusmadi.

Lantaran itu pula, Rusmadi menetapkan zonasi area kritis Bukit Soeharto seluas 48 ribu hektare. Zonasi terbagi dalam blok rehabilitasi, khusus dan perlindungan yang terpetakan berkat analisa pengamatan drone maupun pencitraan satelit.

"Perhitungan kami area ini yang sekiranya segera memperoleh penanganan serius," ujarnya.

 

Recovery Bukit Soeharto

Bukit Soeharto
Keindahan Tahura Bukit Soeharto dari ketinggian lokasi wisata Batu Dinding Kutai Kartanegara Kaltim. (Liputan6.com/ Abelda Gunawan)

Rusmadi punya program penanaman kembali area kritis Bukit Soeharto dengan beragam tanaman keras khas Kalimantan. Untuk itu, ia pun menyiapkan ribuan bibit tanaman yang cocok seperti ulin, bengkirai, cempedak, elai, pohon kapur, dan masih banyak lainnya.

Bersamaan waktunya pula, Rusmadi harus memastikan keamanan lahan agar tanaman pohon tumbuh subur tanpa diganggu. Khusus untuk soal ini, ia punya strategi dengan melibatkan peran masyarakat.

"Kita tidak bisa serta merta langsung mengusir masyarakat di situ. Ini mengenai kebutuhan perut dan masyarakat yang sudah terlebih dahulu bermukim di situ," ungkapnya.

Peran serta masyarakat, menurut Rusmadi, sangat berguna membantu penghijauan kembali Tahura Bukit Soeharto. UPTD bahkan memanfaatkan informasi warga memberantas aktivitas pertambangan dan pembalakan liar.

"Kalau tidak ada bantuan mereka akan percuma, kami datang semuanya sudah hilang," keluh pria yang memperoleh dukungan penuh penindakan Polisi Hutan, Polisi dan TNI.

"Berbahaya bagi petugas di lapangan. Kami tidak memiliki kemampuan melawan massa," imbuhnya.

Program rehabilitasi dan penghijauan Bukit Soeharto segera dilaksanakan 2019 ini. UPTD Tahura sudah menyusun total kebutuhan anggaran sebesar Rp 27 miliar ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Total kebutuhan anggaran rehabilitasi dan penghijauan Bukit Soeharto untuk area seluas 48 ribu hektare. Peruntukan anggaran juga dipergunakan dalam pengendalian ancaman kebakaran hutan," ujarnya.

Kondisi carut marut Tahura Bukit Soeharto terjadi sejak diserahkan ke daerah, 2016 silam. Pada kenyataannya, segala sesuatu tanpa izin dan tumpang tindih ada di Tahura.

 

Respons Aktivis

Isu pemindahan ibu kota ini pun memperoleh respons aktivis lingkungan Kaltim. LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim terang-terangan menolak alih fungsi kawasan yang menjadi maskot daerah. Eksploitasi area dianggap hanya memperpanjang daftar kerusakan alam lingkungan Kaltim.

"Jatam Kaltim menolak keras rencana pemindahan ibu kota ke Bukit Soeharto," kata Dinamisator Jatam Kaltim, Pradharma Rupang.

Pradharma mengatakan, Bukit Soeharto merupakan penyangga cadangan air bagi 4 kota utama, yakni Balikpapan, Samarinda, PPU, dan Kukar. Perubahan status peruntukan wilayah dikhawatirkan berdampak kekeringan bagi masyarakat Kaltim.

"Akan ada ancaman krisis air bersih di Kaltim," ujarnya.

Apalagi pemindahan ibu kota seiring mobilisasi 870.000 aparatur negara ke Kaltim. Penduduk tambahan sebanyak ini dipastikan membutuhkan pasokan 52 juta liter air bersih per hari. 

"Dari mana memperoleh air sebanyak ini sedangan wilayah penyangganya sudah berubah fungsi," ujarnya.

Pradharma meminta pemerintah meninjau ulang penunjukan lokasi Bukit Soeharto. Sebaliknya, ia menuntut komitmen pemerintah dalam penyerapan 1 miliar gas karbondioksida lewat penghijauan Bukit Soeharto.

"Pertemuan di Paris, Indonesia komitmen menyerap 1 miliar ton CO2 lewat pemberdayaan potensi hutannya," ungkapnya.

Soal pemindahan ibu kota, Pradharma mengusulkan pemberdayaan 2,4 juta hektare area terlantar bekas pertambangan Kaltim. Usulannya ini dianggap lebih produktif penyediaan lahan ibu kota sekaligus pengentasan masalah lingkungan di Kaltim.

