Sanksi Unik di Aceh untuk Pengantin Baru yang Malas Beribadah Saat Ramadan

Sanksi untuk pengantin baru laki-laki di Aceh ini diberi pada hari yang sama di mana penduduk sedang melaksanakan 'Grop Tamaddaroih'.

oleh Rino Abonita diperbarui 23 Mei 2019, 15:00 WIB
Diterbitkan 23 Mei 2019, 15:00 WIB
Sanksi bagi Pengantin Baru di Aceh yang Malas Beribadah ke Masjid di Bulan Puasa
Sanksi bagi pengantin baru di Aceh yang malas beribadah ke masjid di Bulan Puasa. (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Dahulu kala, masyarakat Aceh punya sanksi yang unik bagi pengantin baru laki-laki yang malas pergi ke meunasah atau madrasah selama bulan puasa. Orang Aceh menyebutnya Peugrob Linto Baro.

Peugrob Linto Baro berarti melambung-lambungkan pengantin baru laki-laki. Sanksi ini diberi pada hari yang sama di mana penduduk sedang melaksanakan Grop Tamaddaroih.

Grop Tamaddaroih adalah selingan atau hiburan saat penduduk menggelar tradisi Khanduri Tamaddaroih, yakni kenduri sebagai wujud rasa syukur karena pemuda kampung yang bertadarus di menasah telah mengkhatamkan Alquran.

Saat itu, orang tua dan anak muda, khususnya laki-laki di Aceh, berkumpul lalu menari sambil berjingkrak dan berlari-lari kecil di dalam menasah. Lantai menasah yang terbuat dari papan terdengar berderit dan mengentak-entak.

Kemeriahan bahkan terdengar sampai ke kampung-kampung tetangga. Tarian ini kemudian dikenal dengan sebutan Grop Tamaddaroih atau tarian tadarus.

Pengantin baru yang telah diseret ke menasah akan diangkat secara beramai-ramai. Tubuhnya dilambung-lambungkan ke atas sebanyak beberapa kali sampai ia lemas.

"Perbuatan yang dianggap kurang pantas ini, tidak dilakukan terhadap semua Linto Baro, tetapi hanya kepada pengantin baru yang congkak, sombong, terutama yang malas datang ke menasah selama bulan puasa atau sebelumnya," jelas filolog, Teuku Abdullah Sakti, kepada Liputan6.com, Rabu, 22 Mei 2019.

 

Lagu Sindiran

Sambil melambungkan Linto Baro penduduk juga bernyanyi. Liriknya berisi sindiran betapa pengantin baru tidak pandai menari karena malas bergaul dan tidak mau datang ke menasah, lazimnya pemuda kampung pada masa itu.

"Hob ala ya hob, linto baro han jitem grop. Hai aneuk ka kalon dilee, munoe lagee kamoe grop-grop!” begitulah liriknya, yang berarti 'Hob ala ya hob, pengantin baru tidak mau loncat. Wahai anak coba lihat, begini cara kami loncat!'.

Selain itu, terdapat pula sanksi lain. Seperti, memboikot acara buka puasa bersama di menasah yang digelar pengantin baru tersebut, menanam batang pisang di sawah miliknya, hingga memasang duri bambu di tangga rumahnya.

Perlu dicatat, dahulu kala, lakab pengantin baru di Aceh melekat sejak prosesi mengantar mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan hingga dua tahun setelahnya, atau sampai pasangan itu memiliki anak pertama.

Bagi orang Aceh pada masa itu, tidak bisa membaca Alquran adalah aib. Karena itu, para orangtua senantiasa mengingatkan anak-anak mereka supaya belajar mengaji dengan rajin biar tidak membuat malu keluarga.

"Mengajilah rajin-rajin, biar nanti waktu kamu kawin tidak memalukan kami," Sakti mengulang kalimat yang sering diucapkan oleh orangtua dahulu kala ketika pertama kali menitipkan sang anak ke guru mengajinya.

Menurut Sakti, Peugrob Linto Baro sudah tidak pernah lagi dilakukan seiring menghilangnya tradisi Grop Tamaddaroih. Tidak jauh berbeda dengan kesungguhan orangtua untuk memberi pendidikan agama kepada anaknya yang kian hari semakin pudar.

"Siapakah yang harus bertanggungjawab mengatasi kemerosotan ini?" Sakti menuntasi tuturannya dengan pertanyaan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya