Liputan6.com, Sikka - Pantai utara Maumere, Kabupaten Sikka, NTT menawarkan sensasi. Garis pantai yang memanjang dari sisi timur hingga sisi barat menyelipkan spot-spot wisata dengan balutan laut Flores yang sungguh memanjakan mata.
Liputan6.com coba menyusuri jalur Pantai Utara tepatnya di Kecamatan Magepanda pada Sabtu (11/7/2020). Hanya 30 menit dari Kota Maumere, hutan mangrove ini bisa jadi alternatif untuk melepas penat pada akhir pekan.
Advertisement
Baca Juga
Sebelum menikmati area hutan mangrove, setiap orang dipungut biaya untuk tiket masuk Rp5 ribu untuk wisatawan lokal dan Rp10 ribu untuk wisatawan manca negara.
Di pintu masuk hutan mangrove, jembatan bambu mengantar kita untuk menyusuri dan melihat dari dekat aneka macam makhluk hidup di antara pohon bakau. Kesan pertama yang muncul saat berada di situ adalah suasana yang sejuk dan tenang.
Di kiri kanan jembatan, dahan-dahan tumbuh tampak hijau dan melindungi setiap pengunjung dari sengatan sinar matahari.
Di beberapa titik, ada lopo yang digunakan sebagai tempat istirahat. Tepat di tengah hutan, berdiri kokoh menara pandang setinggi 10 meter. Dari atas menara, pengunjung bisa melihat hutan mangrove yang membentang seluas kurang lebih 40 hektare.
Memang spot wisata hutan Mangrove Magepanda sudah familiar dan dikenal luas. Namun, di balik itu, ada usaha luar biasa almarhum Baba Akong yang menjadikan semuanya itu seperti sekarang.
Istri Almarhum Baba Akong, Anselina Nona (70) menuturkan, hutan mangrove mulai dirintis sejak Januari 1993, setelah gempa tektonik menghujam wilayah Flores, khususnya wilayah Kabupaten Sikka.
"Inisiatif awalnya Bapa (Baba Akong). Waktu itu tidak ada bakau, kosong total setelah gempa," kenang Anselina.
Usaha Baba Akong, tutur Anselina, hanya untuk menghijaukan lahan kosong sekaligus untuk menahan abrasi. Ini semua dikerjakan secara swadaya tanpa ada yang memberinya sepeser uang.
"Ada tetangga, bahkan keluarga yang anggap Bapa sinting tapi sadar. Bahkan saya pikir, ini kerja buta. Tapi bapa selalu bilang 'kita tanam saja'. Saya ikut saja," tutur Anselina.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk menjadikan hutan mangrove sebagai tempat pariwisata. Mereka hanya berpikir untuk menanam dan merawat mangrove. "Pariwisata ka, atau apa itu, kami tidak pikir," imbuhnya.
Pada tahun 2012, Baba Akong merancang jembatan bambu yang membelah hutan mangrove. Sejak saat itu pula, mulai ada yang berwisata ke sana.
Anselina mengatakan, setiap akhir pekan pasti ada saja yang ke sana untuk sekadar menepi dari rutinitas kota. Ada yang membawa keluarga, sahabat, dan pasangan. Tidak hanya wisatawan lokal yang berkunjung, tapi wisatawan asing tak terhitung jumlah sudah pernah ke sana. Bahkan, sebagian dari mereka menginap di rumahnya.
Nasib sial datang saat wabah covid-19 melanda. Kunjungan tamu nihil. Tidak pendatapatan selama tiga bulan. Beruntung Anselina mendapat bantuan langsung tunai dari pemerintah.
"Saya dapat Rp600 ribu selama tiga bulan. Selama corona, saya dengan anak-anak perbaiki jembatan. Dua minggu terakhir sudah ada yang datang. Semoga ramai lagi," dia mengharapkan.
Baba Akong meninggal pada 6 Maret 2019 silam. Meskipun sudah tidak ada, semangat dan perjuangannya dilanjutkan oleh istrinya, Anselina dan anak-anak. Mereka bertekad untuk merawat dan menjaga hutan mangrove sebagai warisan yang tiada duanya.