"Ada lahan terlantar bekas 800 izin usaha pertambangan (IUP) di Kaltim. Kenapa tidak pakai wilayah itu? Jangan mempergunakan area Tahura meskipun kawasannya memang milik negara," tegasnya.

Pradharma sejak awal menuding pemanfaatan Bukit Soeharto merupakan ide Gubernur Kaltim, Isran Noor. Gubernur satu ini dianggap tanpa visi konservasi dan getol menerbitkan izin industri ekstraktif batu bara.

"Isran tidak memiliki konsep bagaimana warga Kaltim ke depan. Visinya selama ini hanya merusak dengan menerbitkan 161 izin eksploitasi Tahura. Sebelumnya idenya di Buluminung terus kenapa sekarang pindah ke Bukit Soeharto," paparnya.

 

Tanggapan Positif

Bukit Soeharto
Kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto di Kutai Kartanegara (Kukar) Kaltim menjadi salah satu calon kuat ibu kota yang baru. (Liputan6.com/ Abelda Gunawan)

Banyak suara sumbang terlontar usai Presiden Jokowi meninjau langsung Bukit Soeharto. Namun tidak sedikit pula memberikan apresiasi terhadap ide Presiden Jokowi ini.

Salah satunya, Dosen Ekonomi dan Sosial Universitas Mulawarman, Aji Sofyan Effendi yang menyebutnya sebagai resep jitu mengantisipasi persoalan disintegrasi bangsa.

"Saya menilainya positif sebagai langkah pemersatu NKRI," paparnya.

Aji merujuk kehancuran negeri adi daya Uni Soviet, akibat kegagalan program Glasnost and Perestroika. Kemakmuran negeri itu faktanya hanya terkonsentrasi di wilayah Rusia, meninggalkan wilayah Armenia, Azerbaijan, Estonia, dan lainnya.

"Jangan sampai terjadi pula di Indonesia," sebutnya.

Kondisi saat ini nyaris sama di Indonesia. Kata Aji, konsentrasi pembangunan Indonesia terbagi di wilayah barat dan timur. Indonesia wilayah barat merupakan representasi kemakmuran dan sebaliknya di wilayah timur.

"Wilayah barat lengkap sarana prasarana infrastrukturnya sebaliknya di timur jauh tertinggal," tuturnya.

Dampak negatif lainnya adalah mayoritas penduduk Indonesia pun terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sekitarnya. Akibatnya terjadi kesenjangan penawaran dan permintaan produk sumber daya mineral (SDM) lokal.

"Dampaknya adalah capital out flow di mana SDM Kalimantan dijual keluar. Permintaan dalam Kalimantan masih rendah," ungkapnya.

Pertumbuhan ekonomi Kaltim sendiri masih bertopang industrik ektraktif pertambangan batu bara dan migas. Sektor industri ini sangat rentan intervensi permintaan harga pasar dunia.

"Pertumbuhan ekonomi di Kaltim hanya berkisar 3,2 persen akibat labilnya pasaran batu bara dan migas dunia," sebut Aji.

Penunjukan ibu kota di Kalimantan, sambung Aji, mampu menjadi suplemen pendongkrak kemajuan perekonomian wilayah Indonesia timur. Penunjukan ibu kota seiring proses migrasi resources dari Jakarta ke Kalimantan.

"Di manapun lokasinya di Kalimantan, semua akan memperoleh dampak positif. Entah itu di Kaltim atau Kalteng, sama saja," ujarnya.

Kawasan Indonesia timur bertahap mampu mendorong peningkatan pendapatan produk domestik bruto (PDB). Pertumbuhan ekonomi pun diyakini akan terkerek hingga menyentuh angka 6 persen per tahun.

"Pertumbuhan ekonomi memang tidak melonjak drastis, setidaknya bisa 6 persen yang dinikmati seluruh wilayah timur," tegasnya.

Namun demikian, pemerintah daerah juga musti berbenah menyambut pemindahan lokasi ibu kota di Kalimantan. Pembangunan infrastruktur secepatnya dilakukan terutama dalam penyediaan sarana energi listrik, air bersih, dan sarana jalan antar provinsi.

"Listrik, air, jembatan, dan jalan harus dilengkapi mulai sekarang. Tidak mungkin ada migrasi besar besaran tanpa ditopang ketersediaan listrik dan air. Jembatan Teluk Balikpapan juga harus selesai pembangunannya," kata Aji.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya